Seberkas Senja dari Cangkir

ilustrasi seberkas senja dari cangkis
Sumber: canva.com

Penulis: Aryasuta Rajendra

Hujan rintik mengetuk lembut atap kedai kopi, menghasilkan melodi monoton yang hanya Danil dengar dalam kesunyian sore itu. Di tangannya, biji-biji kopi Arabika Gayo bergulir seperti kelereng cokelat yang mencoba kabur. Dulu, kesalahan sekecil ini—biji kopi yang tercecer—akan memaksanya mengulang seluruh proses. Sekarang, ia hanya menatap biji-biji yang jatuh ke lantai kayu, membiarkannya seperti mimpi yang tak terwujud.

Pelanggan terakhir—pria berambut uban dengan novel Kawabata di tangan—tetap duduk di sudut, seolah waktu tak menyentuhnya. Cangkir kopinya telah lama dingin, seperti harapan yang pupus. Danil tak ingat lelaki itu pernah berbicara selain memesan “kopi hitam, tanpa gula” setiap sore.

Sudah tiga bulan, dua minggu, empat hari sejak Tata menghilang. Danil menghitung setiap hari seperti barista yang memperhatikan derajat penggilingan. Ia mencoba mengendalikan waktu, membaginya menjadi unit-unit kecil yang bisa ia pahami.

“Mas, apa mau ditutup sekarang?” tanya Ray, barista muda dengan tato kopi di pergelangan tangan.

 Ia pindah dari Jakarta tiga bulan lalu, mengatakan ingin “menemukan ketenangan” di Kediri. Danil tak pernah bertanya alasan pastinya.

“Masih ada satu jam lagi,” jawab Danil, suaranya serak seperti mesin penggiling yang butuh perawatan.

Cahaya senja membelah ruangan, membentuk pola geometris di atas buku kas. Debu menari dalam berkas cahaya, seperti kenangan yang berputar di benaknya. Danil menatap angka-angka yang makin mengecil dari bulan ke bulan, spiral penurunan yang bermula tepat saat Tata lenyap. 

Jemarinya membalik halaman dengan letih ketika selembar kertas terselip dan melayang turun. Itu adalah sketsa seorang perempuan dengan cangkir kopi—garis-garis pensil yang begitu hidup hingga Danil bisa merasakan wanginya. Di sudut bawah, tulisan tangan yang ia kenal: “Untuk yang selalu mencari kesempurnaan dalam setiap tegukan. -L.”

L? Tata tak pernah menandatangani apapun dengan L. Ia selalu menggunakan nama lengkapnya, atau inisial T.L. Danil mengangkat kertas itu ke arah cahaya, mencari jejak Tata di setiap sudut.

“Kamu menemukan apa?” Ray mendekat, mengintip dari balik bahu.

“Hanya kenangan,” ujar Danil sambil melipat sketsa dan memasukkannya ke saku kemeja. Ia menutup buku kas, lalu berjalan ke jendela.

Di luar, Kediri berubah menjadi lautan tembaga cair. Bangunan-bangunan tua bermandikan cahaya senja, jalanan dipenuhi orang-orang pulang kerja. Entah bagaimana, senja di kota kecil ini selalu terasa berbeda—lebih intim, lebih sendu.

Danil membalik sketsa dan menemukan tulisan kecil di baliknya: Studio Kanvas, Gang Harapan No. 21.

“Kamu terlalu perfeksionis, Dan,” ujar Tata suatu pagi, jemarinya yang bernoda cat menyentuh tangan Danil yang sedang menimbang kopi. “Kopi bukan matematika. Ada ruang untuk interpretasi, untuk kesalahan.”

Danil menunduk, memperhatikan timbangan digital. “Kopi itu keseimbangan, Ta. Satu gram terlalu banyak atau sedikit, rasanya berubah.”

“Seperti hubungan kita?” tanya Tata, matanya mengawang ke luar jendela, ke burung-burung gereja yang berkumpul di kabel listrik.

“Tidak,” jawab Danil, mencium keningnya yang berbau cat minyak. “Hubungan kita tidak perlu sempurna. Kita saling melengkapi, saling menutupi kekurangan.”

Tata tersenyum, tapi matanya tidak. Danil terlalu sibuk menghitung gram kopi untuk menyadarinya.

Pagi berikutnya, Danil berdiri di depan cermin kamar mandi. Hari itu terasa aneh, seperti berdiri di jurang delusi. Ia hampir yakin bayangan di cermin bukanlah dirinya, tapi seseorang yang mengenakan wajahnya—seseorang yang telah kehilangan arah.

Sketsa itu tergeletak di samping wastafel, berlumuran tetesan air. Garis-garis pensil tampak lebih jelas di bawah cahaya lampu, seolah Tata sedang berbicara darinya.

“Studio Kanvas,” bisik Danil. “Mengapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku, Ta?”

Ia menyelesaikan ritual paginya—berpakaian, merapikan rambut, menyeduh kopi V60. Namun kopi pagi ini terasa hambar, seperti menelan bayangan.

Baca juga: Jemaat Ruang Tamu

Kedai masih tutup ketika ia melangkah keluar. Matahari belum sepenuhnya naik, jalanan Kediri masih separuh bermimpi. Pedagang kaki lima baru mulai membuka lapak, aroma nasi pecel dan soto ayam memenuhi udara. Danil menelpon Ray.

“Aku tidak bisa membuka kedai hari ini,” katanya tanpa basa-basi. “Bisa kau handle? Ada… sesuatu yang harus kuselesaikan.”

“Tentu, Mas,” jawab Ray tanpa bertanya. Danil bersyukur karena hal tersebut.

Gang Harapan terletak di bagian kota lama, di mana bangunan-bangunan kolonial berdiri seperti kenangan yang menolak dilupakan. Dinding-dindingnya mengelupas, catnya pudar, tapi arsitekturnya masih memancarkan keanggunan masa lalu. Danil berjalan perlahan, setiap langkahnya berat seperti mesin espreso tua.

Studio Kanvas ternyata sebuah bangunan dua lantai dengan cat putih mengelupas dan pintu kayu usang. Jendela-jendelanya tinggi dan sempit, seperti mata yang mengintip ke masa lalu.

Danil berdiri di depan pintu beberapa menit sebelum akhirnya mengetuk. Jantungnya berdebar, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan ditemukan.

Pintu dibuka oleh seorang lelaki tua berkacamata bulat. Posturnya tegap, kontras dengan umurnya yang mungkin sudah memasuki awal tujuh puluhan. Ia mengenakan kemeja putih dengan noda cat minyak di lengannya.

“Studio tutup untuk umum hari ini,” katanya, suaranya dalam dan bergema.

“Saya mencari Tata,” ujar Danil, mengeluarkan sketsa dari sakunya. “Saya… Danil.”

Mata lelaki tua itu melebar sedikit. “Ah,” katanya seperti menemukan keping puzzle yang hilang. Ia membuka pintu lebih lebar. “Aku Abu. Masuk.”

Interior studio itu seperti dunia lain—dinding dipenuhi kanvas berbagai ukuran, sebagian selesai, sebagian baru dimulai. Lukisan-lukisan menggambarkan berbagai objek, dari potret hingga lanskap, semuanya dengan gaya unik dan ekspresif. Bau turpentine, minyak, dan kayu tua bercampur menjadi aroma yang aneh.

“Tata sering melukismu,” kata Pak Abu, berjalan di antara kanvas. “Matamu sangat khas, katanya. Mata yang selalu mencari presisi dalam dunia yang tidak presisi.”

“Anda tahu di mana dia sekarang?” tanya Danil, perutnya terasa diaduk.

Pak Abu berhenti di depan sebuah lukisan yang tertutup kain. “Dia mendapat beasiswa ke Institut Seni Yogyakarta. Aku mendorongnya untuk menerima. Dia berbakat.” Ia menatap Danil dengan tatapan penuh kesedihan dan pengertian. “Tapi seharusnya dia memberitahumu.”

“Kenapa dia tidak memberitahu saya?”

“Bukan aku yang bisa menjawab pertanyaanmu.” Pak Abu menarik laci meja kerjanya dan mengeluarkan map cokelat. “Sebelum pergi, dia meninggalkan ini untukmu.”

Danil menerima map itu dengan tangan gemetar. Map itu terasa dingin.

“Bawa ke taman belakang,” kata Pak Abu. “Cahayanya lebih baik untuk membaca.”

Taman belakang adalah ruang kecil yang hampir seluruhnya tertutup tanaman. Pohon jambu biji, bunga melati, dan tanaman rambat menciptakan suasana teduh dan damai. Sebuah kursi kayu tua berada di bawah pohon jambu. Danil duduk, membuka map dengan perasaan tak terdefinisi.

Di dalamnya adalah sketsa-sketsa dirinya dan kedai—saat menggerus kopi, membersihkan mesin, dan menatap hujan dari jendela. Sketsa-sketsa itu begitu detail dan hidup, seolah Tata telah mengabadikan setiap momen. Dan sebuah surat.

Danil yang tak pernah lelah mencintaiku,

Aku mendapat beasiswa yang sudah kuimpikan sejak lama. Aku tidak bilang karena kamu akan memintaku tinggal, dan aku terlalu lemah untuk menolak.

Namun, ada alasan lain yang lebih berat. Dokter mengatakan ada tumor di rahimku. Masih tahap awal, masih bisa diobati. Tapi aku tidak ingin kamu melihatku seperti itu. Tidak seperti bagaimana kamu melihat ibumu dulu.

Kamu pernah berkata bahwa cangkir yang retak masih bisa menampung kopi, tapi tidak akan sama lagi. Aku takut kamu akan memandangku seperti cangkir retak itu.

Maafkan aku, Danil. Aku memilih pergi dengan caraku sendiri.

Aku yang berusaha terus mencintaimu, selalu, Tata

Danil membaca surat itu tiga kali. Kata-kata masuk ke pikirannya seperti air meresap ke kertas—perlahan, tak terelakkan, dan terukir di kepalanya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi surat.

Ia mendongak dan melihat Pak Abu berdiri di ambang pintu, mengawasinya.

“Dia tidak ingin kamu tahu,” kata Pak Abu.

“Kenapa?” tanya Danil, suaranya pecah seperti cangkir yang jatuh.

“Ketakutan bukan seekor binatang yang rasional, Danil. Dia melihat bagaimana kamu hancur ketika ibumu sakit. Dia tidak ingin jadi sumber kehancuranmu yang kedua.” Pak Abu duduk di sampingnya. “Dan Tata, dia selalu melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri. Keras kepala. Seperti seniman pada umumnya.”

“Saya harus ke Yogyakarta.”

“Jika kamu mencarinya di ISI, kamu tidak akan menemukannya.”

“Apa maksud Anda?”

“Dia tidak segera berangkat setelah menerima beasiswa. Dia tinggal di Surabaya dulu, menjalani pengobatan. Terakhir aku dengar, dia akan pindah ke Yogyakarta bulan ini.”

“Anda punya alamatnya di Surabaya?”

“Tidak.” Pak Abu menggeleng. “Tapi aku punya sesuatu yang mungkin membantumu.”

Ia memberikan sebuah kartu nama, dr. Karina, Spesialis Onkologi, RS Harapan, Surabaya.

“Dokternya.”

Danil menatap kartu itu, kemudian sketsa Tata yang kini terlihat berbeda—bukan lagi sekadar garis-garis pensil, tapi jejak dari kehidupan yang berusaha mengabadikan momen sebelum menghilang.

“Kamu tidak bisa terus seperti ini,” kata Pak Bayu, ayah Danil. Mereka duduk berhadapan di kafe dekat stasiun Kediri. Tiga tahun sejak terakhir kali mereka berbicara—sejak pemakaman ibu Danil.

“Bagaimana Ayah bisa tahu cara yang benar untuk menjalani hidup?” balas Danil, menatap kopinya. “Ayah yang pergi saat Ibu sekarat.” Lidahnya terasa pahit, dan bukan karena kopi.

“Iya. Aku lari.” Pak Bayu menghela napas, jari-jarinya yang keriput memutar cangkir. “Dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Setiap malam aku bermimpi tentang ibumu. Kadang dia tersenyum, kadang menangis. Tapi dia selalu sendirian.”

Keheningan menggantung di antara mereka, padat seperti kabut pagi di kebun kopi.

“Aku tidak meninggalkan siapapun,” bantah Danil akhirnya.

“Tidak secara fisik. Tapi kamu lari dari kenyataan, sama seperti aku dulu.” Pak Bayu menatapnya, matanya adalah cermin masa depan yang Danil takutkan. 

“Aku tidak tahu di mana dia sekarang,” balas Danil, menatap kereta dari Surabaya.

“Kamu punya petunjuk. Itu lebih dari yang kumiliki dulu.” Pak Bayu meletakkan tangannya di atas tangan Danil. “Jangan ulangi kesalahanku, Nak.”

Rumah Sakit Harapan di Surabaya adalah labirin putih yang menekan. Danil berjalan menyusuri koridor-koridor yang identik, mencari ruangan dr. Karina.

“Saya tidak bisa memberikan informasi pasien,” kata dr. Karina setelah Danil menjelaskan maksud kedatangannya. “Itu melanggar etika kedokteran.”

“Saya hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja,” pinta Danil.

Dr. Karina, perempuan mungil dengan rambut digelung rapi, menatapnya. “Saya tidak bisa membicarakan kondisi pasien tertentu. Tapi…” ia berhenti sejenak, “saya bisa mengatakan bahwa pasien dengan kondisi seperti yang Anda gambarkan umumnya memiliki prognosis baik.”

“Jadi dia akan baik-baik saja?”

“Saya tidak mengatakan itu.” Dr. Karina melepas kacamatanya. “Tapi yang bisa saya katakan adalah, dia bukan lagi pasien di rumah sakit ini. Dia dirujuk ke Yogyakarta bulan lalu.”

Danil merasa jantungnya melewatkan satu detak.

“Apakah itu berarti kondisinya memburuk?”

Dr. Karina tersenyum tipis. “Tidak selalu. Terkadang pasien pindah karena alasan pribadi. Atau untuk melanjutkan pengobatan di tempat yang lebih dekat dengan… aktivitas mereka yang lain.”

Danil mengerti bahwa dr. Karina memberikan informasi sebanyak yang ia bisa tanpa melanggar etika profesinya.

“Terima kasih, Dokter.”

Sebelum Danil mencapai pintu, dr. Karina berkata, “Ada pameran seni di Galeri Titik Temu, Yogyakarta, minggu depan. Saya dengar lukisan-lukisan tentang kopi akan dipamerkan di sana.”

Danil berhenti, tapi tidak berbalik. “Saya akan mencatatnya.”

Kembali ke Kediri, Danil merasa seperti pria yang berbeda. Sesuatu telah berubah dalam dirinya, seperti kopi yang terfermentasi—masih sama, tapi dengan profil rasa yang berbeda.

Kedai tampak berbeda ketika ia kembali. Lebih hidup. Ray telah menambahkan tanaman kecil di setiap meja, dan alunan musik jaz pelan mengisi ruangan.

“Mas Danil!” sambut Ray dengan senyum lebar. “Bagaimana perjalanannya?”

Danil tidak ingat pernah mengatakan ia akan bepergian.

“Kamu terlihat… berbeda hari ini,” kata Ani, pelanggan tetap yang selalu memesan kapucino tanpa gula. Ia selalu duduk di dekat jendela, selalu dengan buku berbeda tiap kali datang.

“Aku mencari seseorang,” jawab Danil, mulai membersihkan mesin espreso.

“Pacarmu?” tanya Ani langsung, menutup bukunya. Hari ini, Danil melihat, dia membaca Murakami.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Kedai kecil, gosip besar.” Ani tersenyum. “Dan lukisan itu.” Ia menunjuk ke sudut ruangan, tempat lukisan wajah Tata masih tergantung.

“Aku harus ke Yogyakarta,” kata Danil.

Mata Ani melebar. “Pameran seniman muda minggu depan? Aku tahu pameran itu. Temanku salah satu kuratornya.”

“Apa kamu tahu siapa yang akan pamer di sana?”

“Ada banyak seniman,” ujar Ani sambil meletakkan cangkirnya. “Tapi ada satu yang karyanya tentang kopi. Namanya…” ia mengambil ponselnya, “Tata Lestari.”

Jantung Danil seperti berhenti.

“Aku mengikuti karyanya di Instagram,” kata Ani, menunjukkan layar ponselnya. Di sana, akun “Kanvas_Tata” menampilkan puluhan lukisan kopi. Dan di foto paling baru, seorang perempuan dengan rambut lebih pendek, tersenyum lemah di depan sebuah galeri.

“Pameran solo pertamanya,” kata Ani. “Dia… berbakat.”

Danil menatap foto itu. Tata terlihat lebih kurus, lebih pucat, tapi matanya—matanya masih sama, masih menyimpan seluruh dunia di dalamnya.

“Kamu harus pergi,” kata Ani.

“Aku tidak yakin dia ingin melihatku.”

“Dia melukismu,” kata Ani, menunjuk foto lain—sebuah lukisan seorang lelaki yang sedang menyeduh kopi. “Orang tidak melukis sesuatu yang ingin mereka lupakan.”

Yogyakarta di musim hujan selalu indah dengan cara yang melankolis. Kota yang selalu terasa setengah bermimpi ini tampak lebih hidup di bawah tetesan air.

Baca juga: Dalam Keheningan yang Dilabuhkan

Danil berdiri di depan Galeri Titik Temu, payung hitamnya melindungi dari hujan yang jatuh seperti kenangan yang tak ingin pergi. Galeri itu ramai, orang-orang berlalu lalang dengan gelas wine, membahas lukisan dengan istilah-istilah yang tak sepenuhnya Danil pahami.

Di dalam, lukisan-lukisan Tata disusun dalam sebuah kisah visual—dimulai dengan lanskap Kediri dari sudut kedai mereka, berlanjut ke sketsa-sketsa kopi, dan berakhir dengan serangkaian lukisan abstrak yang Danil yakin mewakili perjalanan Tata menghadapi penyakitnya.

“Kamu datang.” Sebuah suara mengejutkannya.

Danil berbalik dan menemukan Tata berdiri di sana. Rambutnya kini pendek, hampir pixie cut, membuatnya terlihat lebih rapuh, tapi juga lebih kuat. Tubuhnya lebih kurus, tapi posturnya tegak.

“Apa kamu tahu aku akan datang?” tanya Danil, suaranya hampir pecah.

“Aku selalu tahu,” jawab Tata, tersenyum tipis. “Ani mengirim pesan.”

“Ani?”

“Sepupuku. Dia mengawasimu sejak aku pergi.”

“Kenapa kamu tidak bilang?” tanya Danil akhirnya.

“Tentang beasiswa, atau tentang tumorku?”

“Keduanya.”

Tata menoleh ke arah lukisan terakhir dalam serinya—sebuah lukisan abstrak dengan warna merah tua yang menyebar seperti kopi yang tumpah di atas kanvas putih.

“Lukisan itu kuberi judul ‘Ketidaksempurnaan’,” kata Tata. “Terinspirasi darimu.”

“Dariku?”

“Kamu selalu mencari kesempurnaan dalam kopi, Dan. Tapi kopi pada dasarnya adalah ketidaksempurnaan—sejuta variabel yang tidak bisa sepenuhnya dikontrol. Dan itulah yang membuatnya indah.” Tata menghela napas. “Aku takut kamu akan memandangku seperti cangkir retak itu. Sesuatu yang perlu diperbaiki, yang tidak lagi sempurna.”

Mereka berjalan keluar dari galeri, di bawah payung yang sama, hujan masih turun dengan ritme yang ringan.

“Aku melihat ibumu menderita,” lanjut Tata. “Melihat bagaimana kamu berusaha memperbaiki segalanya. Aku tidak ingin kamu menatapku seperti itu.”

Danil berhenti melangkah, air hujan membasahi bahunya. “Tapi aku tidak seperti itu lagi, Tata. Aku telah belajar. Dari ketidakhadiranmu, dari ayahku, dan dari kopi yang kutuang setiap hari.”

Tata menatapnya, mata itu masih sama—mata yang selalu Danil cari di setiap sudut kedai, di setiap cangkir kopi yang ia seduh.

“Bagaimana dengan tumormu?” tanya Danil akhirnya, pertanyaan yang selalu ia takuti jawabannya.

“Remisi,” jawab Tata. “Bukan kesembuhan total, tapi…” Ia tersenyum, senyum pertama yang mencapai matanya, “cukup untuk terus melukis. Cukup untuk terus hidup.”

Hujan semakin deras, tapi mereka tetap berdiri di sana, di bawah payung yang terlalu kecil untuk dua orang.

“Pulang denganku,” kata Danil. “Ke Kediri.”

“Aku punya pameran di Jogja hingga bulan depan. Dan pengobatan…”

“Aku bisa menunggu,” potong Danil. “Aku akan menunggu.”

Tata menatapnya, seolah mencari keraguan di matanya. “Kopi kesukaanku masih ada?”

“Selalu,” jawab Danil. “Aku masih menyimpan biji Arabika Gayo itu.”

“Dan cangkirku?”

“Cangkir paling spesial,” Danil menggenggam tangannya. “Cangkir favorit yang dipakai berulang kali sampai karakter pemiliknya menjadi objek itu sendiri.”

Tata tersenyum, dan kali ini senyum itu mencapai matanya, mencapai hatinya. Di belakang mereka, seberkas senja menembus awan hujan, menyinari Yogyakarta dengan cahaya keemasan seperti cinta yang bertahan meski tidak sempurna.

Editor: Kru BiSa

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *