Bayaran yang Mahal untuk Sebuah Kebebasan

Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Sumber: gramedia.com

“Dong terlalu gila untuk ko lawan. Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Maka ko harus lebih gila lagi, Magi, katanya kepada diri sendiri.”

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

BILIK SASTRA – Begitulah kata Magi Diela, tokoh utama dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Magi merupakan perempuan yang kuat, lebih tepatnya gigih dalam mencapai tujuannya, yaitu memenjarakan Leba Ali. 

Sinopsis novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Magi bekerja sebagai pegawai honorer di kampung halamannya, yaitu Sumba. Setelah menyelesaikan perkuliahan di Pulau Jawa, Magi kembali ke kampung halamannya. Ia bercita-cita untuk memajukan daerah asalnya dengan bekal pengetahuan yang telah dia dapat dari Pulau Jawa.

Nahasnya, saat Magi hendak berangkat bekerja memberikan penyuluhan ke Desa Hupu Mada, dia mengalami penculikan alias menjadi korban kawin tangkap oleh Leba Ali, seorang pria paruh baya yang mengincarnya sejak di sekolah dasar. 

Kawin tangkap atau Yappa Mawine ini adalah tradisi dari Sumba untuk mempersingkat proses adat perkawinan agar tidak mengeluarkan banyak biaya. Biasanya pelaksanaan adat ini telah mendapat persetujuan dari kedua keluarga mempelai. Namun, Magi tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja Magi mengalami penculikan. Lalu, masih mengalami pelecehan, perkosaan hingga mengalami kekerasan. 

Seketika, penyimpangan adat ini telah merampas kebebasan Magi. Ia meminta tolong pada keluarganya, tetapi keluarganya telah membuat kesepakatan dan tetap memaksanya untuk menikah dengan Leba Ali. Hingga akhirnya, Magi mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

Setelah selamat dari maut, ayah Magi tetap bersikeras untuk menikahkannya dengan Leba Ali dengan dalih tidak ingin melawan adat. Hal inilah yang membuat Magi bertekad untuk balas dendam pada Leba Ali, meskipun harus membayar harga yang mahal. 

Baca juga: Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”, Tentang Ketidakadilan Gender

Perempuan sebagai korban kekerasan ‘adat’

Novel yang berjumlah 320 halaman ini menceritakan bagaimana perempuan dapat menjadi korban kekerasan, bahkan oleh ‘adat’ sekalipun. Melalui novel ini, saya mendapat pelajaran baru bahwa sebuah tradisi yang berasal dari nenek moyang pun dapat disalahgunakan. 

Selain itu, dengan mengangkat tema tentang kekerasan pada perempuan, novel ini tentunya menarik perhatian kaum feminis. Namun, karena mengangkat tema kekerasan, bahasa dalam novel ini mendapat peringatan Trigger Warning.

Baca juga: Kuliah di Jogja, Sebuah Kisah Berproses

Gambarkan perjuangan tokoh Magi

Penggunaan bahasa dalam novel ini memang cukup berani, terutama dalam menjelaskan penderitaan Magi, seperti saat Magi mengalami penculikan, perkosaan, pemukulan, atau saat Magi mencoba mengakhiri hidupnya. Mungkin untuk sebagian pembaca akan merasa ngeri saat membaca novel ini. 

Namun, secara keseluruhan, kisah Magi dalam novel ini mampu memberi banyak pelajaran bagi pembaca. Meskipun menjadi korban, Magi tidak hanya diam pasrah.

Demi mengakhiri penyimpangan tradisi dan mendapat kemerdekaannya kembali, Magi dengan berani melawan adat, Leba Ali, dan ayahnya yang masih percaya pada adat yang menyimpang ini.

Tentunya, tokoh Magi dapat menginspirasi para perempuan untuk berani melawan penindasan. 

Lalu, bagaimana Magi akan membalas dendam atas penderitaannya? Mampukah Magi melawan adat dan ayahnya sendiri? Bagaimana pula Magi melewati penderitaannya itu? Jika Sobat BiSa penasaran, kalian bisa menemukan jawabannya dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo.

Editor: Iska Pebrina

Eleonora Geashinta

Penikmat drama, film, dan musik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *