Penulis: Violetta Suryastuti Putri
Kulit gosong, wajah memerah, keringat bercucuran, dan otot kaki yang dipaksa kuat untuk berlarian setiap hari demi mencari rupiah. Berkeliling pasar, stasiun, terminal, dan tempat-tempat orang berkerumun lainnya.
Sebenarnya, aku tak mau hidup seperti ini terus, tapi apa boleh buat, hidup ini keras bagiku. Kenyataan memaksaku untuk bertahan dari segala tempaan, kekurangan, serta masalah yang ada.
Aku adalah seorang lelaki yang tak dapat dikatakan muda lagi. Namun, aku juga tak setua itu. Umurku 37 tahun dengan tiga anak dan satu istri. Anak-anakku tumbuh dengan baik dan tentu saja sangat menggemaskan.
Akan tetapi, anak bungsuku mengidap penyakit jantung sedari bayi. Mau tak mau ia harus berkunjung ke rumah sakit untuk berkencan dengan dokter setiap bulannya. Biaya yang aku keluarkan untuk anakku tentu saja tak sedikit, tetapi apa pun akan kulakukan untuk keluargaku.
Aku tak tahu bagaimana rencana Tuhan bagi hidupku ini. Sering kali aku berteriak dalam hening. Setiap dini hari aku tumpahkan segala protesku kepada Tuhan. Kadang kala aku merasa tak dapat melanjutkan hidup. Jerat kemiskinan ini terus saja menekanku. Seluruh kebutuhan obat-obatan bagi anak bungsuku, tagihan sekolah, dan kebutuhan rumah tangga yang rasanya tak pernah habis.
Ingin rasanya aku menyelesaikan hidupku, mengakhirinya di sebuah tambang atau menenggak segelas racun. Namun, aku masih memiliki iman untuk tidak melakukan itu semua. Menghilangkan nyawaku bukanlah suatu solusi yang baik. Hal itu justru akan membuat beban baru untuk istri dan anak-anak tercintaku.
Setiap pagi hingga malam aku berkeliling ke banyak tempat untuk bekerja. Mulai dari menjadi buruh panggul, kernet, tukang angkat barang, sampai tukang parkir. Semua aku kerjakan. Meski tubuhku ini rasanya sudah hampir rontok, aku tak mungkin berhenti bekerja.
Sebenarnya, aku memiliki pekerjaan lain. Hanya saja, keluargaku tidak mengetahuinya. Terkadang, aku merasa bersalah kepada keluarga kecilku karena memberi mereka nafkah dari uang panas. Namun, apa boleh buat, keadaan memaksaku untuk melakukan itu.
Terlebih lagi biaya obat untuk anak bungsuku yang tidak murah. Kadang kala aku merasa berdosa karena hal yang kulakukan ini. Namun, beberapa detik kemudian, aku merasa biasa saja karena ini merupakan usahaku dalam memenuhi kewajiban sebagai seorang kepala rumah tangga.
Baca juga: Melepasmu Pergi
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, hidupku semakin tak tenang. Entah karena dikejar-kejar orang atau perasaan bersalah yang selalu menguasai hati dan pikiranku. Anak bungsuku tak juga kunjung membaik, keadaannya justru semakin parah. Apakah semua ini hukuman dari Tuhan atas perbuatanku?
Namun bagaimana lagi, aku tak punya cara lain yang lebih cepat untuk mendapatkan uang. Hingga kini pun aku masih tak sanggup untuk mengatakan kepada keluarga kecilku atas pekerjaan sampingan yang selama ini kulakukan. Entah sampai kapan aku akan terus merahasiakannya. Sering kali istriku bertanya atas apa yang aku kerjakan, tetapi aku terus saja berkelit. Aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya.
Beberapa kali aku harus pergi meninggalkan rumah untuk bersembunyi dari beberapa orang yang mengincarku. Istri dan anak-anakku inilah yang menjadi tameng untuk menemui para orang berbadan besar tersebut.
Tentu kalian penasaran dengan pekerjaan yang kulakukan hingga membuat hidupku sesuram ini. Mengingat-ingatnya saja telah membuatku muak apalagi menyebutkannya. Namun, hidup kadang memang sehitam itu untuk sebagian orang.
Aku adalah seorang pencopet dan juga pengedar narkoba. Dua pekerjaan itu adalah hal yang sangat menolongku untuk dapat menghasilkan uang yang lebih banyak. Lagi-lagi kukatakan bahwa ini semua kulakukan demi keluargaku, terutama untuk pengobatan anak bungsuku.
Jika kalian berpikir aku senang melakukannya, kalian salah. Aku melakukan ini semua karena tak memiliki pintu yang lainnya. Tuhan yang kupuja dan kukagumi saja seperti tak mendengar jeritanku. Aku seperti dibuang dan diberi begitu banyak permasalahan, tetapi tidak dengan jalan keluarnya.
Tiba juga hari saat penyakit anak bungsuku semakin memburuk. Biaya yang dibutuhkan pun akan semakin banyak. Aku dan istriku kelimpungan mencari cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Namun, akan kulakukan semua hal untuk keselamatan anakku.
Aku semakin banyak mencopet orang-orang dan mengantarkan berbagai paket narkoba. Setiap aku mengantarkan barang tersebut aku berpikir bahwa aku sangat bersalah karena membunuh satu generasi bangsa. Namun bagaimana lagi aku mencintai anakku dan tak ikhlas untuk kehilangannya.
“Andai kau tahu, Nak. Nyawamu ditukar dengan banyak nyawa orang di luar sana. Maafkan ayahmu ini.”
Baca juga: Dalam Penyesalan yang Panjang
Hari operasi pun tiba. Setelah beberapa jam menunggu, dokter mengatakan bahwa operasi tersebut berhasil. Nyawa anakku dapat diselamatkan. Istriku menangis bahagia mendengar pernyataan dokter tersebut.
Akan tetapi, tak berselang lama, ada banyak orang datang ke rumahku. Tampangnya seram dan badannya sangat tinggi dan kekar. Berbagai gambar seram menghiasi seluruh tubuh mereka. Istri dan anakku ketakutan, tak terkecuali aku.
Aku tahu hari ini pasti akan datang juga. Saat ini hidupku diujung tanduk. Mati di tangan mereka atau hidup dengan terus menerus bersembunyi di tempat yang sangat asing.
Aku tak ingin anak dan istriku melihatku mati di tangan orang-orang tersebut. Tanpa berpikir panjang aku pun lari ke kamar mandi. Aku seakan mendengar bisikan iblis untuk mengakhiri hidup dengan tanganku sendiri.
Tanpa berpikir panjang, kuambil sebotol pembersih kamar mandi dan kuminum dengan tergesa-gesa. Sesaat kemudian, rasa panas menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti terbakar. Hal terakhir yang aku ingat adalah istri dan anak-anakku menangis memanggil namaku tanpa tahu pekerjaan sampingan yang kulakukan untuk menafkahi mereka.
“Maafkan aku tak dapat menjadi ayah dan suami yang baik bagi kalian semua, tapi semoga kalian mengerti bahwa rasa sayangku yang membuatku seperti ini. Maafkan aku juga Tuhan karena kembali tanpa sempat untuk mengubah hidupku.”
Editor: Kru BiSa