(Ibu) yang Menghardik Perantau di (Kota)

Ilustrasi cerpen ibu yang menghardik perantau di kota
Sumber: freepik.com

Penulis: Ihsan Nugroho 

Ini adalah Ramadan perdana sebagai perantau. Sejujurnya, aku sangat merindukan sahur dengan rendang daging buatan ibuku dan masak kue bersama keluarga untuk menu berbuka. 

“Awan, ini sudah sore. Kenapa halaman depan outlet masih kotor?” 

“Maaf, Pak. Saya mengerjakan closing-an shift pagi bagian di dalam outlet. Untuk diluar halaman dikerjakan Farhan”

“Sebelum pulang, kamu sapu lagi nanti halaman depan. Masih banyak daun pohon kamboja yang berguguran di depan. Ajarkan Farhan yang anak baru agar tahu titik penting yang harus tampak bersih. Bagaimana kamu ini, harusnya kamu sudah siap kalau…..”

“Siap, Pak”, aku memotong teguran kepala toko. Ia terlalu sering menegurku di depan banyak orang. 

Suara khas kepala toko yang selalu menggunakan nada tinggi itu seringkali menghantui pendengaranku ketika waktu pulang telah tiba. Aku tidak pernah mempermasalahkan apabila mendapatkan teguran dari atasan, tetapi kepala toko selalu mencecar dan menegur dengan suara kerasnya di depan karyawan lain bahkan banyak customer. Seolah sedang merendahkanku dan akupun merasa jika tidak dihargai berada di sini.

Tak hanya itu saja, ketika aku sedang mendapatkan inspeksi dari supervisor, ia selalu saja memarahi dan menunjuk-nunjukku seolah aku hamba sahaya yang tak berakal. 

Pekerjaan cleaning service yang sedang aku jalani ini memang sering dianggap rendah, sehingga tak ayal jika aku selalu dijadikan samsak kemarahan oleh siapapun yang berada di sini. Terkadang aku hanya bisa diam menatap nanar diriku sendiri di depan kaca besar toilet.

Aku tak bisa resign begitu saja. Sebagai perantau, sungguh sulit untuk mendapatkan pekerjaan di ibukota ini untuk tamatan SMA sepertiku.  Lagi pun, ijazahku ditahan perusahaan satu tahun, jika aku resign sebelum masa kontrak habis, selembar kertas yang kuperjuangkan tiga tahun ini akan hangus. 

Saat bulan Ramadan seperti ini, rasanya banyak hal yang aku rindukan sebagai perantau, seperti suasana rumah, masakan ibu, bahkan ketika sedang menikmati kebersamaan dengan keluarga saat sedang menyiapkan menu untuk sahur ataupun berbuka. Apalagi keliling kampung untuk sekadar ngabuburit bersama teman-teman. 

Bekerja sebagai cleaning service saat bulan Ramadan begini menjadi salah satu ujian terberatku saat berpuasa. Terik yang membuat dahaga, kepala toko tidak kooperatif, uang minim, dan jauh dari keluarga. 

Namun kini, semua berbeda setelah aku sudah bekerja jauh dari rumah. Apalagi menjadi cleaning service yang cukup menguras tenaga dan menjadi ujian terberatku saat berpuasa. Bukan hanya lingkungan yang berbeda, tetapi juga orang-orangnya, seperti kepala toko …..

Di tengah gejolak batin dan pemikiranku ini, aku berjalan menuju halaman depan outlet

“Han, katamu sudah disapu, tapi kenapa masih banyak daun-daun gugur begini?”, aku bertanya selembut mungkin ke rekan kerjaku ini. 

“Iya bang, tadi sudah kulakukan, tapi bukan pakai sapu lidi. Aku tadi pakai sapu yang itu”, menunjuk sapu ijuk yang dijajarkan di samping pos satpam. Aku tersenyum kaget, tak bisa marah. Bagaimana bisa dia menyapu halaman penuh paving block dengan sapu ijuk yang sudah botak. 

Baru saja selesai aku menyapu, kepala toko dengan sinis mendatangiku. 

“Wan, jangan pulang sekarang. Kenapa sebelum pulang tidak cek dulu toilet? Kotor sekali, nanti kalau pengunjung komplain bagaimana?”

“Tapi sudah saya cek dan bersih, Pak! Mungkin tadi ada pengunjung lain yang masuk. Kalau sudah jam lima tanggung jawab staf shift sore untuk memastikan toilet bersih”, kali ini kujawab dengan sedikit nada sedikit tinggi. 

“Selagi kamu di sini, kamu masih harus cek toilet. Bagaimana kamu ini, tidak bisa membantu para pekerja di sini. Perkara orang kampung, sifat kampunganmu terbawa sampai sini!”

Aku hening sejenak, gemetar. Perkataannya sungguh menghardik. 

“Tak apa, Pak. Biar saya saja yang cek ulang. Bang Awan tadi sudah bantu saya menyapu halaman”, sahut Farhan. Setidaknya walau pekerjaannya sering keliru, dia rekan kerja yang paling mengerti keadaanku. 

Aku berlari ke belakang outlet, tempat istirahat staf, meninggalkan mereka. Tangisku tak bisa kutahan. Akankah dendam kepala toko kepadaku masih membekas?

****

Aku menangis di sudut ruangan. Hanya aku sendiri di sini. 

“Mengapa kerakusan dapat merusak segalanya?”

“Apakah kemunafikan kota segila ini?”

Handphone-ku berbunyi, segera kuambil dari saku celanaku. Tertulis nama “ibu <3” di layar, ternyata panggilan video.

Baca juga: Berdamai dengan Masa Lalu

Segera aku menyeka air mataku dan mengatur nafas teratur agar tak tampak sehabis menangis. Ia akan kepikiran jika putra semata wayangnya menangis di perantauan. 

“Assalamu’alaikum, Nak. Lagi di mana, kenapa gelap, ya?”

“Wa’alaikumsalam, Bu. Ini lagi di tempat istirahat karyawan. Lampunya memang belum hidupkan.”

“Ya Allah, kemarin malam katanya hari ini masuk pagi, kok jam segini belum pulang. Gimana nanti buka puasa?” 

Sambil aku lihat jam di handphone-ku, sudah pukul 17.40 ternyata.

“Tadi lagi banyak yang dikerjain, tapi ini udah siap, sebentar lagi balik ke kosan”

“Sehat kau, nak? Lesu sekali wajahmu ibu lihat. Sahur pakai apa tadi subuh?”

“Alhamdulillah sehat, tadi sahur makan ikan sambal diberi ibu kost” 

“Betulnya itu? Jangan kau tipu ibumu ini ya. Kalau nggak ada uang untuk bayar kost bilang saja. Nanti biar ibu telepon saudara ayahmu di sana kasih kau tumpangan”

“Sudah, ibu tenang aja. Awan segan kalau tinggal dengan saudara. Takut merepotkan”

“Ya sudah, syukur kalau begitu. Ibu cuma mau bilang, bulan depan tak apa kalau kau tidak kirimkan uang ke ibu. Uangnya ditabung aja untuk pulang kampung nanti lebaran. Bulan puasa ini ibu jualan takjil depan rumah jadi jangan khawatir. Sudah kangen sekali ibu denganmu”

Aku tertegun, akan sangat sulit izin cuti lebaran di kampung untuk karyawan shifting saat hari raya besar. Jelas aku tidak mendapat izin dari kepala toko sensitif itu. Kecuali jika aku izin ke supervisor langsung, tapi itu juga akan mustahil mengingat jika lebaran pengunjung pasti ramai. 

“Insya Allah kalau boleh izin Awan pulang kampung ya, Bu”

“Usahakan ya, nak. Ibu tutup dulu teleponnya ya, lagi ada yang mau beli. Sehat-sehat, nak. Assalamu’alaikum”

“Keluarga di sana sehat-sehat juga ya. Titip salam ke opung. Wa’alaikumsalam”

Teleponnya sudah ditutup. Aku melanjutkan tangis; hampa; ingin menyerah. 

Impianku untuk berjaya di ibukota adalah daun pohon kamboja yang kusapu; 

gugur; terbang; terbuang; hilang.

Ibukota adalah ibu tiri negeri dongeng bagi si miskin pembersih kakus sepertiku. Bagaimanapun aku harus bergegas pulang. Takut tidak kebagian takjil gratis di masjid.

****

“Pulang naik apa, Bang? Kalau naik angkot pulang denganku saja. Aku bawa motor sendiri, kita searah, kok.”, Farhan muncul lantas bertanya dari balik pintu mengagetkanku. 

“Wah, tidak apa-apakah? Nanti merepotkanmu.”

Nggak, Bang, aku sekalian ingin beli es puding mangga untuk buka puasa di daerah kos abang,” jawabnya sambil tertawa kecil.

“Alhamdulillah.”

Untunglah Farhan menumpangiku. Setidaknya aku hemat empat ribu untuk ongkos pulang.

Baca juga: Kenangan Akhir Tahun yang Tak Terlupakan

Selama perjalanan, Farhan tidak banyak berbicara. Ia sering bernyanyi sendiri sambil melihat sekeliling jalan. Aku juga sama, melihat sekeliling ibukota yang sudah lama tidak kunikmati. 

Kami menepi ke penjual es mangga yang ingin Farhan beli tadi. Dia menawarkanku, tetapi tidak ku-iya-kan. Sesampainya di kost sudah hampir waktu maghrib.

“Terima kasih, ya, Han. Mau singgah dulu? Takutnya nanti kau berbuka di perjalanan,” kataku basa-basi, walau aku sedikit khawatir karena aku tidak ada menyiapkan makanan. 

“Tak usah bang, aku sudah biasa berbuka di mesjid diperjalanan”, Farhan lantas memberikan sebungkus es mangga yang dibelinya tadi. Memang dia membeli tiga bungkus, tetapi aku segan menerimanya.

“Sudah untukmu saja, segan sekali aku sudah ditumpangi, diberi minuman buka puasa lagi”

“Sudah terima saja. Aku yang banyak berterima kasih denganmu. Diantara semua karyawan, cuma abang yang tak pernah marah denganku. Mereka semua bahkan sesame cleaning service selalu berbicara dengan nada tinggi kepadaku. Sejujurnya aku pusing”

Aku tak bisa berkomentar apapun. Memang benar, cleaning service selalu dianggap strata terendah. Tidak hanya aku ternyata, Farhan juga. Padahal tanpa divisi kami, toh mereka akan makan dengan meja lengket, lantai berdebu, dan kamar mandi bau.

“Aku mau minta maaf sebelumnya bang, tadi kudengar abang ada rencana pulang kampung ya?”, pertanyaan Farhan membuatku kikuk, berarti ia tadi melihatku sedang menangis.

“Huh, iya. Tapi yakinku tidak bisa. Mana mungkin pekerja shift seperti kita mendapatkan izin di hari raya besar”

“Bisa kok bang. Sebenarnya pamankku supervisor di outlet tempat kita bekerja. Jadi nanti kalau abang mau libur lebaran bilang saja, aku yang konfirmasi langsung ke pamanku. Hitung-hitung ini hutang budi aku ke abang yang banyak bantu aku di kerjaan”

“Benarkah, terima kasih banyak ya, Han. Aku yang akan banyak hutang budi ke kau”, kali ini aku ingin menangis lagi, tetapi tangis haru. Sudah kuduga, tidak mungkin orang seperti Farhan yang kaku dalam memegang sapu bisa menjadi cleaning service.

“Halah. Balik aku ya bang”, Farhan menghidupkan kembali motornya dan bergerak pulang.

Aku hendak masuk ke Lorong kost, namun ada seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang.

“AWAN, PAKET!”

“Saya, bang”, aku tidak ada membeli sesuatu secara online dalam waktu terakhir ini, namun kenapa ada paket dengan nama penerimaku.

“Atas nama Awan Siregar, bang?”

“Iya benar bang. Pengirimnya dari siapa ya?”, kurir paket tadi tidak banyak bicara. Ia menunjukkan paket dan label pengiriman. Kubaaca perlahan dari bawah.

alamatnya benar di sini. Nomor handphone-nya sesuai dengan nomorku. Terus nama penerimanya…”

“Atika (Ibu Awan)” Aku bingung, ibuku yang mengirimnya untukku. Apa isinya? Sejak kapan ia pandai kirim-kirim paket begini. Ibuku sudah ikut tren juga ternyata.

Baca juga: Tujuh Belas

Paketnya sudah kuterima. Kurir paket tadi sudah memotretku sebagai tanda terima. Aku langsung berlari ke kamar kost, sangat penasaran akan apa yang dikirim ibuku. Kugunting bubble wrap yang membungkus paket ini.

Setelah kubuka ternyata isinya adalah setoples sambal teri kacang dan setoples lagi rendang daging yang sangat kuinginkan. Di bawah toples terdapat catatan kecil dari kertas bertuliskan

“Dimakan ya, nak. Ibu tahu seberapa keras kamu disana. Jangan coba-coba bohong dengan ibumu ini lagi!”

****

Empat bulan lalu, aku pernah menjadi saksi dan membenarkan kriminal yang ia lakukan. Ia pernah ketahuan beberapa kali mencuri uang di kasir.  Aku tahu dan awalnya ingin acuh terhadap tindakannya karena kupikir bukanlah urusanku. Namun, rekaman kamera pengawas tidak bisa demikian. 

Saat waktu pencurian dicurigai, hanya aku yang terlihat sedang membersihkan kaca dekat kasir. Aku tak bisa berbohong, kukatakan apa adanya.

Kepala toko itu hampir dipecat, namun keputusan atasan akhirnya ia cuti tanpa digaji tiga bulan. Sejak hari itu, kepala toko kikir itu menindasku dengan jabatan kepala toko yang ia punya.

Editor: Iska Pebrina

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *