Penulis: Sri Widiasti
Di dalam kamar berukuran 3×3 meter, terdengar suara alarm membangunkan sang empunya. Kelopak matanya terbuka lebar memperlihatkan netra coklat terang yang indah. Tangannya terus meraba-raba meja yang berada di samping tempat tidur, mencari benda yang membuat ia terbangun dari tidurnya.
Ia adalah Karina Anggraini, seorang mahasiswi dari jurusan seni rupa tahun ketiga. Namanya cukup terkenal di kampusnya sebagai salah satu mahasiswi berprestasi. Kecintaannya terhadap dunia seni, terkhusus pada lukisan, berhasil melambungkan namanya sebagai seniman muda. Bahkan, sudah tak terhitung lagi lukisan karyanya yang berhasil masuk pameran seni bergengsi.
Meski hidup di tengah keluarga yang harmonis dan serba berkecukupan—ditambah segudang prestasi yang dimilikinya—tetapi siapa yang menyangka bahwa gadis pemilik rambut ikal, hidung bangir, serta berkulit kuning langsat itu ternyata memiliki rahasia besar yang tidak diketahui banyak orang.
*****
Karin yang sudah lengkap mengenakan pakaian untuk pergi ke kampus, masih setia berdiri di depan cermin. Lima belas menit sudah berlalu. Pandangannya tidak lelah menatap cermin itu. Mengoreksi setiap bagian yang dipantulkan oleh cermin itu.
“Kamu mengidap prosopagnosia.”
“Buta wajah. Kamu kesulitan mengenali wajah orang. Bahkan kamu tidak mengenali wajahmu sendiri.”
“Penyakit ini belum ada obatnya.”
Kepalanya begitu berisik. Pikirannya terus saja memutar rekaman suara yang tidak ingin ia dengar. Kedua tangannya mulai menutupi telinga yang terus mendengar suara-suara yang membuatnya goyah. Matanya terpejam rapat. Ia mencoba untuk tidak larut dalam situasi itu.
Tok… tok… tok…
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras. Syukurlah, suara ketukan itu berhasil menyelamatkannya dari terkaman pikirannya sendiri. Perlahan, ia turunkan kedua tangan dari telinganya, lalu membuka matanya.
“Karin… Karin…”
Seseorang memanggilnya sambil terus saja mengetuk pintu. Karin hafal betul siapa pelaku yang mengetuk pintu kamarnya itu.
“Karin, kita sarapan dulu yuk. Mama sudah memasak makanan kesukaan kamu,” ucap Mama sambil terus mengetuk pintu.
“Iya, Ma, sebentar,” sahut Karin sambil menoleh ke arah pintu.
“Karin, semangat. Tetap tersenyum meski kau sendiri tidak tahu seperti apa rupamu di cermin. Kamu harus kuat demi orang tuamu, meski kau juga tidak bisa mengenali wajah mereka,” gumam Karin sambil melakukan gerakan butterfly hug1.
Baca juga: Ikan-Ikan di Sungai
*****
Di ujung koridor kelas, terlihat seorang perempuan dengan suara cempreng terus memanggil-manggil namanya sembari melambaikan tangan ke udara. Mendengar suara itu saja sudah berhasil membuat Karin menerbitkan senyum indah di bibirnya.
Perempuan itu adalah Rania. Ia teman semasa SMA Karin, berkuliah di kampus yang sama, tetapi berbeda fakultas. Rania salah satu orang yang dapat Karin kenali. Suaranya yang khas itulah yang membuat Karin dapat mengenali Rania dengan mudah. Selain orang tuanya, Rania juga mengetahui rahasia Karin ini.
Insiden kelam itu menjadi momok yang terus membayangi hidup Karin. Sekarang ia menjadi orang yang tertutup, suka menyendiri, dan menarik diri dari pergaulan sosial. Ia selalu merasa cemas dan kurang percaya diri saat bertemu orang lain. Padahal sebelumnya, Karin adalah gadis periang dan supel.
Penyakit yang dideritanya itu berusaha ia sembunyikan rapat-rapat dari orang lain. Satu-satunya cara untuk Karin dapat berinteraksi dengan orang lain adalah dengan menghafal ciri-ciri mereka. Misalnya, menghafal suara orang, ciri fisiknya, dan cara berpakaiannya. Namun, hal itu butuh waktu yang tidak sebentar. Tidak jarang, Karin salah memanggil dan mengenali orang yang ia temui.
*****
Kala itu, sebelum meninggalkan pelataran sekolah, alam sudah menunjukkan pertanda akan turunnya hujan. Menyadari hal itu, Karin bergegas lari menuju parkiran mencari motor matic miliknya.
Dengan kecepatan cukup tinggi, ia kemudikan motornya itu sebelum hujan turun. Nahas, baru berjalan beberapa meter meninggalkan sekolah, motornya hilang kendali. Ia terjatuh dan tubuhnya disambar mobil dari arah berlawanan. Tubuhnya terpelanting cukup jauh dari motornya. Hingga seragam putih abu-abu yang dikenakan bersimbah darah.
Selama kurang lebih empat bulan lamanya, ia dirawat di rumah sakit. Serangkaian pemeriksaan fisik mendalam dilakukan. Hingga dokter memberitahu bahwa kepalanya mengalami cedera berat dan otaknya mengalami gagal fungsi.
“Karin, saya ingin kamu mengetahui apa yang kamu idap akibat insiden itu. Saya tahu hal ini tidak mudah untuk kamu dengar dan kamu terima. Tapi untuk kelanjutan hidup kamu, saya harus mengutarakannya,” kata dokter yang menangani Karin.
“Kamu mengidap prosopagnosia. Ini merupakan kondisi di mana penderitanya kesulitan atau bahkan tidak dapat mengingat dan mengenali wajah, baik wajah kamu sendiri ataupun wajah orang lain. Prosopagnosia ini biasa disebut sebagai face blindness atau buta wajah. Pada kasus ini, kamu mengidap Acquired Prosopagnosia yang diderita akibat kecelakaan yang parah. Otak kamu mengalami cedera yang sangat parah karena adanya benturan yang cukup keras di bagian kepala,” ujar sang dokter kepada Karin.
“Karena itu mengakibatkan salah satu bagian dari otak besar atau cerebrum, yaitu fusiform gyrus yang bertugas untuk mengenali wajah mengalami gagal fungsi. Akibatnya, seperti yang kamu derita sekarang ini, kamu kesulitan untuk mengenali wajah orang. Bahkan yang terparah, kamu akan kesulitan mengenali wajah kamu sendiri,” terang sang dokter.
“Setelah keluar dari rumah sakit, saya sarankan agar kamu rutin melakukan konsultasi. Kamu juga perlu mengetahui bahwa apa yang kamu idap ini sampai sekarang belum ada obat penyembuhnya. Walau demikian, kamu tidak perlu merasa putus asa berkepanjangan sebab saya akan membantu kamu untuk terbiasa dengan kondisi yang kamu alami sekarang ini dengan melakukan konsultasi maupun terapi yang akan kita lakukan setelah ini,” lanjut dokter itu.
Baca juga: Harapan Secarik Kertas
*****
“Ran, aku balik dulu, ya. Mendadak ada yang harus aku urus,” ucap Karin sambil mematikan panggilan teleponnya dan bergegas meninggalkan Rania di kantin kampus seorang diri.
“Iya, hati-hati, jangan ngebut bawa motornya,”
“Iya, iya, cerewet,” sahut Karin dengan wajah mengejek.
Tak berapa lama meninggalkan pelataran kampus, hujan dengan derasnya tiba-tiba saja mengguyur disertai dengan kabut. Mengingat ia tidak membawa jas hujan, ia kebut sejadinya. Nahas, kabut itu menghalangi pandangannya, ia terjatuh dari motor karena ban motor selip di aspal jalan yang basah.
Tubuhnya terseret cukup jauh bersama motornya. Kepalanya terbentur batang pohon yang berada di pinggir jalan. Dari kejauhan, terlihat orang-orang tengah berlarian menghampiri untuk menolongnya. Mereka membawa Karin beserta motornya ke tempat aman.
Karin terus mengerjapkan matanya, tapi semuanya tampak berputar. Seketika pikirannya menjadi kalut. Kejadian mencekam itu terlintas lagi tanpa permisi di benaknya. Hingga jantungnya kini memompa lebih cepat, napasnya terengah-engah, sekuat tenaga ia menghirup udara.
Menyadari dirinya tengah dikerumuni orang, tubuhnya menegang. Ia tidak menyangka, penglihatannya mampu menangkap dan mengidentifikasi wajah orang lagi setelah kejadian empat tahun lalu yang meredupkan semangat hidupnya itu.
Editor: Iska Pebrina
1 : Metode terapi untuk menjaga kestabilan emosi dengan cara menyilangkan kedua tangan di depan dada.