BILIK SASTRA – Sobat BiSa sudah menonton film Barbie versi live-action di bioskop? Kalau belum, kalian dapat melihat ulasannya di sini terlebih dahulu.
Sebagai pencinta Barbie, baik boneka maupun film animasi, saya sangat bersemangat mendengar berita bahwa Barbie akan dibuat versi live-action. Setelah menonton trailernya, saya juga semakin mengantisipasi film ini.
Namun, beberapa hari setelah filmnya rilis, saya sempat mendengar kekecewaan beberapa penonton, khususnya para orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk menonton film ini. Sebagian besar merasa kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kekecewaan tersebut muncul karena film ini mengangkat isu kesetaraan gender yang tidak cocok untuk ditonton anak-anak.
Memangnya apa, sih, ekspektasi mereka?
Ketika mendengar kata Barbie, tentu yang ada di pikiran kita adalah boneka perempuan yang cantik dan lucu. Atau mungkin kita akan teringat dengan film animasinya. Dengan begitu, tentu banyak orang akan mengira bahwa film ini memang untuk anak-anak.
Namun, nyatanya film ini bukan tontonan untuk anak-anak. Film ini bahkan diberi rating 13 tahun ke atas. Mengapa? Karena film ini sarat akan unsur-unsur feminisme dan isu kesetaraan gender yang tentunya sulit anak-anak pahami.
Sejak awal diumumkan, Greta Gerwig, sutradara film ini, sudah mengatakan bahwa film ini bukan berdasarkan film animasinya, melainkan bonekanya yang dibuat oleh perusahaan Mattel. Ada sisi lain Barbie yang ingin dia tunjukkan dalam film ini. Salah satunya adalah asal-usul terciptanya boneka Barbie.
Awal mula terciptanya boneka Barbie
Ruth Handler, pencipta boneka Barbie sekaligus pendiri perusahaan Mattel, menciptakan boneka Barbie karena terinspirasi oleh putrinya. Sebelum ada boneka Barbie, Ruth memperhatikan bahwa anak perempuan hanya memainkan boneka bayi. Seolah-olah perempuan telah didoktrin sejak kecil bahwa kelak mereka akan menjadi seorang ibu.
Ruth pun membuat boneka Barbie yang pertama dengan wujud seorang model busana remaja pada tahun 1959. Tidak disangka, boneka Barbie cukup laris. Anak-anak dan remaja perempuan tampaknya sangat suka bermain boneka Barbie.
Setelah itu, Ruth pun menciptakan berbagai boneka Barbie dengan beragam pakaian dan profesi, seperti dokter, pramugari, hingga penyanyi. Kehadiran boneka Barbie pun menginspirasi anak-anak dan remaja perempuan untuk memiliki berbagai cita-cita, layaknya Barbie yang memiliki berbagai profesi.
Baca juga: Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”, Tentang Ketidakadilan Gender
Unsur-unsur feminisme dalam film Barbie (2023)
Dalam film Barbie (2023), para Barbie memiliki beragam profesi yang lebih luas. Ada Barbie yang merupakan peraih Nobel di bidang fisika, hakim agung, hingga presiden. Dengan demikian, perempuan menguasai dunia dan dunia tempat mereka tinggal bernama Barbie Land.
Namun, Barbie Land tidak semata-mata hanya menjadi tempat tinggal para Barbie. Ada para Ken juga di sana, tetapi mereka hanyalah pelengkap Barbie. Bahkan, deskripsi di poster karakter Ken berbunyi “Ken is nothing without Barbie”.
Para Barbie dan Ken hidup damai di Barbie Land. Namun, kedamaian itu mulai terusik saat salah satu Barbie yang diperankan oleh Margot Robbie mengalami malfungsi. Untuk memperbaiki situasi itu, dia harus pergi ke dunia nyata dan menemukan pemiliknya. Salah satu Ken yang diperankan oleh Ryan Gosling pun menemaninya ke dunia nyata.
Munculnya patriarki di Barbie Land
Di dunia nyata, Barbie dan Ken melihat situasi yang sangat berbeda dengan Barbie Land. Di Barbie Land, perempuan menguasai dunia. Sementara di dunia nyata, laki-laki yang menguasai dunia. Situasi ini kita kenal sebagai patriarki.
Patriarki memang merupakan salah satu musuh besar feminisme. Patriarki ini pula yang menjadi konflik utama film ini. Ken yang sudah terbiasa hidup di Barbie Land sangat terkejut dengan sistem patriarki ini. Ken pun ingin mengubah Barbie Land menjadi Kendom alias Kingdom yang dikuasai oleh laki-laki seperti di dunia nyata.
Namun, kita dapat melihat perbedaan situasi saat dunia dikuasai oleh perempuan dan saat dunia dikuasai laki-laki. Berbeda dengan Barbie Land yang damai dan tenteram, Kendom sangat menjengkelkan.
Baca juga: Serial Gadis Kretek (2023): Isu Feminisme hingga Tragedi ‘65
Patriarki atau matriarki?
Setelah Barbie Land berubah menjadi Kendom, para Barbie atau perempuan terkesan menjalani hidup seperti zaman dulu. Mereka berubah menjadi pelayan para Ken atau laki-laki yang menuruti segala perintah para Ken. Mereka hanya bertugas sebagai penghibur yang menuangkan minuman ke gelas para Ken.
Selain patriarki, film ini juga menunjukkan sistem matriarki, yaitu kebalikan dari patriarki. Situasi saat perempuan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, nyatanya matriarki juga memiliki sisi negatif. Kita bisa melihatnya di Barbie Land.
Saat perempuan menguasai dunia, laki-laki tampak tidak berguna dan hanya menjadi pemanis. Hal itulah yang membuat Ken merasa terkekang dan tidak sejajar dengan Barbie. Perasaan itu tentunya sama dengan patriarki yang membuat perempuan merasa tidak bisa bebas mengekspresikan diri.
Bagaimana isu kesetaraan gender dalam film ini?
Saya merasa bahwa Greta Gerwig ingin menonjolkan isu kesetaraan gender yang tampaknya masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kita sering melihat laki-laki dan perempuan berdebat akan siapa yang lebih baik. Sistem mana pula yang lebih baik untuk kita terapkan. Padahal, baik patriarki maupun matriarki memiliki dampak negatif.
Melalui film ini, kita dapat melihat kondisi dunia apabila hanya mengedepankan satu gender dan mengabaikan gender lainnya. Alangkah damainya jika kita bisa menjunjung kesetaraan gender.
Hal itu pun Greta Gerwig tunjukkan di akhir film ini, yaitu para Barbie dan Ken yang akhirnya hidup berdampingan. Sistem sosial dan pemerintahan di Barbie Land pun mulai melibatkan para Ken.
Dari film Barbie (2023) ini, kita bisa melihat dan memahami bagaimana sosok perempuan dan laki-laki dipandang di tengah masyarakat. Film yang mengangkat isu kesetaraan gender ini juga kembali mengingatkan kita bahwa baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk bebas mengekspresikan diri tanpa terintimidasi oleh salah satu gender.
Editor: Cesilia Sasanda