Cerbung: Semua Pantas Dirayakan

Ilustrasi cerbung semua pantas dirayakan
Sumber: freepik.com/pressfoto

Penulis: Ghina Nur Nisrina

Bagian 1 

Hal apa, Rin yang membuatmu begitu menginginkan peran itu? 

Sungguh, wanita berambut kecokelatan dengan buku di tangannya itu terus membaca buku yang tidak ia pahami sama sekali. Seberapa ia berusaha memahami buku tersebut, tetapi percuma saja karena nyatanya ia hanya membaca tanpa memaknai kalimat per kalimat. Pikirannya jauh disana.

Rambutnya bergoyang-goyang terhembus angin sore. Ia memandang bunga-bunga yang ditanam seadanya oleh Ibu Lia di belakang rumah sahabatnya itu. Mereka tampak duduk di bawah kanopi bekas parkiran mobil. 

Lia, sahabat Arin bergumam “Rin, bukan jatuh cinta yang menyakitkan, tetapi berharap dicintai” 

Arin terdiam sebentar, lalu memandang Lia dengan tatapan sulit diartikan. Ia pun membuka kembali buku yang sempat ia tutup dan membacanya keras-keras seperti orang kesurupan. Melihat itu Lia hanya tersenyum dan beberapa detik kemudian mengambil paksa buku tersebut dari tangannya.

“Li, kenapa dari dulu aku nggak pernah bisa ya jadi pemeran utama seperti yang lain?” 

Lia menoleh, menatap Arin yang kosong. Benar-benar kosong.

“Kenapa dari dulu aku cuma nerima rasa sakit dan membuat perasaan bahagia seolah-olah ada padahal hal itu nggak pernah terjadi. Kenapa aku harus merasakan hal-hal bahagia yang aku pikir sendirian?” sambungnya

“Rin, kamu tau gimana hidup berjalan? Semesta ini berjalan, Rin. Semua proses yang kamu alami akan terus begitu meski kamu menghilang karena semua terus melaju, Rin. Kamu akan terbiasa entah itu sakit atau bahkan senang yang harus di paksa.” Jawab  Lia.  

Sore itu, Arin menyadari bahwa sosok pemeran utama yang selalu ia inginkan adalah hidupnya. Arin menjadi pemeran utama dalam ceritanya.

***

Dengan langkah percaya diri, Arin berjalan cepat menuju ruang kelasnya. Siang ini, ia harus menyiapkan tugas presentasi bersama kelompoknya. Membaca ulang materi dan memahami kembali hanya untuk sekedar memastikan. 

Akhirnya tiba saatnya, Arin dan kelompoknya menjelaskan bahan ajar. Semua anggota menjelaskan dengan jelas sesuai dengan bagian masing-masing yang telah mereka sepakati. Di akhir salah seorang mengangkat tangan, ia menatap Arin sambil tersenyum.

Alfi, namanya. Bukan tanpa sebab, Alfi ingin bertanya mengenai topik yang kelompok Arin presentasikan. Setelah mengajukan pertanyaan, Yana melirik Arin dan memberi tanda untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Awalnya Arin menolak. Bukan karena pertanyaanya, tetapi karena Alfi yang bertanya. Namun, Arin masih mencoba untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan bantuan anggota kelompok lainnya, Arin mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dengan nada lugas dan jelas, Arin mulai menjawab bagian demi bagian.

“Gimana bisa diterima jawabannya?” tegas Arin. Namun, dia merasa salah tingkah karena Alfi membalas sambil melempar senyum.

Sejak saat itu, Arin mulai merasakan perasaan yang seharusnya tidak ada ketika ia hanya ingin fokus untuk berkuliah.  

***

Jika boleh dikatakan, Arin berharap bahwa perasaan ini hanya sekedarnya. Bukan perasaan yang harus membuatnya kehilangan akal sehat atau bahkan menjadi orang lain. 

Keesokan harinya, Arin mengingat betul kejadian ketika ia mengelus kucing di depan ruang kelasnya. Saat itu, Arin keluar bersama dengan Lia. Namun, Lia malah asik mengobrol dengan temannya yang lain dan akhirnya Arin lebih memilih untuk mengelus kucing abu yang ada di depan ruangnya. 

Saat sudah pergi dari tempat itu, Arin melihat Alfi juga mengelus kucing yang sama. Dengan perasaan senang yang ia tahan, Arin menuju parkiran.

Ternyata kendaraan Alfi tepat di samping Arin yang mampu membuat Arin salah tingkah. Sejujurnya semua kejadian kejadian kecil yang menjadi hal biasa untuk orang lain berubah menjadi hal yang sangat istimewa yang Arin rasakan. 

bersambung

Editor: Iska Pebrina

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *