Penulis: Ghina Nur Nisrina
Bagian 2
“Jadi gimana Rin, perkembangannya?” tanya Lia tiba tiba
Sejauh ini, Arin yang paham arah pembicaraan itu hanya bisa menahan senyum sambil berkata, “Ya, gitu, nggak ada apa apa?”
“Apa, sih, nggak asik banget biasanya juga jadi cegil, kalo dia nggak peka make a first move Rin, ayo mencintai dengan ugal ugalan!” jawabnya geregetan.
“Aduh, Li, nggak semua orang nyaman digituin, kamu kira jadi cegal cegil gitu bakal kaya di AU AU apa? Ya, syukur kalo disukai balik, kalau nggak, ‘kan sakit banget.”
Arin beranjak dari ruang kelas dan memilih untuk berjalan keluar. Lia ikut menyusul dari belakang, berjalan di samping Arin yang tampak sudah jenuh dengan sifatnya.
“Gue antar, deh, tapi mampir dulu, mau nggak?”
Lagi lagi Lia si wanita gila ini berbicara dan Arin hanya mengangguk tanpa basa basi.
Selama dalam perjalanan, Arin hanya mendengar musik lewat ponselnya. Memakai headset agar Lia tidak mendengar atau sekadar mengajaknya berbicara. Arin butuh ketenangan meski tidak benar-benar bisa. Mereka sampai di salah satu kafe langganan mereka yang tak jauh dari rumah Arin. Kafe itu terbagi menjadi bagian indoor dan outdoor, tetapi mereka lebih memilih bagian outdoor dan naik ke bagian atas kafe untuk mendapatkan pemandangan kota di sore hari yang ramai pada hari ini.
Baca juga: Dalam Keheningan yang Dilabuhkan
Lia menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap lurus ke depan. Dia memandang ke arah jalan raya yang penuh dengan kendaraan karena sedang lampu merah. Arin masih mendengarkan musik, entah musiknya masih menyala atau tidak, tetapi headset-nya masih menempel di telinganya.
“Dulu awal ketemu tempat ini kita bahagia banget, ya, rasanya kayak, oh, gini, ya, nemuin hidden game, sekarang malah bosen banget gue,” ucap Lia sambil menyeruput tehnya.
“Oh, ya? gue nggak ngerasa gitu. Malah makin ke sini tempat ini jadi tempat paling nyaman buat gue bisa berdiam diri nggak ngelakuin apa pun, bengong kek orang gila karena gue merasa nggak diperhatiin siapa pun tiap ke sini,” balas Arin.
“Dih, sok iya banget lo, mending ceritain deh gimana asal mula lo bisa suka Alfi,” goda Lia.
Arin melihat Lia sekilas dan tersenyum lepas. Dia tidak habis pikir dengan sahabatnya ini yang meminta bercerita, tetapi dengan nada sarkasnya. Arin melepaskan headset dan ikut menyandar pada punggung kursi dan menatap ke depan.
“Gue juga sebenarnya belum seyakin itu buat dibilang jatuh cinta, gue masih ragu kalo ini perasaan yang buat gue benar benar suka atau cuma karena intensitas ketemunya yang sering.”
“Atau emang perasaan gue yang belum sejatuh itu, perasaan yang belum waktunya, perasaan yang gue taruh tanpa ada keinginan atau ekspektasi lebih kalo dia bakal balas perasaan yang sama. Mungkin karena dari dulu gue terbiasa jatuh cinta sendirian, gue juga berjuang sendirian jadi rasanya saat jatuh cinta lagi gue hanya cukup jatuh,” sambungnya.
Baca juga: Cerpen Rahasia Karin
Lia mengatup bibirnya, mendengar sepasrah apa yang sahabatnya itu tengah rasakan. Apakah jatuh cinta harus membingungkan seperti itu atau hanya Arin yang selalu denial terhadap apa yang ia rasakan.
“Terus lo sekarang maunya gimana Rin?”
Arin menghela napas, lalu tersenyum simpul.
“Jalanin, gue jalanin semuanya mau itu senang, sedih, ataupun sakit. Lo gak tau ‘kan sebahagia apa gue waktu dia follback Instagram gue. Rasanya tiga hari tiga malam gue kepikiran dan senyum senyum sendiri kayak orang gila, simpel aja gue, Li. Makin dewasa tuh maunya yang sederhana-sederhana aja.”
“Nah, itu lo di follback, ya udah lanjutin Rin deketinnya!” balas Lia bersemangat.
“Iya, Lia, iya, gue juga gak mau gegabah, nggak gampang tahu!” balas Arin nyolot.
“Cowok itu nggak akan peka Rin kalo nggak lo yang bergerak duluan”
Arin berdecih “Itu dia, Lia. Lo pernah dengar quote yang bilang gini nggak, kita mungkin ice cream strawberry terenak di kota ini, tapi rasa favoritnya tetap vanila yang artinya mau berusaha bagaimana pun gue kalo dia nggak suka ya nggak bisa, Li.”
“Sampai di titik ini lo pernah rasain ‘kan rasanya suka sama orang yang kita yakini dia nggak mungkin suka sama kita, lagi pula gue nggak secantik dan sepintar itu buat dia, his standard not me,” sambung Arin.
Intinya gue suka dia, tapi gue nggak benar benar cukup buat dia.
Editor: Iska Pebrina