Harapan Secarik Kertas

Ilustrasi cerpen kehidupan harapan secarik kertas
Sumber: Canva.com

Penulis: Agus Sanjaya

Sore ini angin bertiup lembut. Pohon-pohon tampak seperti sedang menari seirama dengan angin, seolah tak memiliki beban apa pun. Ayah mengajakku ke suatu tempat. Sebuah jalan kecil berbatu yang berada di tengah-tengah sawah.

Suasana menjadi mistis ketika kami sampai di ujung jalan tersebut. Ada beberapa makam tua di sana. Kata ayahku, itu adalah makam dari seorang dalang dan dua sindennya yang dulu sangat terkenal di desaku.

“Sebenarnya untuk apa, sih, kita ke sini, Yah?” tanyaku bingung.

“Minta keberuntungan,” jawab Ayah sambil meletakkan secarik kertas dan pena di atas makam itu.

Ayah juga menyalakan dupa. Seketika keheningan menyelimuti kami. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Rasanya ingin segera pergi dari situ. 

Setelah ritual itu selesai, Ayah pun mengajakku pulang. Tak lupa ia membawa secarik kertas yang ia letakkan di atas makam tadi. Seutas senyum mengembang di wajah tampan ayahku.

Keesokan harinya, Ayah menyerahkan nomor keberuntungannya pada penjual lotre. Ayah sangat berharap semua usahanya berhasil. Aku pun hanya bisa mendoakan agar keinginannya terwujud.

“Nomor 18.”  

Ayah melihat kupon lotre miliknya yang bertuliskan angka 19 dan langsung merobeknya. Ia merasa sangat kesal. Aku pun hanya bisa menenangkannya.  

“Dasar dedemit kuburan pelit! Cuma bisa memberikan kesialan saja,” umpat Ayah.

“Kamu gagal lagi, So?” tanya seorang bapak tua, mungkin temannya Ayah.

“Iya, Wan,” jawab ayahku pada bapak yang bernama Gunawan itu.

“Karso, kamu nggak pernah berhasil dari dulu. Coba pergi ke pohon beringin yang ada di sana!” kata Pak Gunawan sembari menunjuk ke arah pohon beringin di dekat SD.

“Di, ayo ikut Ayah lagi!” 

Aku masih menatap pohon beringin yang Pak Gunawan tunjuk. “Ardi, kamu nggak denger Ayah ngomong?” teriak Ayah yang membuatku kaget.

“Maaf, Yah. Ardi tadi nggak dengar.”

“Ayo ke beringin itu!”

Aku hanya bisa menurut. Sejak SMP, Ayah memang selalu mengejar undian lotre dan aku selalu diajaknya untuk melakukan ritual agar rencananya berhasil. 

Sementara itu, pohon beringin di dekat SD itu tampak sangat menyeramkan. Menurut kabar yang beredar, pohon itu adalah kerajaan jin. Ada orang yang pernah mengalami kejadian misterius di sana.

Seorang tukang mebel pernah diminta mengantarkan pesanan ke rumah mewah. Tanpa merasa curiga, ia mengantarkan pesanan tersebut. Namun, saat sudah tiba di alamat yang dituju, rumah mewah itu hilang dalam sekejap dan hanya tersisa sebuah pohon beringin.

*****

Ayah melakukan ritual di dekat pohon beringin itu. Ia sangat berharap penunggu di sana dapat membantunya. Sebenarnya, aku merasa perbuatan ayahku tak dapat diterima logika, tetapi Ayah selalu marah jika aku memintanya untuk menghentikan kebiasaannya itu. Aku pun hanya bisa pasrah melihat kesungguhan ayahku. 

Kali ini, Ayah benar-benar berharap keberuntungan menyertainya. Sebotol air mineral telah habis diteguknya. Dalam kekhawatiran, ia tetap optimis akan berhasil. Terik matahari tak membuat Ayah kehilangan semangatnya.

*****

“Nomor 21.”

Ayah melihat kupon lotrenya. Nomor yang didapatnya adalah 20. Ayah yang kesal lantas membanting botol minum yang dibawanya. Semuanya sia-sia. Sepertinya memang benar. Tak ada kemenangan yang dapat berhasil dengan cara instan.

“Aku belum kalah! Besok coba lagi!” Ayah tampak belum menyerah.

Perlahan, mentari mulai tenggelam ke sisi barat menandakan ia akan segera beristirahat. Sama seperti kami yang berjalan pulang ke rumah. Angin berembus cukup kuat, bertarung dengan semangat ayahku yang masih menggebu. Sementara aku hanya bisa berdoa agar Ayah bisa lebih realistis dan menghentikan ritual-ritual itu.

Editor: Iska Pebrina

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *