Bagian 1
Selama hampir satu tahun berpacaran dengannya, menurutku tak ada yang salah dengan hubungan kami. Pertengkaran dalam sebuah hubungan adalah hal yang sangat wajar karena aku pun mengalaminya saat menjalani hubunganku dahulu sebelum dengannya.
Sikap posesif itu masih bisa kutoleransi karena aku adalah pacarnya. Aku yakin, dia tidak ingin aku diambil oleh orang lain dan aku juga yakin dia menginginkan yang terbaik untukku.
Ya, seperti itulah pikiranku dulu, tapi sekarang tidak lagi. Bahkan, ada banyak penyesalan dari dalam diri ketika mengingat semua yang sudah kulalui sebagai kekasihnya.
Satu tahun yang lalu, saat aku pergi untuk kencan buta, aku bertemu dengan Ali, orang yang menjadi pacarku sekarang. Lelaki itu berhasil mencuri perhatianku karena hanya dia yang menatapku teduh saat tiba di kafe untuk melakukan kencan buta.
“Mau pulang bersama?” Ali menawarkan tumpangan setelah acara kencan buta itu selesai. Ah, tentang kencan buta, aku memutuskan untuk tak memilih siapa pun, begitu juga Ali.
Aku tersenyum menanggapi tawarannya. “Ah, kalau tidak mau juga tak apa. Lagipula aku hanya membawa motor, pasti kamu nggak nyaman karena memakai dress.”
“A-apa? Bukan begitu, aku hanya tak mau merepotkanmu, Al.”
Aku langsung menyanggah ucapannya itu. Sial, bisa-bisa aku dikira matre hanya karena tak mau pulang dengan motor. Padahal, aku selalu menggunakan motor saat pergi ke kampus. Hanya saja, hari ini aku memutuskan untuk naik taksi. Kupikir aku akan menemukan pangeran berkuda putih yang siap sedia untuk mengantarku pulang.
“Tentu saja tidak, Tere. Aku yang menawarinya. Jadi, mau pulang bersama?” Akhirnya, aku mengangguk dan menyetujui tawarannya. Hitung-hitung menghemat uang.
Di tengah perjalanan, dia mengajakku untuk mampir sebentar ke pasar malam. Tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Jujur saja, aku juga butuh hiburan saat ini dan melupakan tugas kuliah yang membuatku sedikit stres.
Sesampainya di pasar malam, kami membeli gula-gula dan menaiki beberapa wahana. Dari situ aku menyimpulkan, Ali adalah pribadi yang menyenangkan.
“Ali, makasih buat hari ini,” ucapku yang membuat senyumnya terukir lebar. Ali mengusap puncak kepalaku dan menganggukkan kepala.
Baca juga: Pendakian Pertama, Gunung Lawu
Setelah hari itu, aku dan Ali menjadi lebih dekat, kami sering bertukar pesan, melakukan panggilan suara atau video, dan sesekali pergi bersama. Aku merasa kami memiliki kecocokan dan bisa menjadi lebih dekat dalam waktu yang singkat. Aku juga mulai memberanikan diri untuk berbagi cerita, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga asmara. Begitu pula Ali.
Dari cerita dia, aku tahu bahwa kehidupan asmaranya tidak berjalan lancar. Dia berkata, kekasihnya lebih memilih berselingkuh dengan sahabat baiknya setelah beberapa bulan berpacaran.
Selama satu bulan dekat dengannya, aku merasa nyaman. Hingga pada akhirnya, dia menyatakan perasaannya kepadaku malam itu, di kafe tempat kita pertama kali bertemu.
“Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat, tapi aku benar-benar tak bisa menahannya. Aku mencintaimu, Re. Maukah kamu menjadi kekasihku?”
Tak ada alasan untuk menolaknya, dia dan aku memiliki banyak kesamaan. Aku rasa, aku akan bahagia jika kami bersama. Ya, anggaplah aku naif, tapi aku benar-benar merasa nyaman saat bersamanya dan kurasa aku telah jatuh cinta padanya dalam kurun waktu yang singkat. Jadi malam itu, dengan lantang aku menjawab, aku mau menjadi kekasihnya.
Namun, siapa sangka jika keadaan berubah setelah kami menjadi sepasang kekasih. Kami selalu bertengkar setiap bertemu. Bahkan, sekarang dia membatasi pergaulanku, tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Kukira itu hal yang wajar, apalagi saat dia melarangku untuk terlalu dekat dengan laki-laki. Ya, pasti karena dia cemburu. Atau mungkin pemikiranku yang salah.
Pernah sekali Ali datang ke kampusku dan melihatku berbincang dengan laki-laki yang merupakan teman sekelasku untuk membahas tugas kelompok yang akan kami kerjakan, dia benar-benar terlihat marah dan langsung menarik tanganku untuk segera pergi dari sana.
“Aku udah bilang, ‘kan, jangan berduaan sama cowok, Re! Kamu budek atau gimana, sih? Kalau kamu ketahuan ngobrol atau berduaan sama cowok kayak tadi, kamu lihat aja apa yang terjadi nanti.”
Aku pun memutuskan untuk menghindari lelaki yang berada di dekatku. Hal itu kulakukan agar tidak memancing amarahnya karena aku benar-benar tak mau bertengkar dengan Ali.
“Tumben nggak ikut main? Jangan bilang lo takut sama pacar lo yang nggak seberapa itu,” ucap Hani, sahabatku sejak kecil, dengan nada tak suka.
“Lo tau, ‘kan, gue nggak pengin bikin Ali marah.”
“Kalian cuma pacaran, dia nggak berhak buat ngatur kehidupan sosial lo, Re. Ingat, lo butuh orang lain buat bertahan hidup.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hani pergi meninggalkanku sendiri di dalam kelas. Hani benar. Aku membutuhkan orang lain, tapi untuk saat ini, hanya Ali yang aku butuhkan. Setidaknya itu yang aku pikirkan untuk menenangkan hatiku yang mulai ragu dengan hubungan kami.
Beberapa bulan berpacaran, tak ada masalah serius yang mengancam hubungan kami. Namun, di bulan kelima, Ali marah besar padaku karena aku tak bisa dihubungi dan kami juga jarang bertemu. Saat itu aku benar-benar sibuk menyiapkan acara di kampus, aku bahkan sering pulang terlambat.
H-1 sebelum acara, aku pulang sekitar jam 11 malam. Karena kasihan, kak Tio, kakak tingkat sekaligus ketua pelaksana acara, menawarkan untuk mengantarku pulang. Tentu saja aku menolak dengan alasan tak mau merepotkan. Lagi pula, dia juga pasti lelah setelah hampir seharian bekerja. Kak Tio berkata bahwa dia juga ingin pulang, jadi dia menawariku untuk pulang bersama karena rumahnya searah dengan apartemenku.
Sesampainya di apartemen, aku turun dan mengucapkan terima kasih pada kak Tio. Lalu aku sadar bahwa ada yang memperhatikan kami dengan mata tajamnya. Itu Ali. Lelaki itu menatapku penuh amarah, lalu menyeretku masuk ke dalam unit apartemenku.
Setelah itu, kejadian tak terduga terjadi. Di mana Ali menampar pipiku dengan kuat hingga memerah. Tidak hanya itu, dia bahkan mengeluarkan kata-kata tajamnya.
“Kamu mau jadi perempuan nggak bener, ya? Pulang larut malam, mana sama laki-laki lain!”
“Bukan gitu, Al. Aku udah bilang, ‘kan, aku lagi nyiapin acara kampus, makanya aku pulang larut malam.”
Ali tak menggubris ucapanku, dia justru mencekik leherku hingga aku terbatuk. Melihat itu, Ali langsung melepaskan tangannya dari leherku dan berkata, “Maaf, sayang, aku benar-benar kalut. Aku udah jahat sama kamu, maaf.”
Kemudian, dia menuju ke arah cermin dan memecahkannya dengan tangan kosong hingga darah mengalir dari sana. Aku terkejut melihatnya, meskipun ini bukan kali pertama. Aku pernah melihat itu sebelumnya saat bulan pertama kami berpacaran. Katanya, itu cara dia meluapkan emosinya. Ya, dengan menyakiti dirinya sendiri.
Baca juga: Dalam Keheningan yang Dilabuhkan
Sekali lagi, aku pikir tak apa dia bilang tak akan melakukannya lagi. Dan itu menjadi kali terakhir aku melihatnya sebelum hari ini terjadi. Aku hanya bisa menangis kala itu dan berharap hari ini segera berlalu.
Hari berikutnya, semua tampak normal. Hubungan kami juga membaik, aku berdoa semoga kejadian kemarin tak akan terulang lagi. Namun, aku salah, semesta seolah ingin menunjukkan sifat aslinya padaku.
Ali semakin sering marah dan tak sungkan untuk bermain tangan jika aku melakukan secuil kesalahan. Kemudian, dia akan meminta maaf dan melukai dirinya sendiri. Begitulah siklusnya hingga aku benar-benar penat menghadapinya.
Suatu hari, aku memilih untuk mengakhiri hubungan dengannya saat aku merasa hubungan ini tidak sehat, tetapi dia mengamuk dan berakhir menyayat pergelangan tangannya yang membuatku panik setengah mati.
Bagaimana tidak, ini adalah aksi terekstrem yang pernah aku lihat selama menjalin hubungan dengan orang lain. Aku merasa bersalah padanya. Biar bagaimana pun aku masih mencintainya, tapi di sisi lain aku juga lelah.
Bersambung
Editor: Iska Pebrina