Penulis: Ardhi Ridwansyah
Penyap
Kata-kata basi penuh lalat
Liur liar basuh tinta menyala
Padam seketika; rasa redup
Raga berkeluh desah
Kamu terlelap dalam
Mataku yang busuk
Berbau tikus mati
Mengunyah pedih
Dengan dahaga haus;
Menenggak air mata.
Kerontang kasihmu
Sayangku menjelma bajingan
Yang menulis puisi
Membedil dahi
Tersenyum genggam melati.
Melati, tanda kasih kini
Ranggas seperti kamu
Yang tewas di hati
Menari-nari belatung
Di wajahmu yang dingin.
Tersisa anyir dan sunyi.
Jakarta, 2025
Pulang
Pulang
Usai tualang di matamu
Terserak tulang-tulang
Sisa wajah yang menyimpan
Memo luka; telan duri mawar
Luntur merah merona.
Pulang
Istirah kini daksa letih begini
Rebah di sofa tulis satu puisi
Tentang rambut yang memutih
Dan kulit yang merintih.
Pulang
Ingat tiap langkah kaki
Saat berjalan di setiap sisi
Tampak gagak merpati
Terbang mengiringi.
Jakarta, 2025
Baca juga: Puisi Sunyi Menaungi Kelam Kabut
Genangan
Pada waktunya
Tiap kenang jadi genang
Terlindas roda kendaraan
Akan kering bagai luka
Tiba waktunya
Kembali lubang menganga
Hujan kembali menimpa
Menyapa kenang kembali
Jakarta, 2025
Hanyut
Mari hanyut
Kalap terbawa arus
Megap-megap
Menyapa maut
Tenggak badai
Gelegak ombak galak.
Tanpa kapal melintas
Arungi malam sepi
Di mata hanya ada langit
Yang murung dan cengeng!
Ringan bak gabus
Mengapung
Di samudra kelam
Terbenam kala laut
Kian legam kian geram.
Suram dan seram
Jakarta, 2025
Baca juga: Dendam Diam: Kumpulan Puisi Lalik Kongkar
Darimu
Darimu kutemui
Lebat semak-semak
Lembab di malam puncak
Dan aku
Coba meraba
Hendak merasa
Ciumi bau dedaunan
Begitu rimbun di muka
Hingga terabas sampai
Ke pangkal ada
Lubang menganga
Lirih suara hening ketika
Semakin gigil dini hari
Kian api wajah meniti
Pelan namun pasti
Biar masuk jari-jari
Belai dinding hingga
Nikmat merintih.
Jakarta, 15 Maret 2025
Editor: Kru BiSa