Pendakian Pertama, Gunung Lawu

Sumber: Eleonora G. R

Sejak kecil, aku suka melihat Gunung Lawu karena terlihat dari rumahku. Meski hanya dari kejauhan, rasanya sudah bahagia tiada tara. Sempat aku merengek untuk mendatangi Gunung Lawu, tetapi Ayah melarangku. Tentu saja aku semakin merengek tak karuan.

Lalu, Ayah akan meyakinkanku dengan berkata, “Belum saatnya, Nak. Nanti setelah dewasa kamu akan mengerti,” Ya, dulu aku memang belum paham tentang mendaki gunung yang perlu banyak persiapan. 

Kini aku telah menginjak usia dewasa. Pendidikanku telah rampung dan aku memilih untuk membuka usaha kafe sendiri. Teman-temanku banyak yang seorang pendaki. Biasanya, mereka akan berkumpul di kafe milikku untuk membicarakan rencana pendakian.

Kali ini, Gunung Lawu menjadi tujuan pendakian mereka selanjutnya. Mereka pun mengajakku karena tahu bahwa aku sangat ingin mendaki Gunung Lawu. Namun, sampai sekarang Ayah masih saja melarangku. Entahlah, aku pun tak tahu mengapa Ayah sangat menentang keinginanku satu ini.  

Setelah selesai membicarakan masalah pendakian, mereka memutuskan untuk pulang, tetapi tidak dengan Atma. Dia selalu membantuku hingga aku menutup kafe. Atma bertubuh tinggi dengan proporsi yang ideal.

Hari ini, dia mengenakan kaos putih dan celana pendek selutut, serta rambutnya yang diikat setengah. Kami sangat dekat hingga orang-orang sering mengira kami berpacaran. Padahal, hubungan kami hanya sebatas sahabat. 

Di kota Solo inilah aku mengenal dia. Aku dan ayahku pindah dari Magetan dan memilih Solo sebagai tempat tinggal kami sejak aku lulus SMA. Banyak hal yang aku syukuri sejak pindah ke Solo. Salah satunya bertemu dengan Atma. Mungkin saja salah satu dari kami ada yang menaruh hati, tetapi tidak ada yang berani untuk mengungkapkannya karena sudah terlalu lama terjebak dalam persahabatan. 

Atma selalu bercerita tentang gunung-gunung yang dia datangi. Aku pun hanya bisa melongo mendengarnya karena takjub dengan setiap ceritanya. Alhasil, keinginanku pun semakin besar untuk bisa ikut mendaki, terutama mendaki Gunung Lawu.

“Temani aku untuk minta izin ke Ayah,” pintaku pada Atma.

Dia hanya menatapku sayu seraya menghela napas. Memang bukan kali pertama ini dia menemaniku untuk meminta izin. Aku merasa Ayah akan percaya dan yakin jika dia yang bersamaku.  

Atma tersenyum, lalu menepuk pelan pundakku sembari berkata, “Siap, Bos!” Kemudian dia berlalu meninggalkan dapur dan memilih untuk duduk dekat kolam sambil memandangi ikan-ikan yang sedang asyik berenang. Atma selalu melakukan itu jika kumintai tolong untuk menemaniku bertemu dengan Ayah. Sepertinya dia sedang memikirkan cara untuk dapat meluluhkan hati ayahku.  

***

Baca juga: Cerbung: Semua Pantas Dirayakan

Sejak kecil, aku sering melihat banyak pendaki berbondong-bondong hendak mendaki Gunung Lawu. “Gunung Lawu itu unik karena terletak di antara tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Karanganyar,” ujar Ayah padaku. 

Banyak orang yang mendaki saat hari besar, seperti hari kemerdekaan, malam satu suro, dan malam tahun baru. Di hari-hari biasa pun, ada banyak pengunjung yang datang. Entah itu rombongan maupun perseorangan. 

“Yah, nanti saat aku sudah besar, boleh, ‘kan, naik gunung?” Mendengar perkataanku, Ayah hanya menunjukkan semburat senyum. Dulu, aku pikir itu adalah tanda mengizinkan. Ternyata aku salah mengartikannya. Buktinya, sampai sekarang Ayah tidak juga mengizinkanku untuk mendaki gunung. 

***

Aku berjalan menghampiri Atma yang tengah sibuk dengan laptopnya. Kemudian duduk tepat di depannya. “Atma, Ayah pernah bilang kalau Gunung Lawu punya sejarah dan aturan-aturan yang harus kita patuhi,” kataku pada Atma. 

“Iya, tentu saja. Gunung Lawu itu dulu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa. Konon Gunung Lawu disebut sebagai tempat moksanya Raja Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit.

Ada yang menyebut bahwa alasan Raja Brawijaya V menyingkir ke Gunung Lawu karena terdesak sekaligus menghabiskan masa hidupnya sebagai pertapa karena saat itu Kerajaan Majapahit sedang perang dengan Kerajaan Keling atau Kediri. Namun, ada pula yang menyebut jika Raja Brawijaya V sudah memiliki firasat akan runtuhnya Kerajaan Majapahit,” jelas Atma. 

Aku yang mendengarnya hanya mencoba memahami ceritanya, meskipun tak sepenuhnya dapat kumengerti. “Lalu kenapa Ayah melarangku?” tanyaku. “Mungkin saja karena Gunung Lawu mempunyai banyak sekali mitos. Contohnya saja pasar setan.” 

Aku semakin tak memahaminya. “Tapi di balik semua cerita-cerita itu ada keindahan yang luar biasa, ‘kan?” Atma tersenyum tipis sambil mengarahkan pandangannya padaku. “Tentu saja, ada kelegaan ketika kita sudah sampai di puncak. Yang terpenting, sih, niat kita baik dan pikiran kita juga baik. Semuanya akan lancar dan baik-baik saja.”  

Aku sudah yakin, di balik semua cerita-cerita mistis yang beredar di kalangan masyarakat ada sebuah keindahan yang menakjubkan. Bahkan, sekali saja aku ingin merasakan, bagaimana aku dapat bercengkerama dengan alam dan menikmati indahnya semesta dari ketinggian. Tak hanya itu, seiring langkah-langkahku dalam menapaki perjalanan itu pasti akan sangat berarti bagiku.  

Tak cukup sampai di situ, Atma juga bercerita tentang burung jalak. “Tentang burung jalak, kamu akan menemuinya saat kamu baru memulai perjalanan pendakian. Banyak yang bilang kalau itu seperti sebuah penyambutan dan merupakan pertanda bahwa niat kamu baik. Burung jalak itu akan menuntun kamu,” jelasnya. 

Aku hanya melongo antara percaya dan tak percaya. Mungkin karena aku belum pernah merasakannya. “Besok akan kutemani untuk meminta izin ke ayahmu. Tenang aja, aku sudah cukup berpengalaman dalam pendakian. Yang terpenting niat kita baik. Semua akan diberi jalan,” lanjutnya.  

Setelah itu, aku kembali ke dapur. Benar kata Atma. Jika niat kita baik, semua pasti akan diberi jalan. Aku menyandarkan tubuhku ke tembok, lalu membayangkan betapa asyiknya menapaki setapak demi setapak sambil menikmati alam. Itu akan menjadi pengalaman yang berkesan dalam hidupku. 

Setelah urusan kafe selesai, Atma mengantarku pulang. Laki-laki itu terlalu peduli denganku sampai tak ingin aku pulang sendirian di malam yang dingin ini. Tak jarang dia mengikutiku dari belakang jika aku membawa kendaraan sendiri.  

Baca juga: Kenangan Akhir Tahun yang Tak Terlupakan

Sesampainya di depan rumah, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku karena sudah larut malam. Tak lupa aku mengingatkan jika besok dia akan menemaniku meminta izin kepada Ayah.  

Paginya, Atma sudah berada di depan rumah dengan pakaian santai seperti biasa, kaos putih, dan celana jin panjang. Simpel. Dia masuk ke dalam rumah dan memberi salam kepada ayahku, lalu kami bertiga duduk di ruang tamu. 

Awalnya, obrolan kami masih seputar kafe, musik, dan hal-hal lainnya. Setelah cukup basa basi, Atma mulai membuka obrolan mengenai Gunung Lawu. Dia berbicara tentang keinginanku untuk mendaki Gunung Lawu. Tanggapan Ayah ternyata lebih mengejutkan dari yang kukira.  

“Memangnya kamu mampu jaga anak saya? Apa kamu yang sudah meracuni anak saya untuk mendaki Gunung Lawu?” kata Ayah ketus.

Dengan lembut, Atma menjawab, “Bukan, Om. Rina sejak kecil, ‘kan, berkeinginan untuk mendaki. Dia sudah berusaha untuk menjaga stamina dengan olahraga sejak lama. Namun, izin dari Om belum juga dia terima.” 

“Tak ada izin-izin, Om terlalu khawatir jika Rina mendaki. Sudah banyak cerita-cerita yang bermunculan di masyarakat. Rina anak Om satu-satunya. Jangan harap kamu bisa membawa dia untuk mendaki Gunung Lawu,” ujar Ayah dengan nada tinggi.

Aku yang mendengarkan hanya terdiam. Bisa apa aku jika dihadapkan dengan situasi seperti ini. 

Atma pun mencoba meyakinkan Ayah lagi. Namun, emosi ayah malah semakin tak terkontrol. “Sudahlah, Atma. Pulang saja! Percuma kamu meminta izin,” ujar ayah dengan tatapan tak suka. 

“Om perlu tahu, semua mitos-mitos itu memang ada agar semua pendaki mematuhi norma dan aturan-aturan. Supaya kita bisa menghormati dan menghargai alam dengan baik. Namun, jika niat kita baik dan tidak melanggar semua aturan itu, semua akan baik-baik saja, Om. Alam selalu memberi sisi yang sangat luar biasa. Perasaan itu kita dapatkan sesuai dengan keinginan kita. Bukan hanya soal kesenangan pribadi, tapi kita bisa belajar untuk saling menjaga dan melepas ego dengan orang-orang di sekitar saat penat,” ucap Atma dengan tenang.

Ayahku terdiam sejenak. Aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Ayah saat itu. Aku dan Atma terdiam menunggu jawaban Ayah, tetapi tak ada balasan sama sekali. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk berbicara, “Yah, alam akan baik ke kita kalau kita juga baik pada alam. Yang terpenting niat aku baik. Bukan ingin mengambil sesuatu dari alam, tetapi merasakan kebahagian dari alam.”

Ayahku langsung memandangku dengan tatapan lembut, “Ya sudah, Ayah mengizinkanmu. Tapi kalau sesuatu terjadi padamu, Atma orang pertama yang akan Ayah hajar habis-habisan. Tak peduli apa pun alasannya.” 

Mendengar ucapan Ayah yang akhirnya mengizinkanku untuk mendaki, aku segera menghampiri Ayah, lalu memeluknya. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Atma juga langsung tersenyum lepas setelah mendengar perkataan Ayah itu. Dia pun berjanji akan menjagaku dengan baik.  

***

Akhirnya, aku dan Atma akan berangkat mendaki Gunung Lawu melalui jalur Cemoro Sewu bersama dengan teman-teman pendaki lainnya. Semua sudah aku persiapkan dengan matang demi pendakian pertamaku ini. Begitu pula dengan Ayah. Ayah membantuku menyiapkan dan membereskan semua barang-barang dan keperluanku. 

Tanpa kusadari, air mataku menetes melihat Ayah yang begitu semangat membantuku. Ayah juga ikut mengantarku. Ayah terus mencium dan memelukku erat. Terlihat senyum Ayah yang sangat lepas. Kami sama-sama berdoa sebelum Ayah semakin menjauh dari pandanganku saat itu.

Editor: Iska Pebrina

Veronika Ivanalia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *