Penulis: Yohanes Aprisutanto Ruben
Dalam Jumpa (I)
Suatu hari, dalam sibukku berlabuh
Di bawah mentari yang mengusik kulit
Ada jumpa bermula dalam seri cerita cinta
Tentang sang lebah dan bunga di taman jiwa
Saksi kesucian mereka bermula.
Dalam jumpa, aku dibuat terpana
Ditarik cantiknya setangkai bunga bernama melati di pojok taman berseri
Entah apa tangguhnya?
Putihnya lebih menawan daripada merah yang cerah
Mahkotanya lebih anggun daripada pekarangan bunga di taman jiwa
Cantiknya tak berseri namun sejuk dalam jiwa
Menolong diri ini yang tenggelam dalam laut luka.
Dalam hening kelam, aku terpenjara dalam bayang keraguan
Menutup diri yang kian menjadi tenggelam
Benarkah dia…?
Ataukah, sang melati di taman jiwa ini
hanya sekadar persinggahan rindu yang tak pernah bermuara
Jika dia memang dia, apakah perjumpaan ini hanya sekali saja?
Dalam Jumpa (II)
Untuk Kesekian Purnama
Aku yang masih dalam gelut tanya
Dikejar waktu yang terus berkoar-koar
Memanggil nama dalam jumpa di taman jiwa
Mengingat indahnya yang tak berseri
Namun lebih menawan dari sekian banyak pekarangan bunga di sana
Dalam tanya yang perlahan merengkuh langkah,
Akankah semua ini berujung pasti?
Benarkah hanya sekali atau untuk kesekian kali?
Aku masih dikurung tanya
Dalam jiwa yang terus mengingat kisah bahkan dalam jiwa yang dikekang rasa
dan paksaan dunia yang mengunci raga
Adakah kata yang terbuka? Adakah sabda yang lebih jujur dari bisikan hati?
Rindu ini, seperti debu, ditiup waktu, hilang tanpa temu.
Kepada Sabda aku hanya menitipkan kata
Kalau dia memang langkah? Pantaskah kupercaya?
Jika langkah ini terbuka, akankah dunia mengizinkanku percaya?
Atau, kutitipkan saja segalanya pada angin malam
Yang menyimpan rahasia jumpa dalam diam.
Baca juga: Puisi Sunyi Menaungi Kelam Kabut
Dalam Jumpa (III)
Wahai Rindu!
Sebanyak apakah rasamu menggema dalam dinding ruang hampa?
Pernahkah tanya mengusik jiwa, adilkah kita menanggungnya? Ataukah sang Melati tahu bahwa dirinya hanya terikat malu, bergantung pada diri yang terjerat janji?
Jika iya, salahkah harap ini kian bertumbuh,
pada diri yang terus berteriak keras ,
ingin lepas dari jeruji harap dunia.
Diri ini terus menagih rasa, menitip kata-kata pada sang sabda.
Wahai Taman Jiwa,
masih senangkah kau menjadi saksi dalam jumpa,
menghadirkan awal mula kisah cinta yang kini bertanda tanya?
Benarkah perasaan ini terlukis indah, secantik bunga yang menggeliat ingin?
Kalau memang indah, kenapa tak semenawan putihnya, kenapa tak seanggun mahkotanya?
Lalu akhirnya bertanda tanya, adilkah insan ini mengganggunya?
Cantiknya memang tak berseri, tapi kenapa indahnya menyejukkan jiwa?
Wahai cerita,
pernahkah alurnya menjadi berkat, atau jalannya tak sulit ditebak?
Kau terlalu pandai memainkan drama, membuat penulisnya rapuh akan makna,
ditipu banyaknya sandiwara peristiwa.
Apakah dia sebagai jawabannya? Jika memang dia, masih layakkah aku melangkah?
Ataukah sang Melati ini sebatas ruang rindu
dalam kelam manis kenikmatan jiwa?
Mengguncang rasa, mempertanyakan jiwa yang sedang dalam juang.
Saya
Saya adalah bentangan hari
yang menepi, untuk menanti pagi.
Sebab terlambat tahu,
tentang kedatangan fajar di penghujung malam.
Saya adalah coretan setinta hitam
yang bersuara dalam selembar kertas buraman,
untuk sejam tanpa penulis yang gagap.
Sebab terpena dalam buku,
tentang rentetan langkah demi mengais luka.
Saya adalah kumpulan jeritan kaum papa
yang mengambang dalam nestapa,
untuk tenang pada zaman-zaman tuk berusaha
Sebab, terlalu terluka,
tentang nasib yang dirampas kaum pelupa.
Baca juga: Puisi Bagaimana Sayang
Bukan Aku
Bukan Aku,
Kayu hanyalah wujudku;
Yang kaku beranjak dan butuh laku lebihUntuk sekadar tahu.
Bukan aku,
Pedih hanyalah nasibku;
Yang labil dan bodoh soal paham diri
Bahkan sekadar tuk merapal kasih.
Bukan Aku,
sekejap hanyalah narasiku
hanya untaian manis belaka;
sedang tuk merehat diri, singkat saja
bahkan sekadar tuk paham “sadar diri”.
Editor: Kru BiSa