Penulis: Ramli Lahaping
“Sudah habis setengahnya?” tanya Juki saat menghampiri istrinya di pojok pasar selepas makan semangkuk bakso di sebuah warung. Ia tampak terkejut melihat minyak goreng buatan mereka di dalam sebuah jeriken berukuran dua puluh liter tinggal separuh.
Dian, istrinya, tersenyum lepas sambil berkata, “Iya, Pak. Cukup laris.”
Juki pun ikut tersenyum.
“Ini hasil penjualannya, Pak. Belilah beras, ikan, dan apa saja yang kita butuhkan di rumah,” pinta Dian sembari menyodorkan uang sebesar Rp170 ribu.
Juki lalu mengambil sodoran uang itu, kemudian beranjak membeli kebutuhan yang disebutkan istrinya dengan langkah senang.
Sebelumnya, Juki tak pernah mengira kalau usaha minyak goreng kelapa akan laku keras dan menghasilkan keuntungan yang menggembirakan. Sebab itulah, dahulu, ia hanya sesekali menanak santan guna untuk mendapatkan minyaknya. Itu pun hanya digunakan untuk keperluan rumah tangganya. Bahkan, ia lebih sering mengeringkan isi buah kelapanya dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan seadanya.
Hingga pada akhir 2021, terjadi kelangkaan minyak goreng yang mengakibatkan naiknya harga seluruh kebutuhan rumah tangga. Seketika saja, muncul ide di dalam benak istrinya untuk menjual minyak goreng dari olahan buah kelapa yang ada di kebun peninggalan orang tua Juki.
Juki pun sepakat dengan ide istrinya. Jadi, selama tiga hari, mereka bekerja sama menanak santan hingga menghasilkan minyak. Begitulah alurnya hingga mereka menjual minyak goreng kelapa di pasar.
Juki pun merasa menyesal sempat menganggap enteng sembilan belas pohon kelapa yang menjulang tinggi di kebunnya. Dulu, ia sekadar memanfaatkannya untuk kebutuhan rumah tangganya, atau menjualnya sebagai kopra dengan harga yang murah, bahkan malah membagikannya secara gratis kepada tetangganya. Ia menyesal karena terlambat menyadari kalau ia bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dengan mengolahnya menjadi minyak goreng dan menjualnya.
Cerahnya harapan dalam usaha minyak kelapa itu membuat Juki berhasrat untuk memperluas dan memperbanyak produksi minyak goreng. Ia bahkan mulai membayangkan untuk membeli alat pengolahan yang lebih canggih agar proses pembuatan minyaknya lebih efisien. Ia ingin memberi pengaruh positif dalam perdagangan minyak goreng untuk mengimbangi kehendak kapitalistik para pengusaha yang telah mempermainkan distribusi minyak demi menaikkan harga, hingga membebani masyarakat, termasuk ia dan istrinya.
Untuk mewujudkan niatnya itu, ia dan istrinya sepakat untuk menetapkan harga yang cukup merakyat. Mereka memutuskan untuk menjual minyak goreng produksi mereka dengan harga sewajarnya, yaitu Rp17 ribu per liter. Meski harga itu bukanlah harga terendah di pasaran, tetapi masih terhitung cukup murah ketimbang harga jenis minyak kemasan lainnya. Dengan harga tersebut, minyaknya laris dan menghasilkan keuntungan yang cukup banyak.
Dengan taktik penjualannya itu, Juki merasa telah ikut melawan para kapitalis yang memonopoli produksi serta distribusi minyak goreng kelapa sawit dan seenaknya mempermainkan harga. Ia juga merasa bisa turut meringankan beban keuangan rumah tangga orang-orang yang ekonominya menengah ke bawah. Ia pun merasa makin senang sebab ia tidak sekadar menjalankan usaha barunya untuk mendapatkan keuntungan lebih, tetapi juga dapat membantu masyarakat kecil.
Baca juga: Ikan-Ikan di Sungai
Setelah mendapatkan barang belian yang diincarnya, Juki kembali ke lapak istrinya dengan langkah gembira. Ia sungguh senang sebab ia bisa membeli keperluan rumah tangganya tersebut dengan hasil penjualan separuh minyak gorengnya untuk yang pertama kalinya. Saat tiba di lapak, kegembiraannya semakin bertambah karena mendapati minyak goreng mereka sudah habis terjual.
“Sudah habis?” tanya Juki dengan raut wajah yang terkesima.
“Dari tadi, Pak,” jawab Dian dengan wajah semringah.
“Kok bisa cepat begitu?” sidik Juki heran.
“Seorang penjual gorengan membeli lima liter,” terang Dian.
Juki pun tersenyum lepas. “Syukurlah,” katanya.
Dian pun membalasnya dengan sebuah senyuman. Namun sesaat kemudian, raut wajahnya berubah datar.
Ia lantas berujar dengan suara pelan, “Tetapi sepertinya, minyak kita laku keras karena kita mematok harga yang terlalu murah. Buktinya, tadi aku menjual minyak kita ke penjual gorengan itu seharga Rp17 ribu per liter, ia tampak terheran, seolah tak percaya kalau begitu murahnya.”
Juki kemudian menimbang-nimbang, lalu menanggapi dengan suara pelan, “Ya, sepertinya ke depan, kita bisa menaikkan harganya jadi Rp18 ribu per liter. Kukira, itu masih cukup bersaing dengan harga minyak kemasan.”
Baca juga: Kaus Kaki untuk Tesalonika
Seketika Dian menggeleng dengan wajah merengut. “Ah, jangan cuma begitu, Pak. Sekalian saja kita menjualnya dengan harga yang mendekati harga minyak goreng di pasaran. Aku yakin, minyak kita akan tetap laku, sebab aku dengar-dengar, banyak orang yang menyukai minyak goreng kelapa karena katanya lebih sehat, awet, dan harum.”
Mendengar saran dari istrinya, Juki kembali menimbang-nimbang keinginannya antara kepentingannya untuk mendapatkan keuntungan atau niatnya untuk membantu meringankan beban masyarakat di tengah kekejaman para kapitalis.
“Coba bayangkan, Pak. Kalau kita menjual minyak kita dengan harga umum, kita akan mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Kita juga dapat meningkatkan produksi minyak kita,” terang Dian dengan nada membujuk. “Pak, sayang sekali kalau potensi tersebut kita lewatkan begitu saja. Apalagi, ada banyak kebutuhan keluarga yang perlu kita penuhi,” tambahnya lagi.
Juki berdebat dengan pikirannya sendiri. Angka-angka bermain di benaknya. Hingga akhirnya, ia berujar, “Ya, usul Ibu sepertinya baik. Kita akan membuat minyak goreng yang lebih banyak dan coba memakai harga umum pada penjualan selanjutnya.”
Mendengar ucapan suaminya, Dian tersenyum lebar. Sementara Juki hanya membalas dengan senyuman singkat.
Mereka pun memutuskan untuk segera pulang dengan membawa mimpi yang sama, yaitu mimpi menjadi orang kaya dari hasil penjualan minyak goreng kelapa di tengah gejolak harga yang bahkan tak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Editor: Kru BiSa