Berdamai dengan Masa Lalu

Ilustrasi cerpen keluarga
Sumber: Freepk.com

Penulis: Salwa Aulia Rohmah

“Papa, Abang mau mengundang Mama dan Ayah Chandra ke acara pernikahan Abang nanti.” Aku tersenyum lega setelah mengatakan itu di hadapan Papa.

“Abang, kamu yakin?” tanya Papa dengan raut wajah khawatir.

“Yakin, Pa. Abang mau berdamai dengan semuanya, Abang mau memaafkan semuanya.” 

Setelah mendengar itu, Papa tersenyum. Aku bisa melihat kalau senyuman Papa kali ini adalah senyuman lega seperti telah melepaskan semua beban yang dipikulnya. 

Aku bisa tahu itu karena aku pun merasakannya. Hari ini, aku telah melepaskan beban yang selama ini kurasakan. Beban yang telah kupikul selama sembilan belas tahun lamanya.

*****

Sembilan belas tahun silam, kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Usiaku delapan tahun saat itu, dan aku tidak mengetahui apapun mengenai perceraian mereka. Setelah perpisahan itu, Mama pergi dari rumah yang selama ini kami tinggali bersama. Meninggalkan aku dan Papa. 

Saat itu, aku tidak mengerti kenapa Mama tidak pernah lagi memasakkan sarapan untuk kami. Aku juga tidak mengerti kenapa Mama tidak pernah lagi mengantarkan aku ke sekolah. Saat itu pula aku tidak mengerti kenapa Mama tidak pernah pulang ke rumah lagi. Dan saat itu, aku juga tidak mengerti kenapa Papa tiba-tiba membawaku untuk kembali ke kampung halaman kami dan tinggal bersama Kakek dan Nenek. 

“Pa, Mama ke mana? Kenapa Mama tidak ikut tinggal sama kita di sini?” tanyaku saat itu.

“Mama sedang kerja di tempat yang jauh. Nanti kalau sudah tidak sibuk, Mama pulang ke rumah.” Jawaban seperti itulah yang selalu aku dengar. 

Aku sempat berpikir, memangnya sesibuk apa Mama sampai tidak sempat untuk pulang? Bahkan, Mama tidak pernah menemui kami lagi.

Papa bekerja sebagai seorang pilot di salah satu maskapai penerbangan di negeri ini. Tuntutan pekerjaan membuat Papa jarang berada di rumah. Selama tinggal bersama Kakek dan Nenek pun, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka dibandingkan bersama Papa. 

“Abang Abid, jangan marah sama Papa, ya, kalau selama ini Papa lebih sibuk bekerja. Sekarang, Abang ditemaninya sama Kakek dan Nenek dulu. Nanti kalau semuanya sudah membaik, Abang bisa bertemu lagi dengan Mama.” 

Aku tidak mengerti dengan kalimat nanti kalau semuanya sudah membaik yang diucapkan Nenek kepadaku saat itu. Memangnya apa yang sedang tidak baik-baik saja? Kenapa aku harus menunggu sampai semuanya membaik agar bisa bertemu dengan Mama lagi? 

Ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul di kepalaku. 

“Sebenarnya Mama ke mana?”

“Aku rindu mama. Kapan aku bisa dipeluk lagi oleh Mama?” 

“Kapan Mama akan meluangkan waktu untuk menemui kami?”

Dan banyak pertanyaan lain yang tidak bisa kutemukan jawabannya saat itu. 

Hari-hari kuhabiskan bersama Kakek dan Nenek. Kakek suka sekali mengajakku berkeliling lingkungan rumah sembari memperkenalkan aku kepada para tetangganya. Sementara Nenek selalu memasak sarapan untuk kami santap bersama. Aku sangat senang bisa tinggal bersama mereka di sini. Namun, saat itu aku selalu merasa bahwa Papa, Kakek, dan Nenek seakan-akan ingin membuat aku lupa akan kehadiran Mama.

Setelah empat tahun tinggal bersama Kakek dan Nenek, Papa mengajakku untuk kembali ke kota, tempat rumah lama kami berada. Papa bilang, kami akan tinggal di sana lagi. Aku memang senang tinggal bersama Kakek dan Nenek, tapi aku juga sangat merindukan rumah kami. 

Aku sempat berpikir kalau mungkin saja saat aku kembali ke rumah, Mama juga akan ada di sana untuk menyambut kedatanganku dan Papa. Namun, ternyata salah. Saat menginjakkan kaki di rumah kami, aku sama sekali tidak menemukan kehadiran Mama. Hanya ada Mbak Irma, asisten rumah tangga, yang menyambut kami. 

Setiap hari aku selalu menyempatkan diri untuk duduk di kursi yang ada di ruang tamu rumah kami, berharap akan ada mama yang mengetuk pintu dan akulah orang pertama yang akan menyambut kedatangan Mama. 

Namun, penantianku tidak ada hasilnya. Mama tidak pernah datang lagi ke rumah kami. Dan aku tidak pernah lagi bertemu Mama sejak saat itu. 

*****

“Abang, Mama sudah datang.”

Hari ini merupakan hari pernikahanku. Seperti yang sudah aku rencanakan, Mama benar-benar datang ke acara hari ini. Mama datang bersama dengan Ayah Chandra—suaminya—dan juga Nadine, putri mereka. 

“Abang Abid?” 

Aku menoleh dan mendapati keberadaan Ayah Chandra di belakangku. Ia tersenyum manis dan menawarkan pelukan. Aku menghampirinya dan membalas pelukannya.

“Abang, selamat, ya. Selamat menempuh hidup baru bersama pasanganmu.”

Aku tersenyum, lantas mengangguk.

“Abang, Ayah mau minta maaf,” ujar Ayah Chandra.

“Ayah minta maaf karena sudah membuat kamu tidak bisa bertemu Mama dalam waktu yang lama. Maaf karena kehadiran Ayah sudah menghancurkan keluargamu,” lanjutnya.

“Maaf karena Ayah sudah mengambil Mama dari kamu.”

Aku tersenyum, menatap dalam ke mata Ayah Chandra. 

Mengingat kembali apa alasan sebenarnya yang membuat Papa dan Mama harus berpisah kala itu. 

Papa dan Mama saat itu memang berpisah karena kehadiran Ayah Chandra di tengah-tengah kehidupan pernikahan mereka. Papa yang sibuk bekerja sehingga jarang berada di rumah membuat Mama mencari kehadiran sosok Papa dari pria lain. Dan pria lain itu, adalah Ayah Chandra. 

Sedikit yang kutahu, Mama bahkan sudah memiliki hubungan dengan Ayah Chandra sejak satu tahun sebelum perceraian Mama dan Papa.. 

Mama mengkhianati Papa.

Mama mengkhianati pernikahannya dengan Papa.

Tidak hanya itu, Mama menghancurkan keluarga kami.

Mama juga telah menghancurkan masa kecilku.

Bertahun-tahun, aku tidak bisa bertemu dengan Mama karena Papa yang memang dengan sengaja tidak ingin aku melihat Mama lagi. Papa tidak mau aku bertemu dengan seseorang yang telah menghancurkan keluarga kami. 

Dan aku benar-benar sudah terbiasa tanpa kehadiran sosok Mama di hidupku.

“Iya Ayah, nggak apa-apa,” ucapku 

“Kalau memang bahagia yang selama ini Mama cari itu ada di Ayah, Abid bisa mengerti,” lanjutku.

“Abid mau titip pesan untuk Ayah, boleh?” tanyaku pada Ayah Chandra.

“Boleh, Nak. Apapun yang kamu minta,” jawab Ayah Chandra sembari tersenyum.

“Ayah, tolong jaga Mama, ya. Tolong jangan buat Mama sedih. Abid senang sekali karena Mama sudah menemukan kebahagiaannya bersama Ayah. Jadi, tolong bahagiakan Mama untuk selamanya, ya.”

Aku bisa melihat kalau mata Ayah Chandra mulai berkaca-kaca.

“Pasti, Nak. Ayah berjanji akan selalu membahagiakan Mama.”

“Abid juga, tolong hidup dengan bahagia, ya.” Setelah mengatakan itu, Ayah Chandra kembali memelukku. 

Aku harus hidup dengan bahagia, ya? 

Bahagiaku adalah dengan mengikhlaskan semua masalah yang telah terjadi. Bahagiaku adalah dengan memaafkan semuanya.

Dan saat ini, aku telah bahagia.

Editor: Iska Pebrina

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *