Tujuh Belas

cerpen tujuh belas
Sumber: Canva.com

Banyak orang berkata jika angka tujuh belas itu istimewa. Masa di mana kita beranjak dari remaja menuju dewasa. Angka sakral katanya karena kita dapat bersenang-senang tanpa mengemban beratnya beban. Konon, saat menginjak angka tersebut hidup kita dipenuhi cinta dan kasih. 

Sayangnya, hal itu tak bisa kurasakan. Masa-masa remajaku terenggut sudah. Tak ada kata bersenang-senang di kamusku. Setiap hari, aku harus membantu Ibu untuk membuat kue. Saat anak-anak lain merayakan sweet seventeen dengan mewah, aku hanya bisa berkunjung ke toko kue sambil memandangi kue tar yang ingin sekali kubeli.

“Kau sedang apa, Nak?” tanya pemilik toko kue itu. Tanpa menjawab, aku segera berlari pergi. Aku malu. Sungguh. Pasti pemilik toko tersebut sudah memperhatikanku yang berdiri di sana hampir satu setengah jam.

Sesampainya di rumah, aku meletakkan tas punggungku dan langsung pergi ke meja makan. Hanya ada nasi dan tempe di sana. Bosan. Tiap hari hanya itu menu yang Ibu sajikan.

“Ibu, Tia mau ayam!” teriakku pada ibu yang kemungkinan besar sedang berada di kamar.

Tak lama, Ibu datang sambil berkata, “Maaf, Nak. Ibu hanya bisa beli tempe. Uangnya sudah terpakai untuk membayar sekolahmu kemarin.” Alasan klise tersebut sudah sering Ibu gunakan hingga aku hafal. Memang Ayah hanya seorang buruh dan Ibu seorang penjual kue keliling. Namun, aku tidak punya kakak atau adik. Jadi, mereka hanya perlu membiayaiku.

“Ibu nggak lupa, kan, hari spesial ini?” 

Ibu tersenyum sampai terlihat kerutan di sekitar matanya. “Mana mungkin Ibu lupa hari ulang tahunmu, Tia.” Aku tersenyum. Jika tak ada kue tar, setidaknya ada kado, bukan?

“Ibu punya kado buat Tia?” tanyaku dengan penuh semangat. Ibu kembali ke kamar untuk mengambil sesuatu. Kupikir itu sebuah kado karena berbentuk kotak. Kuambil kotak itu, lalu segera kubuka. Sayangnya, kebahagiaanku tak berlangsung lama. Setelah membuka kado tersebut, aku merasa kesal.

Baca juga: Kenangan Akhir Tahun yang Tak Terlupakan

Kuperhatikan lagi gaun tersebut. Warnanya putih, tapi sudah agak kecoklatan. Tampaknya sudah usang. Terdapat banyak lubang kecil seperti digigit serangga. Apa Ibu sedang mempermainkanku?

“Bahkan gaun ini tak layak pakai lagi, Bu,” ucapku lirih, tapi sepertinya Ibu mendengarnya. Raut wajahnya pun menjadi sedih.

“Maaf, Tia. Ibu nggak bisa kasih kamu hadiah mewah seperti orang tua lainnya.”

“Bu, akan lebih baik jika Ibu tak memberikanku hadiah. Daripada Ibu membeli gaun yang sudah rusak seperti ini.” Aku melenggang pergi ke kamar. Menangisi nasibku yang malang. Kamar ini sudah lama menjadi saksi bisu akan keluh kesahku.

“Tuhan, aku ingin cepat dewasa agar bisa mengubah nasib sialku.”

***

“Kalau terus bermalas-malasan, mau saya pecat sekarang?” tegur Pak Ipan, manajer tempatku bekerja.

“Maaf, Pak.” Setelah itu, aku langsung menghampiri meja pelanggan yang baru saja datang dan membawa buku menu.

Sekarang usiaku sudah genap 25 tahun dan saat ini aku bekerja sebagai waiters di salah satu restoran di Jakarta. Setelah menamatkan sekolahku, aku langsung merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Kukira mencari pekerjaan di kota besar itu mudah, tapi ternyata dugaanku salah besar. Sudah enam tahun aku di sini. Namun, belum ada perkembangan karena aku hanya lulusan SMA.

Selama enam tahun pula, aku jarang pulang ke rumah karena biaya untuk pulang itu mahal. Bisa dihitung dengan jari kapan aku pulang. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Baru aku sadari, ternyata begini sulitnya mencari uang. Pantas saja Ibu dan Ayah dulu hanya bisa menyajikan nasi dan tempe. Apalagi, dulu aku bersekolah di sekolah swasta yang memakan banyak biaya.

Ya … setelah bekerja seharian, aku merasa sangat lelah. Tempaan di tempat kerja sungguh membuatku muak. Kubuka lemari pakaian yang menyimpan gaun putih pemberian Ibu sebagai hadiah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Kemudian kupandangi gaun itu. Ada perasaan sesak dalam dada. Pandanganku beralih pada foto Ayah dan Ibu yang berada di meja dekat lemari. Air mataku pun lolos juga pada akhirnya. 

Memoriku berputar kembali ke masa itu. Sehari setelah hari ulang tahunku yang ke tujuh belas, Ibu dan Ayah menghampiriku dengan membawa kue tar.

“Selamat ulang tahun putri Ayah dan Ibu. Maaf, ya, Nak, kami cuma bisa beli kue tar murahan,” ucap Ayah. Mataku berkaca-kaca mendengar ucapannya.

“Ayo berdoa dulu, baru tiup lilinnya,” lanjut Ibu. Aku pun memejamkan mata dan berdoa pada Tuhan. Lalu segera meniup lilin di kue tersebut.

Aku tersenyum. “Terima kasih, Pak, Bu,” ucapku sembari memeluk mereka berdua.

Baca juga: Dalam Keheningan yang Dilabuhkan

Setelah itu, kami bercengkerama di ruang TV. Rasanya, hari itu aku sangat bahagia. Saat itu, Ibu mengatakan padaku tentang gaun yang kemarin beliau berikan padaku. Ternyata, gaun tersebut adalah gaun pernikahan Ayah dan Ibuku. Mereka memberikannya padaku agar aku menjaga dan merawatnya. Hatiku seakan teriris mendengar penjelasan Ibu. Bagaimana bisa aku mengatakan gaun itu sudah tak layak pakai.

Sejak saat itu, aku pun mulai berdamai dengan keadaan dan menikmati masa-masa sekolahku. Kini aku sadar bahwa yang orang katakan tentang angka tujuh belas itu benar adanya. Masa-masa tersebut indah dibandingkan dengan sekarang. Dulu, aku hanya khawatir jika ada ujian matematika, tapi ternyata lebih menakutkan saat menghadapi ujian hidup. 

Meski tak merayakan sweet seventeen seperti kebanyakan orang saat itu, tapi bagiku tujuh belas itu tetap istimewa karena saat itulah aku masih bisa merasakan hangatnya peluk dan kasih sayang kedua orang tuaku. Setidaknya, aku dan orang tuaku sempat membuat banyak kenangan indah, sebelum Ayah dan Ibu meninggalkanku sendiri di dunia, tepat saat usiaku delapan belas tahun.

Editor: Iska Pebrina

Gita Indriani

Penikmat musik dan penyuka cokelat tanpa kacang. Instagram @gita_indrn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *