Penulis: Muqsid Mahfudz
Kronologi Kehancuran
Konon, ada makhluk yang sengaja dicipta
Sebagai penyempurna manusia
Mereka lebih dekat dari hidung
Dan silih diantara detak jantung
Meski halus,mereka seperti kita
Akrab dengan benda-benda di kepala
Tepat ketika sepilihan emosi
Dan kegagalan bertamu
Mereka akan menulis sesuatu
Kemudian terjadilah perang
Antara sabda Tuhan dan kebutuhan
Makhluk itu akan membaca
“Tak seperti Adam dan Hawa,
mereka lebih mudah teperdaya”
Pamekasan, 2024
Uang dan Tualang
Kudengar dari para petualang
‘Hidup lebih keropos dari tulang’
Manusia membantingnya pada uang
Berulang-ulang, hingga telanjang
Seperti binatang
‘Mereka berpetualang sambil telanjang’
Bebas, liar, dan berbenturan
Di keharibaan barang-barang
Tulang hanyalah sepotong uang
Sarang, 2021
Anu yang Lugu dan Lucu
Indonesia membaca ‘anu’
Sebagai kata ganti yang lugu dan lucu
Dimana percakapan biasa jengkel
Kemudian rancu akan membawa makna ‘cerna!’
Hingga suasana menjadi dingin di kepala
Tepat saat dada menyentuh hati
Lebih dulu ketimbang dera
Pasalnya, ‘anu’ selalu tiba
Di waktu lupa, dan groginya suasana
Di saat itu, ‘anu’ bisa dimangsa
Oleh siapapun yang menghamba
Pada kesenangannya
Sarang, 2023
Semenjak Agama Menjadi Kita
Semenjak Agama menjadi kita
Diplomasi seperti bom
Yang meledak sana-sini
Adaptasi makin birahi
Semenjak Agama menjadi kita
Bunyi kitab suci saling mendahului
Diantara bunyi perut dan kaki
Semenjak agama menjadi kita
Makin dipeluk, makin membekuk
Sarang, 2022
Ritual Kelabu
Sebab ketulusanlah, satu-satunya rasa yang ditabalkan Baginda
Meski ia terus menyusut di antara jampi-jampi dunia
Aku mulasi tuntutan atas nama kebiasaan
Harmoni bergeltung dan dipasung pada cincin emas
Yang melingkar dari sejarah manusia yang pura-pura
Dimana ketulusan, akan dirajam harta-harta
Sungguh telah bejibun puisi: gita puji
Dilagukan dari nafas dan keringatnya
Namun makna masih saja tanda tanya
Di sepanjang surga, di tangan manusia
Seorang melarat hanya bisa berhasrat
Dalam lilitan masyarakat yang semuci konglomerat
Gengsi, teror psikologi yang laris dikonsumsi
Kemewahan mengalir deras di teras-teras
Di atas piring dan gelas, Hanya untuk selaras
Lantas, telah kau bunuh rasa percaya diri
Tak kau sisakan ia bernafas untuk sekedar berucap
“bahwa tembang-tembang saja masih cukup dan pantas”
Menjadi ragam cara ungkap rindu yang syahdu membatin
“Aku Rindu Muhammadku”
Sarang, 2022
Editor: Kru BiSa