Bapak itu keras kepala. Kalimat itulah yang terlintas dalam pikiranku jika ada yang bertanya tentang Bapak. Begitu banyak Bapak menerapkan aturan dan larangan yang di dalam rumah. Aku dengan pemikiranku sendiri dan Bapak dengan pemikirannya sendiri.
Saat itu, aku baru saja pulang dari sekolah. Bapak menyuruhku untuk segera membuat KTP. Aku langsung menatap Bapak. “Buat apa buru-buru sih, Pak?” tanyaku.
Bapak hanya mangkir dari pertanyaanku. Aku tidak tahu apa yang ada di benak dan pikirannya. Sungguh, bukankah masih ada hari esok dan seterusnya. Aku pun menghampiri Bapak yang sedang duduk di teras sembari membaca koran ditemani secangkir kopi.
“Pak, pertanyaanku tadi belum Bapak jawab ” tanyaku dengan tidak sabar. Bapak menoleh sebentar kemudian meletakkan koran di atas mejanya. “Kamu sudah tujuh belas tahun, Bapak ingin melihatmu memiliki KTP,” jawabnya tenang. “Masih ada hari esok, Pak. Tenang saja, besok setelah pulang sekolah aku akan mengurusnya ke kecamatan.” Bapak pun hanya mengangguk mendengar penjelasanku.
Namun, keesokan harinya, hujan deras mengguyur bumi tanpa ampun. Bahkan air mulai naik dan genangan air tersebut membuat keadaan semakin kacau.
“Banjir sialan!” batinku..
Hari itu, aku tidak dapat pergi ke mana-mana. Sekolah ditutup, kantor kecamatan ditutup, dan aku hanya termenung di dalam rumah. Untung saja kamarku berada di lantai dua. Jadi, aku masih bisa terduduk dengan tenang menatap keadaan di luar melalui jendela.
Ah … aku jadi teringat perkataan Bapak bahwa tidak ada hari esok untuk takdir. Pikiranku pun mulai kalut. Aku beranjak pergi menemui Bapak yang sedang sibuk dengan korannya.
“Pak, kenapa Abang tidak pernah pulang ke rumah setelah merantau?” tanyaku pada Bapak karena abang memang tidak pernah pulang ke rumah setelah merantau.
Bapak hanya diam. Aku tidak tahu apa yang sedang Bapak pikirkan. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, aku pun kembali ke kamar.
Setelah dua hari mendekam di rumah, keadaan mulai kembali normal. Bapak pun kembali menyuruhku membuat KTP. Namun, seperti sebelumnya aku hanya menjawab bahwa masih ada hari esok.
Baca juga: Pendakian Pertama, Gunung Lawu
Keesokan harinya, aku akhirnya pergi ke kantor kecamatan untuk mengurus KTP. Dalam hati, aku berkata, “Benar, kan, kataku bahwa masih ada hari esok. Bapak saja yang terlalu terburu-buru dan tidak sabaran.”
Bapak itu keras kepala. Ia sering menyuruhku sesuka hatinya dan harus segera dikerjakan. Ia akan berkata, “Jangan ditunda! Tidak baik.”
Seperti hari ini. Aku sangat lelah sehabis pulang sekolah. Aku pun hanya ingin beristirahat. Namun, Bapak malah membangunkanku. “Bangun! Sudah jam lima. Setelah itu mandi dan makan. Bapak tunggu di meja makan.”
Aku membuka mata dan beranjak untuk mandi. Setelah itu, aku menemui Bapak yang sudah menunggu di meja makan. Tiba-tiba, Bapak berkata, “Abangmu tidak pernah pulang karena sibuk mencari uang dan senang-senang dengan uangnya.”
Benar, kan, kataku bahwa Bapak itu keras kepala. Bukankah itu hak Abang untuk menggunakan uang hasil kerja kerasnya.
“Uang dapat dicari, tapi kebahagiaan dengan keluarga tak selamanya bisa dirasakan,” katanya lagi.
“Uang memang dapat dicari, Pak, tapi susah juga mencari uang, sedangkan kebahagiaan keluarga mudah saja jika kita menginginkannya.”
“Memang begitu, tapi sulit untuk dipertahankan.”
Rasanya kepalaku ingin pecah. Uang, keluarga, dan kebahagiaan. Apa sebenarnya yang sedang diributkan oleh Bapak. Aku tak dapat memahami pikirannya hingga saat aku lulus kuliah dan berangkat merantau. Bapak menatapku biasa saja. Aku menjadi kesal. Apa Bapak tidak menyayangiku?
Saat merantau, aku jarang pulang ke rumah karena sibuk dengan pekerjaan dan teman-temanku. Lalu suatu hari, ada sebuah pesan masuk di layar ponselku. Pesan dari Bapak yang menyuruhku untuk pulang. Katanya, ada berkas yang harus diurus. Namun, aku membalasnya bahwa masih ada hari esok.
Aku menghubungi Abang untuk bertanya apakah ia juga dihubungi Bapak. Katanya, ia akan pulang besok pagi. Aku pun langsung memesan tiket untuk besok.
Baca juga: Perkara Harga Naik
Sesampainya di rumah, tak ada berkas yang harus diurus. Ternyata, Bapak hanya duduk di ruang tamu dengan secangkir kopinya. Aku dan Abang menatapnya sendu.
“Bapak kenapa?” tanyaku lemah.
“Bapak hanya kesepian. Kalian jarang pulang.”
Aku dan Abang hanya diam. Aku tidak tahu apa yang Abang pikirkan. Namun, aku masih mengingat bagaimana Bapak membicarakan tentang Abang.
“Kami merantau bukan hanya untuk bersenang-senang dengan uang kami, Pak. Kami benar-benar bekerja, sangat lelah setiap harinya. Malam nanti aku harus kembali, ada pekerjaan yang harus diurus,” kataku.
Namun, Abang yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba berdiri dari duduknya, lalu bersimpuh di depan Bapak, “Bapak, maaf telah membuatmu kecewa.” Abang terisak hingga membuatku terkejut.
“Abang kenapa?” tanyaku keheranan.
“Sudahlah, kita ini yang keras kepala bukan Bapak yang keras kepala. Bapak pasti sudah lelah menangis sepanjang malam memikirkan kita, tapi kita tidak pernah memikirkannya.. Abang baru sadar setelah melihat Bapak. Betapa berdosanya aku tidak pernah pulang kerumah untuk menengoknya. Benar kata Bapak, tidak ada hari esok. Jika ada kesempatan, harusnya aku segera pulang. Melihat Bapak mencari alasan agar kita pulang, hatiku merasa teriris,” katanya dengan menangis hebat.
Aku mematung. Aku tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. Bapak itu sudah lanjut usia. Ia pasti sering merasa kesepian. Setelah Ibu meninggal dan anak-anaknya merantau, Bapak hanya tinggal sendiri di rumah dan lebih banyak melamun
Abang benar, bukan Bapak yang keras kepala, tetapi kami yang keras kepala. Air mataku perlahan mulai jatuh. Aku bersimpuh di hadapannya. Namun, Bapak hanya berkata, “Tak apa jika kalian lelah, Bapak masih akan menunggu kalian pulang. Maaf telah merepotkan kalian. Ibu kalian juga sudah tidak ada, Bapak tidak ada teman mengobrol lagi. Sanak saudara juga jarang berkunjung karena jauh. Bapak hanya butuh kehadiran kalian karena kesepian.”
Setelah itu, tubuh Bapak mulai lemah. Aku dan abang terkejut kemudian memanggil tetangga untuk membawanya ke rumah sakit. Namun terlambat, Bapak sudah pergi saat masih berada di rumah. Aku dan Abang menangis serta berteriak tak henti-henti. Kami masih berharap Bapak bangun. Namun sayang, Bapak benar-benar pergi.
Lalu, tetangga mendekati kami dan menenangkan, serta mengatakan bahwa Bapak memang sedang sakit akhir-akhir ini. Katanya, Bapak sering bolak-balik rumah sakit untuk berobat. Aku semakin menangis tak karuan. Napasku tercekat dan duniaku terasa runtuh saat itu juga.
Benar kata Bapak bahwa tidak ada hari esok untuk takdir dan sulit mempertahankan kebahagiaan. Tenang di sana ya, Pak. Aku akan merindukanmu setiap detik dalam hidupku.
Editor: Iska Pebrina