Kunang-Kunang Menjelang Pilkada

cerpen kunang-kunang menjelang pilkada
Sumber: canva.com

Penulis: Krisogonus Kusman

Malam di awal bulan November adalah malam yang penuh kebingungan, seperti seorang lelaki muda yang berjalan ombang-ambing selepas mabuk-mabukan dari sebuah diskotik di jantung ibu kota. Dan seperti seorang lelaki yang sedang mengalami kehilangan. Kehilangan sadar akan dirinya sendiri dan kehilangan akan orang lain di sekitarnya.

Kegelapan semakin pekat, dingin semakin mencekik, angin bersayup-sayup dan kunang-kunang berterbangan di sela-sela sudut desa. Mata lelaki itu terasa lelah ketika kunang-kunang menari-nari di dalam bola matanya, bahkan menari sampai menjulur ke dalam pikirannya. Tak bisa tahan lagi. Rasanya seperti mau buta. 

Nadus, Markus dan Sius adalah kumpulan bujangan yang selalu setia menongkrong di sebuah bale-bale depan kantor desa. Kebetulan rumah mereka terbilang tidak jauh dari bale-bale itu. Tak ada malam yang terlewatkan bagi mereka untuk menongkrong di situ. Bale-bale semacamnya sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka untuk mengobrol banyak hal. 

Lazimnya, topik obrolan mereka sepanjang nongkrongan cenderung berorientasi kepada berita terkini berkaitan tentang sepak bola Timnas yang akhir-akhir ini kualitas permainannya kian meningkat, apalagi dengan datangnya seorang penjaga gawang yang baru di saat mengimbangi Australia beberapa bulan yang lalu, meskipun mayoritas pemainnya berdarah migran. Dan, kalau bukan mengobrol seputaran bola, mereka juga kerap kali mengobrol tentang artis-artis yang marak berpisah ranjang dengan alasan terbilang sederhana bagi Sius yang ahli di dalam soal teknik percintaan. 

”Hanya gara-gara salah pengertian saja, eh…malah diminta gugatan cerai.” Gumam Sius sembari melinting tembakau dengan sehelai daun lontar.

“Dasar…Cinta ini terkadang mendatangkan nyaman, tapi juga menciptakan luka. Barangkali luka yang menjadi abadi.” Kata Markus yang baru saja selesai menyeruput kopi pahit pada sebuah cangkir klasik yang terbuat dari bambu.

Setiap malam Minggu, lazimnya Nadus yang selalu tak pernah habis-habisnya menceritakan tentang Tina pacarnya yang sekarang merantau di Bali, lalu menikah dengan sepupu kandungnya, Tino. Bagaimana tidak sakit hati, dulu Nadus selalu membantu Tina dikala sedang membutuhkan sesuatu bahkan orangtuanya sekalipun ia pernah bantu berupa finansial hingga sekarang orangtua Tina bebas dari tagihan utang om Bene, mantan kepala desa di desa itu. 

Selain itu, memperjuangkan ongkos perkuliahan Tina sejak semester awal hingga mempersiapkan segala hal berkaitan menjelang wisuda. Mulai dari make-up hingga urusan resepsi. Seketika Nadus melinangkan air mata karena kecewa mengingat perjuangannya selama berpacaran dengan Tina yang berujung mubazir. Dulu, Nadus hanya mengandalkan keyakinannya akan janji Tina yang membuatnya tak sungkan-sungkan untuk mengorbankan segalanya demi Tina. 

“Hanya dirimulah yang pernah kulukiskan dan kupajangkan di relungku,” demikian kalimat yang pernah diucapkan Tina kala itu, dan sampai saat ini ungkapan itu masih terasa amat sangat segar di dalam ingatan Nadus. 

“Kau dan aku bukan lagi dua, melainkan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan.” Jawab Nadus kala itu disaat mencerna gombalan Tina. Barangkali pernyataan itu merupakan sesuatu yang paling fundamental di dalam percintaan.

Toh, Tak ada yang paling menyiksakan Nadus selain mengingat kembali janji Tina sepanjang nongkrong di bale-bale, ketika saatnya berbicara topik yang bertemakan tentang cinta. 

Baca juga: Lahirnya Pengusaha Baru

***

 “Eja Markus, ngeri sekali bulan ini”

“Apanya yang ngeri eja?”

“Pilkada ini ko…”

“Pusing eja

“Kenapa pusing lagi ko eja?”

“Pusing mau pilih siapa yang tepat eja

“Aduh eja… Daripada pusing, golput saja to”

“Iya eja… Lama-lama golput saja nanti. Apalagi kita yang masyarakat kecil ini tidak ada pengaruh sama sekali. Semuanya sudah disetel oleh yang berkuasa eja. Jadi, kita jangan gara-gara fanatik sekali dengan calon yang kita suka sampai hubungan keluarga kita jadi hancur.”

“Benar sekali itu eja.

“Ingat o… Hati-hati dengan janji para calon yang tidak kalah manis itu. Jangan sampai tersiksa seperti saya yang jatuh karena janji manisnya Tina. Dikirain itu rasa gula, ternyata rasa mengkudu.” Seketika suasana menjadi cair, terpesona dengan pernyataan Nadus yang amat puitis itu.

Pada malam Minggu pekan kedua bulan November, tiba-tiba Markus, Nadus dan Sius tidak seperti biasanya. Mereka tidak lagi berbicara soal percintaan atau sepenggal tentang Timnas, tetapi malah berbicara topik yang bertemakan tentang pemilu. 

Kali ini, Sius berkoar-koar berbicara tentang politik sepanjang nongkrong malam itu. “Eja, politik zaman sekarang ini lebih kejam daripada bangsa Viking yang suka merampas harta benda di pulau-pulau di berbagai tempat di Eropa dan pesisir timur laut Amerika Utara antara abad ke-8 dan ke-10. Sekarang,  untuk menjadi kandidat saja selalu menggunakan taktik yang kejam.” Kata Sius sembari melinting tembakau menggunakan daun lontar, sisa malam minggu yang lalu.

“Benar eja, saya ragu sekali pemilu kali ini. Aroma busuknya sudah mulai tercium. Kalau dibandingkan, aroma pemilu lebih busuk daripada aroma limbah hotel-hotel di kota Labuan Bajo.” Demikian Markus melanjutkan ungkapan kecemasan Sius. 

“Politik busuk karena hati mereka yang berkontestasi terlalu banyak manisan yang sudah expayer.”Ketus Nadus dengan raut yang tampak kesal.

Baca juga: Harapan Secarik Kertas

Nongkrongan malam itu sudah kelewatan waktu, tidak seperti biasanya yang biasanya sampai pukul 22.00, mengingat kenyamanan warga di sekitar yang sedang beristirahat. Lelah, karena setiap hari mendengarkan janji-janji para peserta yang sedang berkompetisi meraih kejuaraan di medan politik sembari memamerkan segala bentuk janji muslihat.

“Sebenarnya bulan ini, penduduk desa kita ramai memanggang jagung di setiap sore, tetapi bulan-bulan belakang ini penduduk desa kita tidak menggarap ladang untuk menanam jagung karena setiap harinya tamu-tamu politikus lalu lalang di pintu rumah kita. Kalau tidak layani juga tidak baik.” Kata Sius ketika mengingat kembali momen-momen panggang jagung bersama kedua orangtuanya di beranda rumah tahun lalu sebelum pergi ke Kalimantan. 

Bagi Sius, momen-momen seperti itu merupakan momen yang mesti dilestarikan. Di mana, momen itu mau mengisahkan tentang suatu keakraban untuk saling melayani.

“Benar itu eja. Hanya karena kita menghargai mereka yang datang menebar janji, sampai kita lupa untuk berkebun untuk menabur benih jagung. Padahal jagung lebih bermanfaat daripada janji-janji mereka itu.” Ungkap Nadus sambil menghisap tembakau yang baru saja selesai dilinting. 

“Atau mungkin, penduduk di desa kita ini terpesona dengan manisnya janji-janji itu, sehingga mereka lupa bahwa jagung yang mereka pernah tanam itu jauh lebih manis.” 

Semuanya terdiam. Menyesal dan pusing. 

Malam semakin suntuk. Rembulan benar-benar sudah berada pada titik sentral langit. Jangkrik semakin nyaring dan kopi pada cangkir sudah tersisa ampas. Namun, obrolan  politik malam itu sangat memantik. Nadus menggeleng-geleng sembari mencerna segala isu politik yang terjadi. 

“Saya tidak bisa membayangkan betapa hancurnya negeri ini jika pemimpinnya jatuh pada tangan orang yang lapar akan kekuasaan dan haus akan kepentingan personal. Atau bisa jadi ia hanya mementingkan kerabatnya sendiri, lantas menelantarkan kami yang terlanjur melarat ini.” Kata Sius sembari menghela napas panjang.

Kunang-kunang malam itu semakin banyak. Tetapi kali ini menari di dalam pikiran Nadus, Markus dan Sius. Mereka seakan-akan gila. Pusing untuk mau pilih pemimpin yang mana, sebab semuanya manis di awal tapi pahit di akhir. Apakah kita tidak perlu memilih mereka? Semuanya diam, seolah-olah malam itu penuh dengan kekosongan.

Editor: Iska Pebrina

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *