Merasai Asam Garam

merasai asin garam
Sumber: canva.com

Penulis: Rifqi Septian Dewantara

Mimpi Membawa Cinta

Ada surat cinta di beranda rumah 

Hari ini dan selamanya 

Aku bersemayam di bunga tidurmu

Tertegun; melamun membatu 

Membisu; mendiang membiru

Kesekian kali nama itu mampir mengalamatkan

Ribuan kali memori itu mampir menyenakkan.

“Hai, aku di sini baik-baik saja” katamu.

Aku terisak, rupanya cinta kita benar-benar belum usang. 

Sayang, tunggu aku! Aku akan menjemputmu kembali. 

Di sini, di mimpi-mimpi yang sepi. 

Abadi membawa kita ke dalam surgawi.

2024

Yang Hilang, Sayang

Entah kita akan hilang dengan sendirinya. 

Di sini atau nanti; Jalan-jalan yang selalu kita lalui seperti nama-nama pahlawan dari bahasa tubuh mereka yang hilang.

Sudahlah, sudah. Buah mahoni di tepi jalan sudah kita nikmati bersama-sama.

Pergilah dengannya. Aku belum mengusir siapa pun, belum merebut puisi siapa pun.

Bukan salahku, jika aku hidup dan bernapas tanpamu. 

Takdir itu tidak menjawab doa-doa kita di setiap malam. 

Sudahlah..

2024

Tahun Baru Penuh Cinta

Tahun baru sudah aku rasakan.

Mulutku berlepotan memakan jagung bakar

Tahun baru sudah kami lewatkan

Malam itu ranjang-ranjang berserakan.

2024

Baca juga: Puisi Bagaimana Sayang

Merasai Asin Garam 

Apakah kita tidak perlu laut, untuk membuat awan? 

Apakah kita tidak perlu awan, untuk membuat hujan? 

Apakah kita tidak perlu hujan, untuk membuat pelangi? 

Apakah kita tidak melihat pelangi, di balik pencakar langit?

Pelangi, warnanya telah hambar. 

Rasanya sudah pudar oleh kepulan gas industri dan asap kendaraan

Angin menjadi senyawa yang membuyarkan dirinya sendiri

Hidup serba dinamis

Lingkungan semakin tersisih

Hidup serba konklusif

Alam tercampur aditif 

Kini hidup seperti perahu; tanpa dayung, tanpa laut. 

2024

Sebuah Pertanyaan Besar

Sebuah pertanyaan besar muncul di dalam kepalaku; belum terjawab—dan tidak akan pernah terjawab.

Terlalu sulit untuk dijelaskan patah batu hatinya.

2024

Baca juga: Antologi Puisi: Aroma Kerinduan

Rua di Bentala Tuhan

Lentang-lentung iringan bak genderang birama

Yang terombang-ambing melantun lembut di segala arah

Aku bersinggah di hijaunya jiwa-Mu 

Membacakan ayat suci dan berporos ke dalam hati yang megah nan tangguh

Pun lewat matahari yang menyinari kebenaran,

Aku mencari jati diri di hamparan bentala yang sejuk dan luas

Oh Tuhan, kini canggunglah aku dalam kasihmu itu, menangis tanpa ucap, takjub sebab harapan dan kepercayaan cinta-Mu

2024

Editor: Kru BiSa

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *