Aku berjalan menyusuri malam yang sunyi dengan mengenakan sepasang sepatu pemberian orang tuaku. Aku juga menenteng tas besar yang berisi banyak lembar-lembar kertas yang berisi tulisan, karyaku sendiri.
Di dekat rumah kecilku, terdapat taman dan danau yang sangat asri. Di sanalah ide sering bermunculan memberi karya-karya terbaik. Orang tuaku terus mendukung impianku menjadi seorang penulis hebat. Meskipun kakakku sangat menentang keras impian yang sedang kujalani.
Malam yang dingin semakin membuat detak jantungku tak karuan. Aku segera melajukan sepeda motorku dengan cepat agar segera sampai di rumah. Dua sosok orang hebat sedang menungguku dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
“Nak, Ayah dan Ibu khawatir, segeralah pulang jika matahari telah terbenam,” ucap Ayah.
Aku menghampiri mereka dan memeluk erat keduanya.
“Tenanglah Ayah, Ibu aku baik-baik saja.”
Semilir angin malam hari itu semakin menusuk. Kini aku memutuskan untuk segera masuk ke kamar, sedangkan ayah dan ibuku duduk di ruang keluarga. Aku melihat foto yang terpajang di kamarku. Foto saat kakakku masih berada di rumah ini memberi kehangatan. Lalu, sekarang ia memutuskan untuk pergi dari rumah.
Aku merasa sangat sedih, tetapi apa daya keputusan yang dibuatnya telah bulat. Pekerjaannya sekarang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan aku dengan orang tuaku. Aku turun ke bawah dan menyeduh teh manis. Secangkir saja sudah membuat kelegaan. Aku ikut bergabung dengan ayah dan ibu di ruang keluarga.
“Nak, jaga dirimu baik-baik.” Aku menoleh ke Ayah dengan tatapan teduh. “Siap Ayah, semuanya akan baik-baik aja kok. Jangan terlalu khawatir berlebihan nanti malah Ayah sama Ibu sakit.” Terkadang kekhawatiran malah membuat pikiran menjadi kacau.
Kehangatan keluarga masih aku rasakan dengan baik walaupun tidak utuh bersama kakak. Aku tertawa bersama dengan orang tuaku, menikmati hari yang terkadang melelahkan, tetapi hal-hal kecil yang mereka lakukan sering membuatku tertawa. Cukup menghibur anak bungsunya ini. Masalah dalam kehidupan terasa lenyap sekejap saja.
“Yah, Ibu, kalau nanti aku sudah menjadi penulis yang sukses. Aku pengen kalian selalu ada di samping aku saat kesuksesan itu datang.” Aku memeluk mereka erat dan menyatukan tangan mereka. “Anakku, tentu saja orang tuamu ini akan menemani saat kesuksesan menghampirimu nanti. Namun, ingatlah satu hal, jangan meninggi. Cukup menjadi pribadi yang legawa dan sederhana.” Nasihat ini selalu aku dapatkan setiap saat. Tentu sangat aku jaga dan kumasukkan dalam list nasihat kehidupanku yang membuatku kuat menjalani hari-hariku.
Baca juga: Pendakian Pertama, Gunung Lawu
Pagi ini cukup cerah hingga terik matahari memberi hangat di tubuhku. Aku merasa menjadi manusia beruntung di bumi ini. Aku masih bisa menikmati terik matahari, menghirup udara pagi yang sangat menyegarkan, dan aku masih bisa bercengkrama dengan alam. Semesta seperti sedang berpihak pada diriku memberikan segalanya yang aku mau.
Saatnya aku kembali ke kampus untuk belajar. Selain itu, aku juga mengikuti beberapa perlombaan nasional. Impian terbesarku menjadi juara dan bisa pergi ke luar negeri. Di sana aku juga bisa melihat karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa di sana, sepertinya sangat menarik dan memberikan pengalaman baru bagiku.
Banyak karyaku yang kubagikan ke media sosial dan membuat banyak orang tertarik dengan tulisan itu. Aku mengangkat isu tentang mencintai diri sendiri. Dari hal itu, aku bisa membantu mereka yang sedang merasakan perundungan ataupun masalah berat yang ada dalam kehidupannya.
Aku sangat senang membaca balasan-balasan mereka dengan berbagai kata-kata yang beragam. Mereka bahagia, aku pun turut merasakannya, bagaimana mereka mulai membuka relasi, dan mencintai dirinya sendiri.
Di penghujung tahun ini, aku mendapatkan kesempatan untuk mengisi seminar tentang masalah-masalah remaja yang merasa terpinggirkan dunia dan menjadi korban perundungan. Aku sangat menantikan saat-saat itu.
“Ayah, Ibu. Besok aku dapat undangan menjadi pembicara.” Raut wajah mereka terlihat sangat bahagia mendapatkan kabar itu. “Wahh, Ayah sama Ibu bangga sama kamu, Nak.”
Aku hanya tersenyum membalas ucapan itu. Kebahagianku tiada tara dan yang kutahu sekarang bahwa esok adalah hari terbahagia dalam hidupku. Aku memeluk Ibu dan Ayah. Tak lupa aku mencium pipi mereka secara bergantian.
Hari ini, tiba juga saatnya. Dengan wajah tegak dan senyum menawan, itu kutampilkan untuk memberi semangat bagi banyak orang di seminar ini. Aku meminta restu kepada Ayah dan Ibu sebelum keberangkatanku. Aku juga berharap mereka dapat melihat aku melalui live streaming. Mereka mengajakku untuk berfoto. Senyum lebar ini tergambar dengan jelas. Aku memeluk mereka sebelum keberangkatanku.
Seminar pertamaku di akhir tahun, sangatlah aku nantikan. Aku berdiri di antara banyak orang yang memandangku dengan tepat. Materi telah kusiapkan dengan baik dan rapi. Semua peserta mendengarkan penjelasanku. Tak lupa, aku juga mengajak mereka untuk lebih bisa mencintai diri sendiri bagaimana pun keadaannya.
Mereka pun memberi tepuk tangan yang meriah, aku tersenyum dengan ramah dan hangat. Lalu, aku berjalan turun panggung dengan perasaan bangga. Aku merogoh ponselku di tas berusaha menghubungi orang tuaku.
Namun, beberapa kali aku menelponnya tidak ada yang mengangkatnya. Aku pikir mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya di toko. Namun, tiba-tiba kakak meneleponku. Ia menyuruhku untuk segera pulang, tanpa basa-basi aku segera pulang dan masih menunjukkan ketenangan.
Aku tak mau di tempat ini membuat orang lain menjadi khawatir terhadapku.
Aku berdiri tepat di depan rumah. Semua orang sudah berkumpul dan berdatangan silih berganti. Aku masuk ke dalam rumah kudapati Ayah dan Ibuku meninggal secara bersamaan. Aku merasa hancur.
“Kenapa? Kenapa harus aku?” Air mataku tumpah. Kakakku berusaha menenangkan, tetapi apadaya rasa sakit ini lebih dalam yang kurasakan. Aku merasa dunia berhenti begitu saja. Mengantar kepergian Ayah dan Ibu dengan tatapan sayu dan perasaan tidak ikhlas.
Bagaimana bisa aku kehilangan mereka secara bersamaan. Perasaanku menjadi campur aduk. Bahkan, aku benci dengan diriku sendiri. Mengapa aku harus pergi disaat-saat mereka pulang ke pangkuan Bapa. Aku menjadi anak yang tidak berguna dan merasa bersalah.
Terbesit dalam benak bahwa kesuksesanku tak akan sebanding dengan rasa kehilanganku. Aku merasa sangat tertekan. Berusaha bangkit, tetapi terjatuh lagi. Semua ucapanku tentang kebahagiaan sirna begitu saja.
Baca juga: Harapan Secarik Kertas
Aku berhenti memberi dorongan kepada orang lain karena hatiku saja hancur. Rasanya tak mau lagi membantu orang lain bahagia lagi karena kehidupanku telah sirna dari kata bahagia. Sehingga aku terpukul, tidak ada nafsu makan, yang kuingin hanya mereka kembali. Namun, tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Aku melihat sebuah video singkat. Ia seperti aku dulu yang memberikan motivasi banyak orang. Dari situ aku mulai bangkit, entah mengapa kata-katanya selalu memberi kekuatan tersendiri bagi aku.
Lalu, aku pun berpikir bahwa banyak orang yang terselamatkan ketika ada orang yang membantunya untuk bangkit. Sesedih apapun kehidupan yang sedang kita jalani. Kita harus bangkit karena kehidupan akan terus berjalan. Waktu tidak dapat diputar kembali, semua tidak akan kembali seperti sedia kala.
Dari sana, aku memulai kembali menulis kata-kata yang indah dan memberikan kesempatan banyak orang untuk bercerita. Benar saja, kebahagiaan itu aku tetap dapatkan. Kemudian, kakakku mulai membangkitkan semangatku untuk menulis.
Kini, ia sangat mendukung pekerjaanku kali ini. Aku juga bertemu banyak orang-orang hebat. Tentu saja, aku harus menuntaskan tugasku di dunia ini dan mengisi lembar demi lembar kehidupanku sampai ke halaman terakhir.
Editor: Iska Pebrina