Bagian 2
Akhir-akhir ini aku lebih sering menangis daripada tertawa sehingga tak fokus mendengarkan penjelasan dari dosen. Hani sempat memarahiku karena sering melamun saat di kelas.
“Lo kenapa, sih, sering banget ngelamun pas di kelas? Lagi ada masalah apa gimana?”
Aku pun mulai menceritakan apa yang kualami, tetapi tidak semua, apalagi bagian Ali yang kini sering bermain tangan padaku. Aku tak mau membuat Hani khawatir. Biarlah itu menjadi rahasiaku setidaknya untuk saat ini.
“Semenjak pacaran, lu jadi berubah tahu, nggak? Bahkan, kita yang dulu sering keluar bareng, sekarang jadi jarang banget. Tahu gitu, gue tentang hubungan kalian sampai akhir,” ucapnya menggebu-gebu.
Memang dari awal saat aku memperkenalkan Ali, Hani tak menyetujuinya. Dia merasa kurang percaya dengan Ali yang tiba-tiba menyatakan perasaannya. Padahal, kami belum kenal lebih dari satu bulan, tapi Hani berkata aura Ali itu gelap. Entahlah, sahabatku ini memang agak unik.
Namun, aku terus meyakinkannya bahwa aku akan bahagia sehingga mau tak mau Hani menyetujuinya. Aku dan Hani memang mempunyai janji untuk mengenalkan orang yang akan menjadi pasangan kami nantinya. Selain itu, kami juga harus mendapat persetujuan satu sama lain sebelum akhirnya memutuskan untuk berpacaran atau lanjut ke jenjang yang lebih serius.
Mungkin ini terdengar agak berlebihan, tetapi hanya Hani keluargaku satu-satunya karena orang tuaku sudah tidak ada saat umurku 11 tahun. Saat itu, hanya Hani yang selalu ada di sampingku untuk menghiburku. Bahkan, ayah dan ibu Hani sudah seperti orang tua keduaku.
“Apa perlu gue tegur dia?!” Aku menggelengkan kepala. Jika Hani menegurnya, semua akan menjadi lebih kacau.
“Nggak usah, Han. Gue bisa tangani ini sendiri.” Aku mencoba menenangkannya agar dia tak gegabah dan memarahi Ali.
Aku ingat betul, sehari setelah kami berbaikan, Ali berkata untuk berubah dan tak akan memukulku lagi. Jadi, aku putuskan untuk memberikannya kesempatan kedua dan berharap dia membuktikan ucapannya. Aku masih yakin, cinta dapat mengubah sikapnya.
Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Pada kenyataannya, Ali tak pernah berubah. Saat mengetahui aku bertukar pesan dengan Kak Tio, dia kembali memukul dan menamparku hingga sudut bibirku berdarah.
Tak segan, dia menuduhku berselingkuh tanpa bertanya atau memberikan waktu untuk menjelaskan alasan mengapa aku bertukar pesan dengannya. Padahal, Kak Tio sedang bertanya mengenai tugas yang diberikan oleh dosen karena kebetulan kami mengambil kelas yang sama.
“Kamu tahu, ‘kan, aku nggak suka kamu berhubungan sama cowok lain. Kenapa kamu malah chat-an sama dia? Jangan-jangan kamu beneran selingkuh dari aku. Murahan!” Ali langsung meninggalkanku saat itu juga setelah puas memukul dan memakiku.
Aku meremas dadaku yang terasa sakit. Bahkan, rasa sakit di pipi dan sudut bibirku tak berarti apa-apa. Aku tak bisa melawan semua perlakuannya padaku. Bukan, bukannya aku tak bisa, hanya saja aku lebih memilih untuk tidak melakukannya. Ini semua juga demi keselamatanku karena pernah sekali aku melawannya, tapi yang terjadi malah lebih buruk dari sekarang.
Kali ini, sungguh aku tidak tahan. Bukan hanya fisikku yang sakit, batinku juga. Aku ingin berpisah dengannya, tapi aku masih belum memiliki keberanian. Semenjak hari ketika dia menyayat pergelangan tangannya di depanku, dia selalu mengancam untuk menyakiti dirinya sendiri jika aku ingin mengakhiri hubungan kami.
***
Baca juga: Cerbung: Semua Pantas Dirayakan
“Tere! Bibir lo luka, pipi lu juga kenapa memar? Siapa yang ngelakuin ini, Re?” Aku merasakan amarah Hani di setiap pertanyaan yang dia lontarkan.
Mungkin ini sudah waktunya untuk memberitahu apa yang terjadi pada hubunganku dan Ali yang sebenarnya. Aku tak bisa menyembunyikannya lagi, apalagi Hani sudah melihat luka itu dengan mata kepalanya sendiri.
Setelah menceritakan semuanya, Hani tak memarahiku sama sekali. Ini sangat berbeda dengan apa yang aku bayangkan, aku kira dia akan marah besar padaku.
“Re, gue nggak tahu lo ngelewatin semua ini sendiri. Gue minta maaf karena nggak bisa jadi sahabat yang jagain lo.”
Tidak, Hani tidak salah sama sekali. Aku ingin menyangkalnya, tetapi Hani kembali berbicara, “Inget, Re, lo nggak sendiri. Ada gue, nyokap, dan bokap yang akan selalu ada buat lo. Jadi, jangan pernah memendam semuanya sendirian.”
Aku langsung memeluk Hani dan menangis. Bagaimana bisa aku lupa jika dia adalah sahabatku yang paling berharga dan selalu ada di saat suka maupun duka. Bagaimana aku bisa melupakan eksistensinya hanya karena lelaki seperti Ali. Ya, semenjak berpacaran dengannya aku mulai jarang bermain dengan Hani. Kata Ali, Hani membawa pengaruh buruk bagi hubungan kami. Memang benar kata orang, cinta terkadang membuatmu kehilangan akal sehat.
Jika ditanya apakah aku masih mencintainya, maka jawabannya iya. Namun, jika cinta itu membuatmu terluka, bukankah lebih baik untuk merelakannya? Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk bangkit dari keterpurukanku dan mencari cara agar bisa terlepas dari Ali.
Saat ini, langkah pertama yang akan kulakukan adalah mencari mantannya, Nesa, untuk memastikan sesuatu yang menurutku janggal. Dulu aku memang selalu menyangkalnya karena aku terlalu memercayai Ali.
Dua hari kemudian, setelah aku berhasil menghubungi Nesa lewat DM Instagram, kami memutuskan untuk bertemu di kafe dekat kampusku. Setibanya di kafe, aku langsung menghampirinya. Ternyata dia tak sendirian dan bersama dengan seorang lelaki yang kuyakini kekasih sekaligus sahabat Ali.
“Nesa, maaf terlambat. Padahal gue yang bikin janji.”
“It’s okay, gue juga belum lama, kok, di sini. Oh, iya, sorry gue bawa pacar, dia agak posesif kalau bersangkutan sama Ali,” jelas Nesa padaku yang mungkin tampak kaget.
“Kenalin gue Gama, pacar Nesa.”
“Gue Tere. Oh, iya, lo sahabat Ali?” Aku membalas uluran tangan Gama untuk berjabat tangan dan bertanya secara hati-hati.
“Mantan sahabat,” koreksinya cepat.
“Oh, gitu. Nesa, seperti yang gue bilang di DM, gue mau tanya tentang Ali dan hubungan kalian sebelumnya. Maaf kalau ini terdengar lancang, tapi gue perlu tahu.”
Nesa memperhatikanku sebelum menjawab pertanyaanku. Lalu, dia mulai menceritakan bagaimana hubungan mereka. Nesa berkata bahwa mereka adalah teman sekelas saat SMA dan mulai berpacaran saat kelas 11.
Awalnya, semua tampak berjalan seperti layaknya sepasang kekasih, dia bahagia dengan semua perlakuan Ali. Namun, beberapa bulan setelahnya, lelaki itu mulai menunjukkan sifat tempramentalnya dan mulai melarang Nesa melakukan banyak hal. Nesa yang sudah tak kuat memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, tapi Ali selalu mengancam akan menyakiti dirinya sendiri.
Bahkan, Nesa pernah depresi karena masalah itu hingga Gama turun tangan karena merasa Ali sudah keterlaluan. Gama berkata bahwa Ali tidak akan senekat itu, dia kenal betul bagaimana Ali. Mungkin dia akan menyayat pergelangan tangan atau melukai tangannya dengan cara lain, tetapi dia tak akan berani untuk membahayakan dirinya lebih jauh.
Kenyataannya, Ali itu takut mati. Semua ancamannya hanya untuk menakuti orang-orang terdekat agar tidak meninggalkannya. Tanpa Ali sadari, ancaman tersebut justru membuat orang-orang takut dan memilih untuk meninggalkannya. Lalu masalah tentang mereka yang berpacaran, ternyata itu terjadi setelah enam bulan Nesa dan Ali putus, saat Nesa sudah sembuh dari depresinya.
Aku tercengang setelah mendengar cerita Nesa secara keseluruhan. Dulu mungkin aku tak akan percaya dengan apa yang dikatakan perempuan itu. Namun, setelah mengalaminya sendiri, aku tak punya pilihan selain memercayainya. Aku juga merasa prihatin atas apa yang pernah menimpa perempuan di depanku.
“Tere, gue nggak tahu Ali udah berubah atau belum. Tapi kalau dia masih suka main tangan, lo jangan ragu buat tinggalin dia. Gue tahu ini lancang, tapi lo juga berhak bahagia, Re,”
Nesa menggenggam tanganku, seperti hendak menyalurkan kekuatan padaku.
“Gue tahu memang susah buat keluar dari hubungan yang toxic, tapi gue yakin lo bisa. Jangan pernah takut sama ancaman Ali, Re. Gue sama Gama bakal bantu lu juga, kok.”
Kini aku menyadari, aku benar-benar bodoh karena membiarkan Ali terus menyakitiku berulang kali. Apa yang dikatakan Nesa benar, aku berhak bahagia dan sekarang tekadku sudah bulat untuk mengakhiri hubungan toxic ini.
Baca juga: Cerbung: Semua Pantas Dirayakan Bagian 2
Malamnya, aku meminta Ali untuk bertemu di apartemen. Saat dia sudah sampai, dia hendak mengecup keningku, tapi aku berhasil menghindarinya dan langsung menuju dapur untuk mengambilkannya minum. Lalu, aku menuju ke sofa tempat dia duduk.
“Aku mau putus, kali ini keputusanku sudah bulat.”
Ali bangkit dari duduknya, mengangkat tangan dan akan segera melayangkannya tepat di pipiku. Aku akan membiarkannya untuk yang terakhir kali. Akan tetapi, dia justru mencengkeram pergelangan tanganku hingga memerah dan mulai mencekikku. Ini benar-benar di luar dugaan, aku tak menyangka jika Ali akan melakukan hal seperti ini hingga saat aku mulai kehabisan napas, Hani, Nesa, dan Gama datang untuk menghentikan Ali.
Lelaki itu terkejut bukan main saat melihat mantan sahabat, mantan kekasihnya, dan sahabatku berada di sini.
“Astaga, Tere!” pekik Hani dan Tere secara bersamaan saat melihatku terengah-engah.
“Gue nggak apa-apa, kok. Kalian tenang aja.”
Setelah merasa lebih baik, Aku berjalan menuju ke tempat Ali yang sudah diamankan oleh Gama. Kemudian, aku berbicara padanya, “Aku sudah bilang, ‘kan, aku mau putus. Dan ini adalah terakhir kalinya kamu bisa nyakitin aku. Sampai jumpa di kantor polisi. Aku akan melaporkan kamu atas tuduhan tindak kekerasan. Oh, iya, say hello to the camera.” Aku menunjukkan kamera CCTV yang berada di dekat televisi.
Sekarang aku bisa menatap Ali dengan berani. Aku memang sudah merencanakan ini semua. Tadi sebelum Ali datang, aku juga meminta Hani, Nesa, dan Gama datang ke apartemen dan menyuruh mereka bersembunyi. Selain itu, aku meminta agar mereka tidak keluar jika Ali memukulku karena itu akan menjadi bukti kuat agar aku bisa melaporkannya ke polisi.
Namun, aku berpesan jika Ali sudah bertindak di luar batas atau mengancam nyawaku, aku meminta mereka untuk mencegahnya. Mendengar penjelasanku, Ali terlihat sangat marah, dia bahkan keluar dari apartemenku tanpa sepatah kata pun. Tak ada lagi ancaman yang keluar dari mulutnya.
Melihat Ali pergi, aku runtuh seketika. Aku menangis sejadi-jadinya dan menyalahkan diriku sendiri. Rasa sayang yang pernah kurasakan pada Ali, seharusnya rasa itu tak ada. Aku juga mulai berandai-andai, andai aku tak suka padanya, andai aku tak memulai hubungan dengannya. Mungkin aku tak akan mengalami hal seperti ini, mungkin aku bahagia meskipun aku sendiri. Masih banyak kata andai yang bersarang di kepalaku saat ini.
Namun, siklus cinta memang begitu, ‘kan? Ada kalanya kita bahagia dan ada kalanya kita mengalami luka. Sekarang, aku tengah mengalami siklus kedua, yaitu terluka.
Di balik ini semua, aku juga bersyukur karena mempunyai sahabat sebaik Hani dan mempunyai dua teman baru. Kali ini, aku berjanji untuk lebih menghargai diriku sendiri karena aku juga berharga dan pantas untuk bahagia.
Yang terpenting saat ini, aku harus bangga pada diriku sendiri karena sudah mampu keluar dari hubunganku yang toxic. Kuharap orang lain yang masih terjebak dalam hubungan tak sehat bisa segera sadar dan mengakhirinya. Karena luka yang terus ditimbun dengan alasan cinta, akan membuat seseorang lupa bahwa dirinya sangat berharga.
Editor: Iska Pebrina