Oh, the mistletoe is hung where you can see
Somebody waits for you …
Melodi lagu natal mengalun riang memenuhi kota. Pohon natal raksasa berdiri tegak di tengah kota, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Orang-orang berlalu-lalang di sepanjang jalan sambil menampakkan raut bahagia.
Ada yang berjalan santai sambil ikut menyanyikan lagu yang sedang diputar. Ada yang berjalan sembari bercerita dengan kenalannya. Ada yang berjalan sambil bergandengan tangan—mungkin dengan pasangannya. Ada pula yang sejenak berhenti untuk memotret kemegahan pohon natal di tengah kota.
Semua orang tampaknya sedang bahagia. Entah bahagia menyambut kelahiran Sang Juruselamat. Entah bahagia karena dapat berkumpul dengan kenalannya. Entah hanya ikut memeriahkan suasana yang tampak bahagia itu. Entahlah.
Namun, di sudut sana, tepatnya di sudut bangunan megah, seorang gadis kecil dan seorang anak laki-laki—yang tampak lebih muda dari si gadis kecil—tampak tidak seperti orang-orang lainnya. Keduanya menatap pohon natal yang ada di tengah kota dengan tatapan yang aku pun tak tahu apa maksud tatapan itu.
Namun, satu yang kuyakini, mereka tidak menatap pohon natal itu dengan tatapan bahagia. Malah aku merasa itu adalah tatapan yang justru membuatku iba.
Saat aku sedang asyik memandangi mereka, aku merasa keduanya sedang berjalan menuju ke arahku. Benar saja.
“Kak, apakah Kakak pernah bertemu Sinterklas?” tanya Gadis Kecil itu.
Belum sempat aku tersadar akan kedatangan mereka yang tiba-tiba, aku kembali terkejut dengan pertanyaan acak Gadis Kecil itu. Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu jelas membuatku tak dapat berpikir jernih.
“Tentu, tidak!” jawabku tanpa pikir panjang.
Di usiaku ini, aku tahu pasti bahwa Sinterklas itu hanyalah tokoh fiksi. Jadi, tentu saja aku belum pernah bertemu dengan sosok kakek tua pembawa hadiah di kala Natal itu.
Namun, sepertinya jawabanku tadi telah menghancurkan imajinasi Gadis Kecil itu.
“Huh, sudah kuduga. Sinterklas itu memang tidak nyata. Buktinya, Kakak yang sudah dewasa saja belum pernah bertemu dengannya.”
Benar saja. Gadis Kecil itu mengatakan kalimat yang cukup membuatku merasa bersalah. Raut wajahnya juga tak kalah menunjukkan kekecewaan besar.
“Bu … bukan begitu maksudku …”
Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Gadis Kecil itu langsung berbalik sambil memegang tangan si anak laki-laki. Keduanya pun semakin menjauh dari pandanganku. Dan bodohnya aku hanya diam mematung sambil menatap punggung kedua anak kecil itu.
*****
Baca juga: Film Pendek Natalan, Momen Berharga yang Dinantikan
“Joy … ayo turun!”
Suara wanita dewasa terdengar lembut memanggil. Joy segera menutup buku cerita di tangannya, meski belum selesai membacanya, lalu segera keluar dari kamar.
“Yuk, Papa sudah nungguin di mobil.” ajak Ruth sambil memegang tangan Joy.
Keduanya keluar dari rumah menuju mobil. Di dalam mobil, laki-laki umur 30-an menyambut keduanya dengan senyum hangat. Ruth masuk ke kursi di samping pengemudi, sedangkan Joy masuk ke kursi penumpang di belakang.
Di perjalanan, Joy hanya menatap ke luar mobil dengan tatapan datar hingga mereka sampai di kawasan sebuah mal. Saat mereka hendak parkir di basement, Joy melihat seorang anak perempuan sebayanya sedang berdiri di sudut luar mal sambil memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Di sampingnya, ada seorang anak kecil, yang sepertinya lebih muda daripada anak perempuan itu.
“Dejavu!” ucap Joy tiba-tiba.
“Hah? Kamu bilang apa barusan, Joy?” tanya Ruth
“Dejavu!”
“Astaga, kamu tahu dari mana kata itu?”
“Tok Tik,” jawab Joy dengan polos.
“Tuh, ‘kan, Pa. Mama sudah bilang jangan terus-terusan kasih HP ke Joy, apalagi buat lihat Tok Tik,” omel Ruth kepada Samuel.
“Bukan, bukan dari HP Papa,” bela Samuel.
“Iya, dari HP Papa,” ucap Joy tanpa ancang-ancang.
Samuel kaget mendengar ucapan putrinya itu. Apalagi melihat muka Ruth yang langsung menatapnya dengan tajam.
“Iya, nggak apa-apa dong, Ma. Toh, itu bukan kata yang buruk, malah bagus, Joy masih kecil sudah tahu kata dejavu,” ujar Samuel sambil tertawa kecil.
Ruth hanya bisa menghela napas mendengar ucapan suaminya itu.
“Memang kamu lihat apa sampai bilang dejavu, Joy?” tanya Mama sambil menatap Joy.
“Tadi ada dua anak kecil yang lagi berdiri persis kayak yang Joy baca di buku cerita tadi.”
“Hah? Persis gimana maksudnya, Joy?” tanya Samuel ikut penasaran.
“Mereka berdua berdiri sambil lihatin orang-orang jalan aja.”
*****
Baca juga: Home Alone (1990), Tontonan Wajib di Kala Libur Natal
Joy, Ruth, dan Samuel menghampiri kedua anak itu.
“Halo!” sapa Ruth dengan ramah.
Kedua anak kecil itu hanya menatap mereka dengan tatapan bingung.
“Kalian di sini sama siapa? Mama Papa kalian di mana?” tanya Ruth masih dengan suaranya yang ramah.
“Maaf, Tante,” ucap anak perempuan itu sembari langsung menggenggam tangan anak laki-laki di sampingnya dan hendak pergi.
“Eh, eh … Tante bukan mau aneh-aneh, kok. Tante cuma mau tanya, apa kalian kesasar atau kepisah dari orang tua kalian, atau gimana? Soalnya Tante perhatikan dari tadi kalian cuma diam aja di sini. Mungkin kalian butuh bantuan Tante.”
“Nggak, Tante, kami cuma mau lihat-lihat aja,” jawab anak perempuan itu.
Ruth menatap Joy dan suaminya sebentar sebelum kembali menatap anak perempuan itu.
“Lihat apa?” tanya Ruth.
“Lihat orang-orang yang lagi bersukacita menyambut Natal.”
Jawaban anak perempuan itu cukup membuat Ruth kebingungan. Ia pun berbisik sambil bertanya kepada suaminya, tetapi suaminya hanya mengangkat bahu tanda bahwa ia juga tidak mengerti apa maksud anak perempuan itu.
“Kamu lagi berharap ketemu Sinterklas, ya?” tanya Joy tiba-tiba.
“Joy, kok tiba-tiba bahas Sinterklas, sih?” tanya Samuel karena kaget mendengar putrinya tiba-tiba membahas Sinterklas.
Namun, tidak disangka anak perempuan itu menanggapi pertanyaan acak dari Joy tadi.
“Kalau Sinterklas itu benar-benar ada, aku berharap dia kasih sepasang kaus kaki aja buat Timotius supaya Timotius nggak kedinginan lagi setiap malam,” ucap anak perempuan itu sambil memandang anak laki-laki di sampingnya. Mungkin anak laki-laki itulah yang dimaksudnya Timotius.
“Katanya Sinterklas bakal kasih hadiah kalau kita gantungin kaus kaki di pintu, tapi kami bahkan nggak punya kaus kaki. Jadi, aku cuma pengin Sinterklas kasih sepasang kaus kaki aja buat Timotius,” lanjutnya.
Mendengar ucapan anak perempuan itu, Ruth tanpa sadar menitikkan air matanya. Joy menarik tangan Ruth agar bisa membisikkan sesuatu ke telinga Ruth.
“Ma, ayo kita belikan mereka kaus kaki. Joy mau baju natal satu aja, nggak jadi dua, satunya buat gantiin mereka beli kaus kaki.”
Samuel yang juga mendengar samar-samar ucapan putrinya itu, segera mengelus rambut Joy sambil tersenyum.
“Gimana kalau kita juga belikan mereka baju natal?” tanya Samuel pada Joy.
“Memangnya boleh, Pa?”
“Boleh, dong! Kenapa, nggak?”
Mendengar ucapan Samuel, Joy langsung melompat gembira. Ia segera memegang tangan si anak perempuan dan menuntun keduanya memasuki mal.
Samuel dan Ruth tersenyum melihat tingkah putri mereka itu. Mereka tidak menyangka bahwa Joy memiliki hati yang begitu hangat. Rasanya tidak salah mereka memberi nama Joy yang berarti sukacita. Tidak hanya membawa sukacita di keluarga kecil mereka, tetapi juga bagi orang lain, bahkan orang yang tidak dikenal sekali pun.
Ruth dan Samuel segera menyusul Joy dan kedua anak itu.
“Eh, nama kalian siapa?” tanya Ruth kepada kedua anak itu.
“Namaku Tesalonika, dan ini adikku, Timotius,” jawab anak perempuan itu.
“Halo, Tesalonika dan Timotius! Aku Joy. Kata Mama dan Papa, Joy artinya sukacita.”
Mendengar ucapan Joy itu, Ruth dan Samuel kembali tersenyum. Jika kasih dan sukacita Natal itu berwujud manusia, mungkin rupanya akan seperti anak-anak itu. Joy yang peduli kepada orang yang bahkan tidak dikenalnya dan Tesalonika yang memedulikan kepentingan adiknya, meski dirinya juga kekurangan.
“Joy bakal ajak kalian untuk beli kaus kaki untuk Timotius. Dan pastinya juga buat Tesalonika, biar kalian berdua nggak ada yang kedinginan lagi,” ucap Joy sambil tersenyum riang.
Untuk pertama kalinya, Timotius dan Tesalonika menunjukkan senyum mereka. Natal kali ini rasanya begitu hangat, meski kelihatannya sangat sepele. Sesepele membelikan kaus kaki untuk Timotius dan Tesalonika.
Editor: Cesilia Sasanda