BILIK SASTRA – Akhir-akhir ini, istilah FOMO (Fear Of Missing Out) sedang trending di media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan TikTok. FOMO bukanlah istilah baru. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2004 dan semakin sering digunakan sejak tahun 2010.
Lalu, pada pada tahun 2013, istilah FOMO resmi dimasukkan ke kamus Oxford. Ya, hal itu tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Namun, saya hanya ingin menyoroti kata FOMO yang menjadi trending karena unggahan beberapa warganet. Nah, apa, sih, sebenarnya arti FOMO ini?
Kembali jadi tren di media sosial
Baru-baru ini, istilah FOMO menjadi trending di media sosial karena unggahan warganet mengenai konser Blackpink. Seperti yang kita ketahui, Blackpink baru saja melaksanakan konser di stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Konser tersebut dihadiri oleh 70 ribu penonton dari berbagai kalangan umur hingga profesi.
Namun, setelah konser berlangsung, muncul banyak komentar-komentar nyelekit dari beberapa penonton yang hadir. Tidak sedikit yang mengungkapkan kekecewaannya atas perilaku menyebalkan penonton lainnya.
Misalnya, banyak dari penonton yang ternyata bukan dari kalangan penggemar Blackpink. Jadi, mereka hanya menonton karena ‘ikut-ikutan’ dan ujung-ujungnya menggangu kenyamanan penonton lain.
“Everyone’s stories is just blackpink, FOMO banget,” tulis salah satu warganet.
“Inilah kalo nonton cuma gara-gara fomo bukan beneran fans” tulis warganet lainnya.
Baca juga: Mengenal Estetika dalam Dunia Seni
Fear of Missing Out (FOMO)
Secara harfiah, fear of missing out diartikan sebagai ‘takut ketinggalan’. Jadi, FOMO adalah kondisi di mana seseorang sering kali merasa takut dan khawatir apabila tidak atau belum mengikuti tren yang sedang viral.
Rasa takut dan khawatir ini mengacu pada persepsi bahwa orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik. Hal itu pun membuat seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Lebih parahnya, perasaan takut ketinggalan ini dapat memicu stres yang berlebihan.
Salah satu penyebab terbesar FOMO adalah media sosial. Tidak dapat kita pungkiri bahwa media sosial bisa sangat memengaruhi cara berpikir seseorang. Misalnya, saat kita melihat unggahan orang yang sebaya dengan kita, tetapi mereka telah mencapai sesuatu yang lebih dari kita.
Kita mungkin saja akan merasa rendah diri atau insecure. Oleh sebab itu, perasaan takut ketinggalan ini lebih mudah menyerang generasi muda.
Baca juga: Kapan Menggunakan di sebagai Kata Depan dan Imbuhan?
Apa saja, sih, contoh fenomenanya?
Banyak sekali hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai perasaan FOMO. Bahkan, hal-hal kecil seperti makanan pun dapat menimbulkan perasaan takut ketinggalan. Misalnya, dalgona coffee yang sempat viral di awal pandemi.
Saat itu, kita dapat melihat unggahan orang-orang yang sedang mengikuti tren membuat dalgona coffee di rumah. Mungkin beberapa dari kita juga ada yang pernah ikut membuatnya dan memamerkannya di media sosial.
Selain itu, adanya TikTok dan fitur reels Instagram juga semakin memunculkan banyak tren-tren baru. Misalnya saja, tren berbagai challenge dance. Hal itu ternyata juga bisa, loh, menimbulkan perasaan takut ketinggalan. Melihat orang lain melakukannya, seseorang bisa saja ikut melakukannya karena merasa takut ketinggalan dari yang lain.
Lalu, apakah itu salah? Tentu tidak. Tidak ada salahnya kita mengikuti tren-tren yang ada di media sosial karena tren itu memang hadir untuk diikuti.
Yang salah adalah apabila kita sampai merasa takut, khawatir, bahkan stres jika tidak mengikutinya. Atau yang lebih parah adalah kita rela melakukan apa saja untuk mengikuti tren-tren tersebut.
Editor: Cesilia Sasanda