Cerbung: April dan Traumanya

Ilustrasi cerbung april dan traumanya
Sumber: canva.com

Penulis : Franzeska Aurellia Oenang

Hiruk pikuk Kota Batam di sore hari tak kalah riuhnya dengan isi pikiran seorang perempuan yang tengah menikmati seporsi batagor di pinggir jalan. Bagaimana sih, rasanya makan batagor sambil nangis dan mendapatkan tatapan penuh tanya dari setiap orang yang melihat? Kalian bisa menanyakan hal tersebut kepada April. Patah hati yang tengah dirasakan gadis itulah yang menjadi alasan ia melakukan hal tersebut. 

Trauma adalah satu kata yang sekarang menggambarkan kondisi April. Gadis itu sangat benci dengan berbagai luka yang menggores dirinya, terutama dalam aspek asmara. Sudah lelah ia mencoba menjalin kisah dengan berbagai lawan jenis, namun rasanya tidak ada yang berhasil ke tahap lebih lanjut. 

“Eh, Pril, kenapa lagi?” tanya Vero sembari menatap April yang tengah berada di hadapannya dengan aura yang sangat muram. “Pasti tentang kisah cinta lagi ini mah.” sambung Vero sambil menatap sahabatnya itu dengan penuh empati sekaligus lelah. Kebetulan, tadi sehabis acara makan batagor dengan penuh air mata. April langsung tancap gas menuju ke rumah sahabat yang paling ia percaya, Verora. Ia ingin meluapkan segala beban yang ada di pikiran dan hatinya.

Pada akhirnya, Vero dan April melalui sebuah sesi curhat yang kurang lebih berdurasi tiga jam setengah. Singkat cerita, April untuk ke yang sekian kalinya gagal untuk mengubah status single-nya. Ia selalu bertemu lelaki yang tidak berani untuk berkomitmen dan tak hanya sekali hal tersebut terjadi. April tentu sudah sangat muak dengan hal tersebut. Vero juga hanya dapat mengeluarkan semua jurus kata-kata bijak yang ia bisa untuk membantu April. Harapannya itu dapat meringankan bebannya dengan menjadi teman curhatnya saat ini. 

Sepulang dari rumah Vero, April pergi ke sebuah toko buku tua. Ia sudah menjadi langganan toko tersebut sejak berumur 8 tahun. Setelah membelah jalanan Kota Batam selama 10 menit menggunakan sepeda motor, sampailah April ke tempat tujuannya. 

Terpampang jelas papan besar di atas pintu ruko toko tersebut yang bertuliskan “TOKO BUKU ABADI RAYA”. Papan yang memiliki dasar warna putih cerah dengan tulisan berwarna hitam tersebut kini sudah agak kusam menguning dengan debu-debu jalanan yang menghiasinya. 

Baru menginjakkan kaki dua langkah memasuki ruko tersebut, indra penciuman April sudah aroma khas yang menyambutnya. Hal inilah yang tidak akan bisa ditemui di manapun selain Toko Buku Abadi Raya. Wangi buku-buku koleksi lama bercampur dengan sedikit pewangi kopi sangat menenangkan pikiran dan hati April yang tengah kalut saat ini.

“Eh ada dek April, habis dari mana, dek?” sambut Bu Dinda sebagai pemilik toko yang tengah sibuk mencatat pembukuan toko. Ia hanya melirik April yang berjalan dari pintu masuk selama 2 detik. Kemudaian kembali mengarahkan pandangan dan fokusnya kepada tumpukan buku dan nota yang tengah ia kerjakan. 

“Habis dari rumah temen aja, bu. Pak Ben kemana bu? Tumben jam segini nggak duduk baca koran di depan sambil ngeteh cantik?” respon April sembari sibuk menyusuri berbagai tumpukan buku bekas di daerah kanan kasir tempat Bu Dinda tengah sibuk dengan pekerjaannya. 

“Pak Ben mah lagi ada acara sama temennya, Pril. Hari ini mau beli apa dek? Oh iya, itu di sebelah kirimu di rak sebelahnya lagi, iya, itu ada yang barusan nganter koleksi buku bekas lama. Tadi ibu lihat sih masih bagus-bagus kondisinya, tengok-tengok aja dulu.” oceh Bu Dinda panjang lebar yang setelahnya dituruti April berjalan ke tumpukan buku-buku lama yang dimaksud oleh sang pemilik Toko Buku Abadi Raya. 

Toko Buku Abadi Raya merupakan sebuah tempat yang penuh kenangan bagi April dan keluarganya. Pada tahun 2000an awal saat April masih duduk di bangku TK hingga SD, orang tua April selalu membawanya ke berbagai toko buku setiap dua minggu sekali. Karena kondisi perekonomian keluarga April yang tidak terlalu bagus saat itu, keluarga April hanya membawa anak-anak mereka ke toko buku bekas yang menjual berbagai koleksi buku bekas. Saat April masih kecil, ia tentunya iri dengan teman-temannya yang dapat membeli banyak buku-buku baru di toko buku ternama. 

Baca juga: Berdamai dengan Masa Lalu

Saat April bertanya ke ayah dan ibunya mengapa ia sangat jarang berkunjung ke toko buku terkenal yang berada di pusat perbelanjaan besar di kotanya itu, ayah hanya menjawab dengan senyuman sambil berkata “Buku-buku di toko yang ayah ajak kamu kunjungi jauh lebih bagus loh dibanding buku-buku di toko mahal itu, April.” April sebagai anak kecil hanya bisa cemberut sejenak dan energinya akan kembali ketika sang ayah dan ibunya mengajak ke Toko Buku Abadi Raya yang menurut April dan sang abang, toko ini memiliki koleksi buku terbagus.

Selagi membolak-balikkan dan menelaah dengan detail satu persatu buku yang ada di tumpukan buku kurang lebih setinggi 35 cm tersebut. Sudah ada lebih dari 10 buku ia pindahkan dan susun rapi lagi ke sebelah kirinya untuk mencari yang ia inginkan, ada satu buku yang menarik April. Sebuah buku dengan hard cover berwarna ungu muda, tetapi warnanya sudah terlihat tidak terlalu cerah. Terukir tulisan di permukaannya yang berbunyi “Khusus untukmu”. April memperhatikan dengan seksama buku tersebut hingga kedua alisnya menyerngit. Tanpa berpikir panjang dan mengecek isi dalamnya, April langsung berniat membuat buku tersebut jadi miliknya.

Sebuah pena yang tiba-tiba jatuh dari salah satu buku di gunung tumpukan tersebut mengagetkan April. Ia langsung mengambil pena tersebut dan berniat mengembalikannya ke tempat buku asalnya. Namun, gadis itu melihat pena ini sangatlah unik dengan warna coklat muda yang terlihat seperti pena tua zaman dahulu. Karena penasaran, April memutuskan untuk membeli pena itu juga. Ia pun langsung membereskan tumpukan buku tadi ke semula sebelum menuju ke kasir tempat Bu Dinda berada. 

“Bu, aku mau beli buku ini satu ya sama penanya. Berapa, bu?” tanya April kepada Bu Dinda yang masih tengah sibuk membuat berbagai coretan-coretan di atas permukaan salah satu kertas di buku folionya. 

“Oh, itu, ambil aja lah Pril, kayak sama siapa aja sih kamu!” jawab Bu Dinda sambil tertawa pelan.

“Ih, jangan dong bu, mana boleh gitu!” balas April sambil merogoh dompetnya untuk meraih dua lembar uang berwarna hijau yang total nominalnya adalah 40 ribu rupiah. Meskipun ia sudah sangat akrab dengan keluarga Bu Dinda dan Pak Ben, April tetap tidak terbiasa perilaku tersebut. Mereka selalu dengan sukarela memberikan buku gratis ketika April mau jajan di tempat mereka. Ia selalu memaksa Bu Dinda atau Pak Ben untuk menerima bayaran darinya yang akan berujung ke perdebatan terlebih dahulu barulah Bu Dinda ataupun Pak Ben yang mengalah.

Baca juga: Harapan Secarik Kertas

Tak terasa 10 menit pun berlalu, 10 menit juga lamanya April berdebat dengan Bu Dinda masalah pembayaran sebuah buku dan pena tersebut. Pada akhirnya, tentu April yang menang. Ia berhasil membayar sebuah buku dan pena tersebut. 

“Huft, akhirnya aku bisa lurusin nih pinggang.” ujar April sembari menjatuhkan dirinya di kasur empuk kesayangannya. Kini April sudah pulang ke apartemennya, dan momen-momen sejenis inilah yang biasanya membuat April galau. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk merenung di tengah kesendirian, malam hari, dan playlist galau April. 

April berbaring menghadap langit-langit kamar apartemennya seraya mendengarkan lantunan musik galau andalannya. Tatapannya kosong. Hatinya pun begitu. Setiap kalimat yang terdapat di lagu tersebut dihayatinya begitu dalam hingga membuat luka di batinnya semakin teriris. 

“Lah, oh iya, tadi balik dari toko buku aku belum buka sama sekali buku ungu tadi!” batin April sambil mendadak mengubah posisi dari rebahan menjadi duduk karena terkejut baru teringat.

April pun segera beranjak ke meja ruang tamunya dan mengambil buku ungu dan pena usang tersebut dari dalam kantong kresek putih. April mengambil buku dan pena tersebut dan mulai membukanya. Raut wajah April berubah menjadi kebingungan sembari membolak-balikkan halaman-halaman di buku tersebut. 

“Loh, aku kirain buku ini buku self-improvement gitu, tapi ini aneh banget, kok banyakan page kosong doang ya?” gerutu April yang di tengah kebingannya, masih membolak-balikkan halaman buku tersebut.

Pada buku dengan cover warna ungu itu, halaman yang memiliki tulisan hanya terdapat di halaman paling pertama yang bertuliskan “Tuliskan apa yang ingin kamu ubah dalam hidupmu.” Tak mau berpikir berlebihan mengenai buku tersebut, April segera meraih pena yang tadi baru saja ia beli dan mulai menuliskan mengenai kisah cintanya yang terhitung sudah 5 kali gagal.

“Aku mau menghapus semua rasa sakit dan trauma yang ada di dalam diriku karena jatuh cinta.”  

Setelah berkutat dengan buku dan pena baru miliknya, April memutuskan untuk masuk ke kamar tidurnya dan tak butuh waktu lama, ia sudah langsung terlelap.

Editor: Iska Pebrina

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *