Penulis: Eliana Ratmawati
Langit mulai menampakkan kemarahannya dengan hembusan angin yang sangat kencang. Warna langit sangatlah gelap pertanda hujan akan turun ke bumi. Aku menyeruput secangkir teh sambil mendengar kicauan burung tetangga yang tiada capainya.
Entah mengapa burung itu berkicau dengan lantangnya seperti baru saja melihat sesuatu yang mengerikan. Belum juga tehku habis, Ibu memanggilku untuk mengambil baju di jemuran.
“Rudi, ambil jemuran! Nanti keburu hujan, Rud.”
Ibu berteriak dari halaman samping rumah. Halaman itu masih asri dengan rumput gajah menutupi tanah.
“Iya, Bu. Ini mau ambil bajunya.”
Aku bergegas untuk mengambil baju yang belum sepenuhnya kering karena cuaca mendung.
Baju yang dijemur tergolong sedikit karena aku hanya tinggal dengan ibuku saja. Bapak sudah meninggal tiga tahun silam ketika aku masih duduk di kelas satu SMK.
Untungnya, Bapak mempunyai ladang tidak jauh dari sini jadi aku dan ibuku tidak pernah merasa kelaparan dan tetap mendapatkan penghasilan walaupun sedikit. Tidak jauh dari rumahku juga ada aliran sungai yang biasanya menjadi sumber pendapatan dan sumber makanan bagi warga desa.
“Sudah, ya, Bu.” Aku menaruh pakaian itu di atas kursi kayu panjang di ruang tamu. Lalu aku bergegas melanjutkan duduk di teras rumah untuk menghabiskan secangkir teh yang tinggal setengah.
Langit masih mendung, tapi hujan belum turun juga. Aku berharap agar tidak hujan sebab kalau masuk musim hujan, jagungku akan sulit panen. Namun, perlahan suara rintik hujan mulai terdengar disusul dengan wangi tanah yang bercampur dengan rintik hujan.
Beberapa menit kemudian, hujan mengguyur desa kecil ini dengan angin yang sangat kencang. Aku segera masuk ke dalam rumah dan bergegas ke kamar. Hujan begini memang enaknya tidur.
Kamarku masih terbuat dari kayu. Pintu kamar pun tidak ada. Hanya ada selimut tipis yang sudah tidak dipakai dan dijadikan sebagai pengganti pintu.
Bunyi hujan tidak terlalu kencang, tetapi hembusan angin seperti masuk dari sela-sela dinding kayu kamarku. Rasanya begitu tenang sampai aku tidak sadar sudah berbaring di atas kasur. Mata terasa sayu dan tidak bisa dikendalikan. Siang itu, aku pun tertidur dengan pulasnya.
*****
Badanku seperti bergoyang ke kanan dan ke kiri. Lalu ada teriakan dari suara yang begitu familiar di telingaku.
“Rudi, bangun, Rud!” Teriakan itu bagaikan terompet tahun baru yang sangat kencang.
Aku membuka mataku dan benar sekali Yono berdiri persis di samping kasurku. Mengapa dia tampak sangat bersemangat hari ini.
“Ada apa, Yon? Lagi enak-enak tidur, malah dibangunin begini,” tanyaku dengan kesal karena dia membangunkanku sambil berteriak.
“Yon! Itu! Itu ada di sungai,” jawabnya dengan sangat gembira.
“Ada apa di Sungai? Bidadari? Yang bener lah, Yon.”
“Itu … Ikan-ikan di sungai pada muncul di permukaan, jadi mudah mengambilnya,” jawabnya sambil menunjuk ke arah yang tidak jelas sambil berjingkrak-jingkrak kesenangan.
Ikan-ikan di sungai? Maksudnya apa? Perasaanku di setiap sungai pasti ada ikan.
“Ayo! ke sana, Rud,” ajak Yono
“Nggak, deh, mau lanjut tidur.”
Aku menarik selimut menyelimuti seluruh tubuhku hendak melanjutkan tidur.
Meski sering bertingkah tidak jelas dan kekanak-kanakan, Yono adalah teman sejatiku. Perbedaan tiga tahun tidak menjadi penghalang aku dan dirinya untuk akrab walau sekadar nongkrong depan rumah.
Sebenarnya, di desa ini, aku mempunyai banyak teman. Namun, teman lainnya telah pergi ke kota untuk merantau dan tinggal di sana hingga saat ini. Aku hanya bisa bertemu mereka saat hari raya saja. Berbeda dengan Yono yang masih sekolah. Dia juga tidak ada niatan untuk merantau karena ayahnya sedang sakit-sakitan.
*****
Di luar, langit sudah sangat cerah, keadaan desa juga tampak aman.
Untungnya, tidak ada pohon yang tumbang akibat angin kencang. Warga desa berlarian menuju sungai.
Sungainya sangat besar dan ada banyak anak sungai. Anak sungai itu biasanya menjadi tempat favorit warga desa untuk menjala ikan atau memancing. Jalan menuju sungai melewati hutan dan jalan setapak.
Tidak lama, kami berdua sudah sampai di sungai. Para warga tampak kegirangan layaknya melihat sebongkah berlian. Mereka sibuk mengambil ikan-ikan yang sudah lemas di sungai. Sedikit sulit untuk mengambil ikan-ikan tersebut karena banyak ranting pohon dan daun menutupi sungai akibat angin kencang tadi.
“Yon, gimana ini?” tanyaku.
Aku melihat ke sekitar sungai yang sudah sangat ramai. Bahkan warga dari desa lain juga datang ke sungai untuk mengambil ikan.
“Ambil serokan ikan, Rud.”
Yono menyuruhku untuk mengambil serokan di rumah.
“Kamu yang ngajak, aku yang disuruh, Yon,” sungutku sambil menghela.
“Malas, Rud. Aku baru pulang sekolah, nih, capek.”
Yono dengan seribu alasannya membujukku untuk mengambil serokan ikan.
“Ya sudah, sekalian aku ajak Ibu ke sini,” jawabku.
“Pasti Ibu senang, nih, kalau ada ikan begini,” gumamku.
Aku pun segera jalan menuju rumah untuk mengambil serokan ikan. Namun, di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depanku. Aku melihat desa sudah porak-poranda. Mayat dan bangkai hewan ternak ada di mana-mana.
Sesampainya di rumah, aku juga melihat rumahku sudah roboh. Ada banyak tumpukan bangunan lain di sekitarnya. Sekilas aku melihat tubuhku di tumpukan bangunan sudah tidak bernyawa. Aku masih bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Ibu …”
Aku berteriak mencari keberadaan ibuku. Semua sudut aku susuri, tetapi aku tidak dapat menemukan Ibu.
Suara mobil ambulans dan mobil polisi berdatangan. Perasaanku semakin bercampur aduk apa yang sudah terjadi pada diriku dan warga desa. Tim SAR mengangkat mayat warga desa dengan sangat hati-hati karena tertimbun dengan bangunan yang sudah runtuh.
Tidak lama, rombongan wartawan berdatangan dengan kamera-kamera yang sudah siap mengabadikan tempat kejadian bencana tersebut. Aku mengikuti salah satu reporter di sana dan mencoba memanggilnya, tapi sepertinya dia tidak bisa melihatku.
*****
“Selamat Sore semuanya, dilaporkan bahwa pada hari ini tanggal 6 Juni 2006 terjadi banjir bandang di desa Sukamaju. Banjir bandang ini menewaskan hampir seluruh warga desa,” ucap reporter itu dengan mimik wajah sedih.
Aku semakin kebingungan setelah mendengar ucapan reporter tersebut. Apa yang terjadi pada diriku sekarang. Apakah tadi aku ke sungai hanya sebuah mimpi atau khayalan?
Aku merasa terpukul dan hanya bisa menangis tak karuan. Aku juga memikirkan nasib Ibu dan Yono Namun apa daya, diri ini hanya bisa meratapi nasib tanpa tahu bagaimana selanjutnya.
Editor: Iska Pebrina