Penulis: Riska Widiana
Aku termakan oleh ucapan Mbah Darjo ketika usiaku sebelas tahun. Pria tua itu membaca garis tangan dan mengatakan bahwa aku memiliki nasib baik sehingga aku akan menjadi wanita sukses dan segala keberuntungan berpihak padaku.
Sejak saat itu, aku sepenuhnya percaya bahwa nasib baik benar-benar akan menghampiri meski aku tidak berusaha. Karena terlalu meyakini hal itu, aku pun tidak terlalu antusias dan giat belajar ketika sekolah dan lebih sering menikmati harta orang tua.
Aku memang tergolong pintar. Meskipun tidak terlalu gigih belajar, nilaiku selalu bagus sejak sekolah dasar. Aku selalu masuk peringkat lima besar. Padahal, kalau aku lebih giat, aku bisa saja meraih peringkat tiga besar. Bahkan, aku mungkin bisa mengalahkan Dara, peringkat pertama di kelasku. Namun, karena sudah termakan ucapan Mbah Darjo, sifat malas merajaiku.
Sepuluh tahun silam, aku telah salah arah dan lebih memilih bersantai di waktu muda. Aku sangat yakin akan menjadi orang sukses di masa depan tanpa perlu berusaha.
“Apa kamu tidak cemas dengan masa depanmu jika terus bermalas-malasan?” ujar Ibu saat aku mengabaikan beasiswa dari kampus ternama.
“Jasmin akan menjadi orang kaya, Ma. Tenang saja. Walaupun Jasmin tidak kuliah, nasib baik akan datang,” jawabku.
“Nasib baik apa jika malas-malasan? Yang ada kamu akan menyesal. Isi pendaftaran itu, pokoknya kau harus kuliah! Jangan termakan dengan nasib yang diucapkan Mbah Darjo. Mustahil!”
“Tidak, Ma. Ucapan Mbah Darjo itu benar, segala nasib tidak akan ke mana-mana jika sudah takdirnya.”
“Ya, iya, tapi harus berusaha, tidak ada orang sukses malas-malasan.”
“Halah, Ma. Sudahlah, Jasmin tak mau kuliah.”
Aku berdiri membanting pendaftaran beasiswa itu dan beranjak meninggalkan Mama yang mematung menatapku dengan kecewa.
***
Di sekolah, teman-teman antusias menunggu pengumuman kelulusan. Semua sudah menentukan universitas masing-masing untuk melanjutkan pendidikannya, sedangkan Aku pun hanya melenggang pergi dengan masa bodoh. Diriku sangat benci belajar. Aku lebih suka berfoya-foya serta liburan sana-sini. Toh, nasib baik akan datang.
“Hai, Jas. Kau akan melanjutkan kuliah ke universitas mana?” tanya Dara sambil menggandeng lenganku.
“Aku tidak kuliah,” sahutku tegas dengan mimik datar.
Dara sedikit terkejut melihat sikapku dan spontan menarik tangannya dari lenganku yang sempat digandengnya.
“Kamu tidak bercanda, kan?”
“Apa aku terlihat bercanda?”
“Yang benar saja, Jas. Bukannya keluargamu sangat memperhatikan pendidikan?”
“Meskipun kedua orang tuaku berpendidikan, adakah kewajiban anaknya untuk harus berpendidikan tinggi juha?” tanyaku sinis.
Wajahnya menunjukkan kebingungan. “Bukan seperti itu, Jas. Maksudku, ya, meskipun setiap keputusan adalah hak setiap orang, tapi pendidikan itu penting.”
Aku menepuk pundak Dara sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah perhatian, tetapi kuliah ataupun tidak, itu urusanku. Kau kuliah saja dan bantu orang tuamu yang miskin itu,” ucapku kasar sembari melihat ke arah formulir pendaftaran beasiswa dari kampus besar yang dipegangnya.
Baca juga: Pergi Tak Kembali
Dara menduduki peringkat pertama sama seperti biasanya. Mendengar ucapan yang kurang mengenakkan itu, Dara spontan menepis tanganku dari pundaknya.
“Baiklah, aku memang miskin dan kita berbeda. Aku harus berusaha keras untuk sukses, sedangkan kau sudah memiliki banyak uang sehingga kesuksesanmu terjamin.”
Aku bertepuk tangan dengan angkuh, membenarkan perkataan Dara.
“Kau sudah menyadarinya, bukan? Maka silakan lanjutkan tugasmu, aku mau pergi.”
Aku berlalu sambil menyenggol sedikit bahu Dara. Dia menunduk dengan mata berkaca-kaca. Sebelum masuk ke mobil, aku berbisik ke telinganya. Seketika terlihat raut amarah di wajahnya. Aku yang melihatnya pun tersenyum puas.
“Ingat Dara, kita lihat siapa yang akan sukses nanti. Kau itu miskin dan selamanya nasibmu tidak akan berubah, sedangkan aku sudah memiliki takdir yang baik di masa depan. Tanpa berusaha keras pun, aku akan menjadi lebih kaya.”
Dara tidak menyahut ucapanku. Dia hanya menatapku dengan penuh kekecewaan. Aku tahu dia kecewa sebab kami pada awalnya adalah teman baik, tapi aku menyadari perbedaan status kami yang berbeda. Meski Dara selalu memperhatikanku sebagai seorang teman, aku malah membuatnya kecewa. Hari ini aku menyaksikan raut kecewa paling dalam di wajahnya.
Sekilas aku sempat melihat tatapan kebencian di mata Dara berubah menjadi kesedihan. Sepertinya dia tidak kuasa membenciku dan masih berharap kami bisa berteman. Namun, aku sudah telanjur dipenuhi kesombongan. Aku hanya tersenyum sinis dan meninggalkannya yang mematung seorang diri.
“Dasar gadis miskin,” ucapku dengan angkuh
***
Sudah sepuluh tahun berlalu, aku masih mengingat bagaimana tatapan kecewa Dara dan kedua orang tuaku saat menyaksikan hidupku yang hanya menikmati harta, pergi ke klub, berpesta, dan liburan sana-sini. Aku juga tidak berniat untuk bekerja. Aku hanya tinggal menunggu perusahaan ayahku diwariskan padaku. Namun, perusahaan Ayah malah berpindah ke tangan adiknya, Paman Sudarja, karena aku tidak mempunyai pengalaman mengelola perusahaan.
Memang sudah lama Paman Sudarja terobsesi dengan perusahaan Ayah dan ingin mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Pada masa kepemimpinannya, perusahaan ayah mengalami kerugian. Bahkan, Paman menjual saham ke perusahaan asing. Tidak hanya itu, Paman Sudarja menggerogoti keuangan perusahaan hingga bangkrut serta hasilnya dibawa kabur entah ke mana.
Akhirnya, keluargaku jatuh miskin. Sementara itu, Ayah meninggal karena mengalami syok saat mendengar kabar itu. Ibu depresi sepeninggal Ayah dan kesehatannya memburuk dari hari ke hari. Pamanku kini tidak bisa ditemukan. Ia tak pernah muncul setelah menghancurkan perusahaan.
Kini aku tidak bisa hidup berfoya-foya lagi karena sudah jatuh miskin. Hanya ada penyesalan yang tak kunjung habis. Setiap kali kukunjungi makam Ayah, aku terus meminta maaf padanya karena tidak mematuhi perkataan dan nasihat Ayah dulu.
***
“Kuliahlah, Jas. Ambil jurusan bisnis dan lanjutkan perusahaan. Kau adalah satu-satunya harapan kami,” ujar Ayah.
“Tidak mau, Ayah. Jasmin akan sukses nanti. Mbah Darjo sudah mengatakan itu.”
“Mungkin perkataan Mbah Darjo ada benarnya karena jika kau mewarisi perusahaan Ayah, hidupmu tidak akan kekurangan. Jadi, ayo buktikan ucapan Mbah itu!” pinta Ayah.
Ayah terus membujukku agar tidak terlalu percaya pada ucapan Mbah Darjo. Ayah juga memintaku agar tidak bertumpu pada sesuatu yang belum pasti sebab keberhasilan setiap manusia tergantung usahanya. Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali ia berusaha. Namun, aku tetap menolak dan bersikeras bahwa kesuksesan akan datang dengan sendirinya. Ayah pun mengatakan bahwa perkataan Mbah Darjo telah membuat aku berubah. Mengingat itu semua membuatku terluka dan berlinang air mata.
Baca juga: Harapan Secarik Kertas
Kini hidupku berbanding balik dengan ucapan Mbah Darjo. Aku jatuh miskin dan bekerja sebagai pengantar pesanan makanan. Hanya terisa penyesalan dalam hidupku. Mungkin perkataan Mbah Darjo ada benarnya. Aku akan sukses bila berusaha, tapi aku telah salah menafsirkan sehingga malah nasib buruk menimpaku.
Aku ingin marah pada Mbah Darjo dan menyalahkannya karena mengucapkan hal itu kepada anak yang berusia sebelas tahun, tapi ia sudah lama meninggal, sebulan setelah mengatakan hal itu padaku. Mungkin jika aku tidak menelan mentanh-mentah ucapan Mbah Darjo, aku tidak perlu merasakan penyesalan yang tengah aku rasakan ini.
***
Di tengah penyesalan dan lamunanku, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari teman kerjaku. Dia memintaku untuk segera kembali karena ada pesanan makan siang dengan jumlah banyak yang harus diantar ke suatu perusahaan elektronik. Aku pun bergegas pergi setelah melihat Ibu tertidur. Kemudian bergabung bersama teman-teman kerjaku untuk mengemas makanan
“Bungkus dan antar tepat waktu,” teriak bos. Kami pun dengan cekatan mengemasi tiap kotak makan.
“Berapa banyak pesanannya?” tanyaku.
“Seribu, Jas,” sahut temanku tanpa menoleh, tangannya sibuk mengemasi makanan yang akan diantar.
Aku terperangah, segera mencatat makanan yang sudah dikemas di dalam kotak makan.
“Apa mereka akan ada acara besar? Tumben ada pesanan sebanyak ini dalam sehari.”
“Katanya ada pelantikan direktur baru.”
“Oh, begitu.”
Mendengar itu, ada perasaan takjub. Dulu aku sangat mengincar posisi itu dan bermimpi suatu hari bisa bekerja di sana sebagai karyawan. Namun, sekarang keinginan itu hanya sebatas mimpi saja. Ketika perusahaan milik keluargaku bangkrut, aku baru menyadari bahwa pendidikan itu penting. Namun, itu sudah terlambat. Hanya ada penyesalan yang panjang tanpa batas. Jangankan untuk kuliah, untuk makan saja kini aku harus pontang-panting
“Bagaimana, Jasmin? Pesanannya sudah cukup seribu?” tanya bosku.
Aku mengiyakan dengan mantap. Kemudian kami berangkat menggunakan dua mobil pick up untuk mengantar makanan ke perusahaan tersebut.
***
Aku menatap takjub bangunan kaca bertingkat sepuluh yang ada di depanku. Sungguh beruntung siapa pun yang bekerja di perusahaan tersebut. Aku jadi teringat saat Ayah memintaku untuk kuliah dan menggantikannya sebagai pimpinan. Jika saja waktu itu aku mau, pasti sekarang keadaannya berbeda. Penyesalan kembali datang padaku.
“Jasmin, ayo bantu,” ucap temanku sambil menyenggolku, membuat lamunanku buyar.
Ia menyuruhku untuk segera membantu membawakan makanan dari mobil ke dalam ruangan. Aku pun bergegas untuk membantu. Saat hendak kembali membawa makanan lain, orang-orang seketika berbaris dan membuka jalan seraya menunduk memberi hormat. Aku pun spontan melakukan hal sama.
Terlihat lima mobil mewah berhenti di depan kantor. Dari salah satu mobil tersebut, keluar seorang gadis muda seusiaku. Dia tersenyum lebar sambil menyapa kami semua. Semua orang terlihat antusias menjawab salam dan menyambut uluran tangannya. Tepat saat mata kami saling bertemu, aku baru menyadari bahwa dia adalah Dara, temanku semasa SMA dulu. Dia juga tampak terkejut melihatku. Aku menutup mulut tak percaya. Sungguh keadaan benar-benar sudah berbanding terbalik.
“Jasmin …” sapa Dara sambil perlahan mendekatiku.
Semua orang menoleh padaku. Sebenarnya aku merasa malu, tapi aku mencoba tenang dan bersikap normal. Dara mendekat dan menyalam tanganku tanpa rasa malu. Aku pun sedikit terperanjat.
“Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu,” ucapnya dengan tulus.
Aku merasa aneh dan hanya tersenyum canggung. Tidak lama kemudian pemimpin perusahaan dan staf tertinggi di perusahaan itu keluar. Mereka tampak antusias menyambut Dara dan mempersilakannya untuk masuk ke ruangan yang sudah disiapkan. Sekilas aku merasakan penyesalan dalam melihat situsi itu. Dara terlihat sangat cantik dan berbeda. Dia terlihat lebih modis dengan tampilan mewahnya, tapi sepertinya sifat baiknya tidak hilang.
“Nanti kita bicara banyak, ya, setelah urusanku selesai.” pamit Dara.
Aku hanya mengangguk canggung. Teman-temanku menatap kagum pada kecantikan dan karisma Dara. Sementara aku memilih lanjut mengambil makanan dan melanjutkan pekerjaan. Meski beberapa temanku bertanya-tanya tentang Dara, aku hanya sesekali saja menjawab pertanyaan mereka. Setelah selesai memindahkan kotak-kotak makan itu, aku bergegas pulang ke rumah dengan alasan harus merawat Ibu. Aku tidak mau menambah penyesalan yang aku rasakan ini.
Setibanya di rumah, aku masuk ke kamar dan membenamkan wajah ke bantal. Aku menangis terisak-isak mengingat Dara sudah sukses menjadi seorang direktur, sedangkan aku hanya seorang pengantar makanan. Tiba-tiba teleponku berbunyi. Ada pesan masuk.
“Jasmin, ini aku Dara. Aku mendapat nomormu dari teman kerjamu. Maaf karena tidak bisa mengobrol banyak waktu kita bertemu. Aku dengar ibumu sakit keras. Perusahaanku sedang membutuhkan karyawan baru. Aku akan merekomendasikan kamu untuk bekerja, gajinya lumayan. Maaf karena aku mengatakan ini, sepertinya kau mengalami masa sulit. Jadi, aku mohon pertimbangkan tawaranku. Mari kita bertemu malam ini.”
Setelah membaca pesan tu, aku membanting handphone ke kasur, lalu berteriak frustrasi.
“Berhenti memedulikan dan mengasihaniku.”
Aku menangis dengan penyesalan yang panjang dan terus mencabik dadaku.
Editor: Kru BiSa