Dunia telah hancur. Gedung-gedung tinggi melebur menjadi puing-puing bersama banyak nyawa yang ikut terkubur. Seluruh negeri porak-poranda. Tidak banyak manusia yang tersisa. Luka tengah meliputi semesta. Entah itu karena rasa sakit kehilangan nyawa atau duka atas kepergian orang yang dicinta.
***
Pagi yang seharusnya cerah tampak sedikit menggelap. Awan mendung dan kabut yang cukup tebal menghalangi kedatangan sinar mentari. Hari ini tepat satu bulan semenjak gempa hebat yang meluluhlantakkan tempat aku berpijak. Alam masih berantakan seperti sebelumnya. Bongkahan tembok dan mayat berserakan di mana-mana. Bangunan-bangunan runtuh tak karuan. Listrik padam tak berkesudahan. Internet menghilang tak terselamatkan.
Semua orang telah berpulang ke rumah abadi yang jauh lebih kekal daripada ibu pertiwi. Ayah, sahabat, dan kerabat ikut terlumat oleh gempa yang dahsyat. Dunia yang berisik menjadi sunyi senyap. Aku nyaris sendiri, tetapi Tuhan masih berbaik hati. Dia meninggalkan sosok berharga yang dapat menggantikan peran seluruh insan di muka bumi. Ibu. Beliau masih setia berada di sini. Di dalam sebuah tenda tua yang sederhana, dengan nyenyaknya masih menyelami alam mimpi.
Bencana yang telah terjadi membuat aku dan Ibu memutuskan tinggal di sebuah hutan serta mendirikan tenda sebagai tempat bernaung berbekal barang seadanya. Hutan ini merupakan satu-satunya daerah yang paling layak dihuni daripada wilayah lainnya. Terdapat banyak tanaman liar yang bisa kami manfaatkan untuk bertahan hidup. Ada pula sungai yang airnya masih layak dipakai. Dan sekarang aku tengah duduk di luar tenda sembari melamunkan bagaimana masa depan nanti. Akankah semuanya membaik atau malah memburuk dibandingkan masa kini?
Entah berapa lama aku berkelana dalam angan hingga suara Ibu memasuki indra pendengaran.
“Wah, putri Ibu sudah melamun saja pagi-pagi begini? Sedang memikirkan apa?” ucap ibu yang ternyata sudah bangun dari tidur.
Beliau berjalan menghampiriku seraya menggesekkan kedua telapak tangan, lalu mendudukkan dirinya di sebelahku. Aku menggeleng sambil tersenyum kecil sebagai tanggapan.
Baca juga: Ikan-Ikan di Sungai
“Tidak ada, Bu. Hanya sedang menikmati pemandangan sekitar,” jawabku berbohong sembari memindahkan selimut lusuh yang berada di pangkuanku untuk menghangatkan tubuh Ibu.
“Aku sudah memakai jaket tebal. Jadi, Ibu saja yang memakai selimut ini,” lanjutku ketika Ibu terlihat akan protes karena tindakanku.
Ibu tersenyum sebagai reaksinya atas perlakuanku. Tentu dengan senyuman paling manis dan tulus yang meneduhkan kalbu. Kemudian beliau memalingkan wajahnya ke depan ikut mengamati alam sekitar.
“Sejak kapan pohon-pohon tumbang jadi pemandangan alam yang bisa dinikmati sebegitu larutnya, hm?”
Aku meringis menyadari betapa tidak masuk akalnya kebohongan yang baru saja kubuat. Ibu mengelus pundakku perlahan, kemudian menuntunku untuk berbaring di atas pangkuannya.
“Sebenarnya aku hanya terpikir bagaimana masa depan nanti, Bu. Apa semuanya akan membaik dan kembali seperti dulu?”
Kuputuskan untuk menyampaikan yang sebenarnya. Kurasa berbohong pada Ibu masih jadi hal paling mustahil yang dapat aku lakukan.
“Cemas akan hari esok itu manusiawi, Nak. Sangat wajar. Ibu juga tidak tahu apakah di hari esok semua akan kembali pulih. Namun, entah membaik atau memburuk kamu tidak boleh lupa kalau apa yang terjadi ke depannya sudah ditata rapi dengan versi terbaik Sang Pencipta.”
Ibu mengusap kepalaku lembut menyalurkan rasa tenang dan nyaman dalam waktu bersamaan.
“Jadi?” Aku menyahut dengan kembali bertanya.
“Jadi sekarang, kamu harus menikmati momen ini karena kita bisa mengobrol berdua tanpa diganggu oleh siapapun,” jawab ibu diakhiri tawa ringan yang keluar dari mulutnya.
Mendengar tawa ibu yang melagu mendadak aku jadi terpikir akan sesuatu.
“Bu, apakah Ibu bahagia?” tanyaku pada akhirnya.
“Tentu saja bahagia,” ujarnya santai dan lugas.
“Dalam keadaan seperti ini? Bagaimana bisa?” kataku mempertanyakan kebenaran jawaban Ibu.
“Kenapa tidak? Ada putri Ibu di sini, seseorang yang sangat Ibu cintai,” tutur ibu tanpa ragu.
Hatiku menghangat mendengarnya. Tuhan memang Maha Baik. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Ibu tidak ada bersamaku lagi.
“Kalau begitu, Ibu jangan pernah pergi seperti yang lain, ya.”
Aku menegakkan badan menghadap Ibu sambil menanti respons yang akan ia berikan atas pernyataanku.
“Tidak akan.” Ibu menjeda ucapannya selama sepersekian detik, sebelum kemudian melanjutkan.
“Kalaupun kelak raga Ibu tidak lagi mendampingimu. Kasih sayang Ibu akan selalu bersamamu,” ujar ibu seraya memelukku erat.
“Tidak mau. Ibu harus selalu bersamaku. Jika Ibu tidak ada, bagaimana nanti kalau aku merindukan Ibu ?” gerutuku dalam dekap hangat Ibu.
“Dengar, Nak. Nanti jika setiap kali kamu merindukan ibu, pejamkan saja matamu. Lalu ingat semua kenangan indah yang pernah kita habiskan bersama. Oke?”
Baca juga: Dalam Penyesalan yang Panjang
Aku tidak menjawab. Aku hanya terdiam meresapi ucapan Ibu. Mengapa beliau berkata seolah-olah ingin pergi meninggalkanku? Aku mencoba berpikir positif. Kutanamkan pada otakku bahwa perkataan Ibu hanya bagian dari obrolan kami yang tidak terduga. Ketika aku sibuk menghalau pikiran buruk itu.
Tiba-tiba cahaya terang hadir menyilaukan netra. Sebuah portal besar mendadak muncul dan ayah jadi satu-satunya sosok yang keluar dari sana. Aku sangat terkejut. Pasalnya aku dan Ibu memang belum menemukan jasad ayah. Namun, kami mengira beliau ikut tertimbun bersama bangunan-bangunan yang telah hancur. Oleh karena itu, tanpa pikir panjang aku melepas rangkulan ibu dan berlari menghampiri ayah.
“Ayah baik-baik saja? Bagaimana Ayah bisa ada di sini?” tanyaku penasaran.
Beliau hanya merespons dengan senyuman sendu, ciri khas Ayah saat sedang menyembunyikan sesuatu yang pilu. Mengabaikan hal tersebut, aku menggamit lengan Ayah dan membawanya menuju Ibu yang masih terduduk di depan tenda.
“Ibu, Ayah datang!” teriakku penuh kebahagiaan.
Ibu tersenyum menatap Ayah, lalu mengedikkan dagunya ke arah portal yang belum tertutup. Aku yang melihatnya pun spontan bertanya, “Ada apa, bu? Apa kita bisa pergi dari sini lewat pintu itu?”
“Iya, Nak. Pergilah bersama Ayah.”
“Ayo sayang, sebelum pintunya tertutup,” kata Ayah menimpali ucapan Ibu.
“Bagaimana dengan Ibu? Bukankah Ibu seharusnya juga ikut?”
Aku dilanda rasa penuh kebingungan. Mengapa Ibu hanya menyuruh aku dan Ayah pergi, sedangkan beliau tetap di sini?
“Kamu berangkatlah lebih dulu, ya. Ibu akan menunggu di sini. Setelah waktunya tiba, kita pasti bertemu kembali. Mengerti, Sayang?” balas ibu sembari mengusap kepalaku menenangkan. Aku belum sempat memberi respons ketika mendadak tanganku dibawa dalam genggaman ayah dan kami memasuki portal ajaib itu meninggalkan Ibu. Hal terakhir yang dapat kulihat adalah lambaian tangan Ibu dan senyumnya yang lagi-lagi meneduhkan kalbu.
***
Cahaya terang memasuki retinaku. Senyum lega Ayah menjadi hal pertama yang ditangkap penglihatanku. Aku terbaring di atas kasur dengan potret Ibu yang berada dalam rangkulanku. Sekejap memori-memori yang menggores sukma mulai memasuki kepala. Ingatanku memunculkan serangkaian kejadian pemakaman dengan foto Ibu yang tersandar di depan batu nisan.
Air mataku mengalir seketika hingga tanpa aba-aba ayah memelukku dan berkata, “Ibu akan bahagia di sana, Nak. Kita belajar ikhlas bersama, ya.” Ayah mendekapku dalam diam seraya mengelus punggungku perlahan. Sampai beberapa menit berlalu, kupenuhi ruangan dengan tangisku yang menderu.
Dan saat isakanku mulai mereda, kudengar isakan lain yang ternyata milik ayahku. Suaranya tertahan begitu lirih seakan sedang mencoba menyembunyikan luka di balik dekap yang memelukku erat. Tanganku perlahan terangkat dan mengelus balik punggungnya. Kami sedang sama-sama menguatkan dan belajar mengikhlaskan untuk selanjutnya kembali menjalani takdir Tuhan.
Editor: Kru BiSa