“… Kamu ini investasi masa depan kami, Taksu, mengerti? …”
Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya
BILIK SASTRA – Kalimat tersebut terlontar dari tokoh Saya dalam cerpen “Guru” karya Putu Wijaya. Kalimat yang ia lontarkan kepada sang anak, yang bercita-cita menjadi seorang guru. Tak bisa dipungkiri, dulu saat masih kecil, anak-anak biasanya bercita-cita menjadi seorang guru atau dokter. Mereka berpikir menjadi seorang guru dan dokter itu keren.
Namun, semakin dewasa seseorang, pemikirannya semakin kritis atau bisa dikatakan rumit. Sama halnya dengan orang tua Taksu yang menentang keras cita-cita anaknya menjadi seorang guru. Dalam benak mereka, guru merupakan salah satu pekerjaan yang sia-sia.
Sinopsis cerpen Guru
Bapak dan ibu Taksu tak segan-segan memberikan wejangan hingga berjam-jam untuk meruntuhkan pendiriannya. Akan tetapi, Taksu tetap teguh akan pendiriannya. Hal itu pun sempat membuat orang tuanya bertengkar dan saling menyalahkan satu sama lain.
Tak berhenti di situ, orang tua Taksu masih saja melancarkan aksinya dengan mengiming-imingi barang mahal pada sang anak. Karena masih tak tergoyahkan, mereka pun memberikan waktu selama berbulan-bulan, berharap Taksu berubah pikiran.
Apa enaknya menjadi guru? Tugas banyak, gaji nol. Memang seorang guru biasanya sering mendapatkan pujian dan gelar ‘pahlawan’. Namun, itu tidak bisa menjamin kesuksesan. Berbeda dengan seorang pengusaha yang hidupnya lebih terjamin. Kira-kira, itulah yang ada di benak bapak dan ibu Taksu.
Baca juga: Film In Our Prime (2022): Indahnya Matematika di Mata Sang Genius
Antara cita-cita dan harapan orang tua
Tanpa mereka sadari, mereka telah memaksakan kehendaknya pada sang anak tanpa mau tahu bagaimana pendapat dan perasaannya. Terkadang, orang tua secara tidak langsung membuat anak terpaksa melakukan apa yang mereka kehendaki. Padahal, anak juga berhak menentukan pilihannya karena mungkin saja pilihan anak lebih baik.
Kebanyakan anak biasanya akan menuruti ucapan orang tuanya. Jika orang tua memerintahkan A, anak akan melakukan A. Seolah-olah anak hanyalah sebuah alat untuk memenuhi segala ekspektasi mereka yang belum mereka capai. Anak pun hidup bagai burung di dalam sangkar karena tidak bisa bebas menjalani hidup sesuai keinginannya.
Baca juga: Film Budi Pekerti (2023): Bahaya Cyber-Bullying
Kelebihan dan kekurangan
Saya pribadi sangat takjub dengan tokoh Taksu. Meski orang tuanya dengan tegas melarang cita-citanya, bahkan tak segan untuk mengancam, ia tetap teguh dengan pendiriannya. Hingga terjadilah perang dingin antara Taksu dan orang tuanya.
Padahal umumnya, seorang anak akan takut jika orang tua sudah pada tahap mengancam. Hal tersebut pun terkadang membuat anak hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan orang tuanya.
Dalam cerpen “Guru” ini juga kita kita dapat melihat sifat orang tua yang terkadang keras kepala. Memang beberapa orang tua memiliki pemikiran seperti orang tua Taksu, mereka memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang dan membandingkannya dengan kehidupan mereka dahulu.
Padahal, seiring berjalannya waktu, semua akan berubah sehingga kehidupan anak dan orang tua juga akan memiliki perbedaan.
Secara keseluruhan, cerpen ini dibawakan dengan bahasa yang mudah dipahami dan memiliki makna yang mendalam, baik tersurat maupun tersirat. Emosi yang ada di dalam cerpen juga tersalurkan dengan baik kepada pembaca. Namun, dialog tokoh yang terlalu panjang membuat pembaca cepat bosan saat membaca cerpen ini.
Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisah Taksu? Akankah Taksu menuruti kedua orang tuanya untuk menjadi pengusaha? Atau melanjutkan cita-citanya dan meneruskan perang dingin dengan kedua orang tuanya?
Sobat BiSa bisa mencari tahu jawabannya dengan membaca cerpen “Guru” karya Putu Wijaya di sini.
Editor: Iska Pebrina