Please Be Quite (2021): Suara Korban Pelecehan Seksual

Ilustrasi film pendek please be quite
Sumber: IMDb.com

Penulis: Sri Widiasti

BILIK SASTRA – Sobat BiSa, apa yang akan kalian lakukan saat melihat aksi pelecehan seksual di tempat kerja atau di tempat umum? Melaporkan tindakan pelaku ke pihak berwenang? Atau justru bungkam karena takut terlibat? 

Dalam film pendek Please Be Quite, yang rilis pada tahun 2021, kita dapat melihat bagaimana sulitnya korban dan saksi pelecehan seksual untuk dapat mengadili pelaku. Memangnya film pendek ini bercerita tentang apa, sih?

Sinopsis film Please Be Quite

Film pendek karya William Adiguna ini menceritakan tentang aksi pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja. Putri (Canti Tachril) mengalami pelecehan seksual oleh atasannya, Benny (Verdi Solaiman).

Seorang karyawan wanita, Sarah (Sheryl Sheynafia), menjadi saksi bisu insiden tersebut. Sarah yang menyaksikan insiden tak pantas itu kemudian memikirkan apa yang dapat ia lakukan untuk membantu Putri.

Sarah pun mengancam akan melaporkan Benny ke pihak berwajib. Ia juga meminta Benny untuk mempromosikannya sebagai Junior Manager, sebagaimana yang Benny tawarkan kepada korban. 

Namun, hal tersebut justru menjadi bumerang baginya. Kekuasan yang atasannya miliki itu membuat Sarah kalah telak. Pada akhirnya, ia pun hanya bisa bungkam atas insiden pelecehan yang ia saksikan itu.

Korban pelecehan sebagai muted group

Korban pelecehan seksual rentan terhadap tindakan pembungkaman oleh pelaku pelecehan seksual. Dalam kajian ilmu komunikasi, korban pelecehan ini masuk ke dalam muted group. 

Muted group sebagai sebuah teori yang berfokus pada cara komunikasi kelompok dominan lakukan. Kelompok tersebut akan membungkam serta menekan ide dan suara dari kelompok marjinal.

Dalam kasus ini, korban pelecehan seksual sebagai kelompok marjinal yang suaranya selalu dibungkam oleh kelompok dominan yang merupakan pelaku pelecehan seksual. 

Teori ini menekankan bahwa kelompok yang memiliki hierarki teratas yang memiliki kuasa untuk menentukan komunikasi budaya. Pada akhirnya, kelompok marjinal harus mengikuti komunikasi budaya dari kelompok dominan.

Adanya tekanan dari kelompok dominan 

Pelaku pelecehan seksual sebagai kelompok dominan akan dengan mudah menekan serta membungkam suara saksi dan korban pelecehan seksual lewat argumentasinya. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, saksi harus mengikuti keputusan pelaku pelecehan seksual untuk bungkam atau berhenti dari pekerjaannya. 

Sebenarnya, hal seperti inilah yang membuat para korban dan saksi pelecehan seksual sulit untuk berani melaporkan pelaku kepada pihak yang berwenang untuk diadili.

Gerakan #MeToo

Gerakan #MeToo ini sempat disinggung dalam film Please Be Quite, yaitu saat saksi pelecehan seksual mencoba untuk menyuarakan tindakan pelecehan seksual oleh atasan kepada bawahannya.

#MeToo movement atau gerakan #MeToo dapat kita pahami sebagai gerakan kampanye untuk melawan aksi pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan di lingkungan kerja. 

Sayangnya, dalam film ini, upaya tersebut tidak berhasil karena ada tekanan dan ancaman dari pelaku terhadap saksi. Kejadian seperti ini sering menjadi penghambat dalam proses peradilan terhadap pelaku pelecehan seksual. 

Suarakan keadilan bagi korban

Gerakan #MeToo pertama kali dipopulerkan oleh seorang aktivis sosial Amerika Serikat, Tarana Burke, pada tahun 2006 silam. #MeToo bertujuan untuk memberdayakan perempuan yang mengalami tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. 

Gerakan ini memberikan kekuatan bahwa mereka tidak sendiri karena ada perempuan lain yang juga mengalami hal serupa. Lewat gerakan ini, mereka ingin mengajak para perempuan yang pernah mengalami tindakan pelecehan seksual untuk berani menyuarakan kejadian ini di publik.

Di Tahun 2017, gerakan ini kembali naik daun ketika lebih dari 80 perempuan angkat bicara pada kasus pelecehan yang mereka alami. Mereka pernah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang produser film asal Amerika Serikat, Harvey Weinstein. 

Tagar ini juga menjadi viral saat seorang aktris asal Amerika Serikat, Alyssa Milano, menggunakannya untuk mendapatkan dukungan atas cerita pribadinya yang pernah mengalami tindakan pelecehan seksual di tempat kerja. 

Dampak pelecehan seksual bagi korban

Pelecehan seksual akan menimbulkan dampak bagi setiap korbannya. Tidak hanya dampak fisik, tetapi juga dampak psikologis dan kestabilan emosional.

Hal itu pula yang terjadi dalam film pendek Please Be Quite ini. Terjadi perubahan perilaku terhadap korban setelah mengalami tindakan pelecehan seksual.

Korban akan cenderung memilih bungkam karena tidak berani melaporkan kejadian pelecehan yang menimpanya. Hal itu juga karena mereka mengalami rasa trauma atas kejadian yang menimpanya.

Selain itu, korban akan merasa bahwa apa yang ia alami merupakan aib yang bisa menimbulkan rasa malu baginya bila diketahui banyak orang.

Nah, itulah ulasan mengenai film pendek Please Be Quite yang menyadarkan kita untuk tidak menjadi kelompok bungkam saat terjadi tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Bagaimana, Sobat BiSa? Tertarik untuk menontonnya? Kalian bisa menontonnya di sini

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *