Penulis: Tania Rahmadani Nursyahputri
Sudah dua jam sejak pesawatku mendarat di bandara Yogyakarta International Airport (YIA), tetapi aku masih duduk termangu di bangku panjang ruang tunggu bandara. Aku terus berpikir untuk memesan tiket dan kembali lagi ke Jerman. Ponsel masih kumatikan. Entah berapa ratus pesan dan panggilan yang akan kuterima begitu aku menyalakan ponsel nanti.
Aku sudah mengabari orang tuaku perihal kepulanganku dari Jerman. Tentu saja orang tuaku sudah memprediksi kapan putrinya ini akan sampai, tetapi hingga waktu yang telah mereka perkirakan, aku dengan kurang ajarnya malah menumbuhkan berbagai macam pemikiran tak karuan dalam benak mereka.
Ini adalah kali pertama aku pulang setelah lima tahun menetap di Jerman. Begitu aku menyelesaikan pendidikan sarjana pertamaku, aku memutuskan untuk hidup sederhana di salah satu desa di Jerman, jauh dari hiruk pikuk kota. Aku merasa hidupku tenteram dan bahagia.
Hingga satu bulan yang lalu, tiba-tiba saja Ayah–yang katanya mampir setelah menyelesaikan sedikit pekerjaan di Belgia–memintaku pulang karena urusan mendesak. Beliau tak menjelaskan segenting apa urusannya hingga aku harus pulang, yang penting aku pulang saja dulu.
Setelah perdebatan sengit antara aku dan Ayah yang sama-sama keras kepala, Ayah pun mengatakan alasannya. Ternyata, Ibu sedang sakit. Ibu juga ingin aku segera menikah. Lebih mengejutkan lagi, aku sudah dilamar dan Ayah mengiyakan. Ah, bukan. Ayah memang mengiyakan, tetapi semua keputusan tetap ada di tanganku. Yang penting aku pulang dulu, begitu kata Ayah.
Kepindahanku ke Jerman bukan tanpa alasan. Lima tahun yang lalu, aku memilih meninggalkan Indonesia setelah patah hati keduaku. Klise memang. Namun, salah satu cara untuk menyelamatkan hatiku kala itu adalah dengan pergi sejauh mungkin.
Baca juga: Antologi Puisi: Aroma Kerinduan
Sudah lima tahun berlalu. Apakah kini aku baik-baik saja? Tentu tidak. Malam-malam panjang saat aku sangat merindukan pria itu masih kualami. Perihnya hatiku ketika mengingat semua momen manis yang kami lewati berdua pun masih begitu segar menggores batinku. Dan kini, aku harus menikah, entah dengan siapa pula, aku tak tahu.
Terbesit di otakku untuk mendeklarasikan nikah kontrak, tetapi langsung kutepis pikiran gila itu karena sama saja aku sedang berharap Ibu segera meninggal. Aku baru menginjak usia 27 tahun bulan lalu, pemikiran untuk menikah setidaknya masih ingin kutunda barang satu atau dua tahun lagi. Itu saja jika aku bisa jatuh cinta lagi.
Aku menghela napas pasrah. Setidaknya selama lima tahun ini masih ada sedikit harapan serta ribuan doa yang kulabuhkan tiap seperempat malam hanya untuk meminta kembali dipersatukan dengan seseorang yang benar-benar telah mengambil hatiku sepenuhnya itu.
Kukeluarkan ponselku dari tas, kemudian menyalakannya. Setidaknya harus ada satu hal yang kuselesaikan sebelum aku benar-benar menikah nantinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku belum siap untuk menikah. Apalagi dengan orang asing. Walau Ayah terlihat begitu yakin bahwa pria itu sangat baik sehingga aku akan sangat bahagia bila menjadi istrinya.
Tapi tak apa. Selama aku hidup, aku belum pernah benar-benar merasa telah membalas budi baik kedua orang tuaku. Terutama Ibu. Jika memang di sisa hidupnya Ibu ingin putrinya ini menikah, maka baiklah, aku akan menikah.
Aku mengetikkan sesuatu di ponselku, lalu mengirimkannya pada nomor yang sama, yang masih bertahan hingga lima tahun terakhir ini. Kami mungkin sudah tak pernah saling berkomunikasi, tetapi sesekali aku masih sering mengecek ruang obrolan miliknya, dan sesekali notifikasi online tertera di sana.
Hingga beberapa saat, aku belum juga mendapatkan balasan darinya. Namun, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk. Aku sedikit terkejut sehingga tak langsung mengangkat panggilan telepon itu. Aku menarik napas sejenak, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau pada layar ponselku.
“Halo?”
Suaranya masih terdengar sama, hanya sedikit lebih berat. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Betapa aku sangat merindukan pria ini.
“Diandra?”
Aku tersadar dari lamunanku kala ia mengalunkan namaku dengan begitu lembut, seperti lima tahun lalu.
“Ya, halo. Bagaimana kabarmu?”
Aku mendengar sedikit kekehan tawa dari seberang.
“Aku baik. Sangat baik. Bagaimana denganmu?”
Aku tersenyum getir. Rasanya hanya aku saja yang hancur selama ini.
“Aku …” Bohong sekali jika aku bilang aku baik-baik saja.
“Jeff, bisa kita bertemu sebentar? Ada sesuatu yang harus aku bicarakan.”
Alih-alih menjawab pertanyaannya tentang bagaimana kabarku, aku langsung menerobos ke inti mengapa aku menghubunginya setelah lima tahun tak pernah saling menyapa lagi. Selama satu menit ke depan, aku hanya mendengar deru napas halus pria itu.
“Jeffrey?” aku memastikan pria itu masih berada dalam sambungan.
“Ah, soal itu … bisa beri aku waktu? Aku harus bertanya pada calon istriku dulu.”
Sialan.
Aku meneleponnya bukan untuk menerima lebih banyak rasa sakit. Tanpa mengatakan apa-apa, aku pun langsung mematikan sambungan.
Memangnya apa yang kuharapkan? Sudah lima tahun berlalu. Tentu saja ia sudah memiliki pengganti diriku.
Aku bangkit dari bangku yang sejak tadi kududuki, lalu mengabari Ayah bahwa aku sudah dalam perjalanan ke rumah dan mengatakan agar tak perlu repot-repot menjemputku.
*****
Baca juga: Pendakian Pertama, Gunung Lawu
Aku tak dapat memercayai penglihatanku akan sosok yang kini sedang duduk di ruang tamu dengan Ayah. Seseorang yang beberapa saat lalu berada dalam panggilan telepon denganku. Sosok yang katanya baru akan menemuiku setelah mendapat izin dari calon istrinya. Oh, cepat sekali ia datang.
“Diandra, kemari, Nak.”
Aku yang benar-benar baru tiba, bahkan belum sempat dimasukkan koper-koperku ke kamar. Aku menghampiri ayah, lalu duduk di sampingnya.
“Nak Jeffrey yang datang melamar kamu dua bulan lalu.”
Eh, bagaimana?
“Ayah, tidak lucu. Jelas-jelas tadi dia bilang sudah punya calon istri.”
Ayah dan Jeffrey tertawa. Seolah perasaanku hanya bahan guyonan semata.
“Setelah lima tahun, Diandra yang senang memutuskan segala hal secara sepihak ternyata masih sama, ya?” kini giliran Jeffrey yang buka suara.
Apa maksudnya?
“Ayahmu sudah menerima pinanganku. Kini giliran kamu. Apa kamu mau menikah denganku, Dee? Kalau iya, berarti aku betulan punya calon istri.”
Humornya masih sama recehnya dengan lima tahun lalu.
“Ayo, Dee. Kita perbaiki yang salah lima tahun lalu. Aku masih sangat mencintai kamu.”
“Siapa dulu yang bilang tak ingin menikah?”
Jeffrey tampak kikuk. “Manusia berubah, Dee. Aku hancur begitu kita berpisah. Setahun pertama aku berusaha menghubungi kamu. Aku bahkan sudah nekat untuk melamarmu begitu aku menemukanmu waktu itu.”
“Dasar tidak waras!” ucapku dalam hati.
Tapi tentu saja sekarang aku bahagia. Inikah jawaban Tuhan perkara doa-doa yang kulayangkan tiap malam?
“Iya,” jawabku singkat.
“Iya apa, Dee?”
Aku menatap Ayah yang melempar senyum ke arahku. Padahal dulu Ayah juga yang paling marah ketika aku berpisah dengan Jeffrey.
“Iya, Iya aku mau jadi istrimu.”
Jeffrey tertawa kecil. “Kalau begitu aku minta izin, ya, Dee. Tadi mantan kekasihku menelpon minta bertemu, rindu sepertinya.” Jeffrey dan humor murahannya yang tak akan pernah terpisahkan.
Sekarang aku tahu, terkadang cara kerja Tuhan dalam mengabulkan doa juga bisa sangat konyol!
Editor: Kru Bisa