Hermeneutika: Memaknai Tidak Pernah Sesulit Ini

hermeneutika
Sumber: Canva.com

Penulis: Febryan Kusumawardhana

BILIK SASTRA – Perkara mengenai makna selalu menjadi dilema yang dialektis dalam suatu praktik komunikasi. Makna dalam bahasa memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem aturan yang kompleks dan kontekstual memiliki kemungkinan untuk menghasilkan ucapan kata yang tak terhingga dari sejumlah elemen-elemen tertentu.

Kemampuan manusia untuk berpikir secara tiga dimensi, memungkinkan kita mengkaji suatu kompleksitas makna melalui penggunaan bahasa. Namun makna yang terwakilkan oleh bahasa, tidak kunjung mereduksi kompleksitasnya.

Hal tersebut mengingat bahwa makna adalah sebuah simbol yang sejatinya sulit ditentukan suatu rasio mutlak yang dapat memvalidasi makna murni yang sudah tersampaikan. Oleh sebab itu, hadirlah hermeneutika sebagai suatu teori interpretasi makna. 

Tujuan hermeneutika

Seperti pada kalimat sebelumnya bahwa hermeneutika merupakan teori mengenai interpretasi makna. Hermeneutika merupakan studi klasik yang sudah digunakan oleh kalangan filsuf, teolog, dan sastrawan.

Ketiga kalangan tersebut kerap kali menyuguhkan berbagai macam kemungkinan makna yang menjadikannya sebagai makna yang multiinterpretatif. Keberadaan hermeneutika justru memberikan manusia suatu fleksibilitas untuk menginterpretasikan suatu teks, sesuai dengan pandangan hidup yang mereka yakini. 

Asal-usul hermeneutika

Istilah “hermeneutika” (hermeneutics), dalam Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani herméneuein yang merupakan derivasi dari kata kerja hermeneuô yang berarti “mengartikan,” “menginterpretasikan,” “menafsirkan,” dan “menerjemahkan.”

Di sisi lain, kata sifatnya hermeneuticos dan kata bendanya herméneia, berarti “penafsiran” dan “interpretasi”. Istilah hermeneutika (hermeneutics) berbeda dari istilah hermeneutik (hermeneutic) (Wahid, 2015).

Dalam perspektif mitologi Yunani, herméneuein mengambil nama dewa dari salah satu dewa mitologi Yunani yang bertugas menjadi perantara antara dewa Zeus dan manusia, yaitu Hermes. Tugas Hermes tidak hanya sebatas mengantar kata saja, tetapi juga sebagai penafsir dari kata-kata dewa supaya manusia dapat memahami penjelasannya.

Baca juga: Mengenal Apa itu Sastra, Fungsi, dan Nilai Estetikanya

Tiga lapisan ekspresi

Menurut Jurgen Habermas, hermeneutika mengambil tiga ekspresi kelas, yaitu ekspresi linguistik, aksi, dan ekspresi pengalaman. Ekspresi linguistik muncul dalam wujud yang absolut dan membuat situasinya tidak menjadi bentuk yang monologis. Habermas meyakini bahwa ketika ekspresi linguistik berkaitan dengan konteks kehidupan yang konkret (aksi), maka hubungan komunikatif memiliki potensi untuk menjadi dialogis. 

Dalam suatu dialog terdapat ungkapan mengenai kondisi kehidupan yang relatif. Maka dari itu, ungkapan-ungkapan tersebut sepatutnya dikaji secara hermeneutik oleh pendengar sebagai sesuatu yang asing, untuk dipahami melalui interpretasi makna.

Friedrich Nietzsche, seorang filologis sekaligus filsuf, berpendapat bahwa dialektika antara konteks kehidupan dan ekspresi linguistik tidak dapat terselesaikan karena bahasa apa pun yang digunakan mewakili pelaksanaan kekuasaan kelompok dominan.

Namun, Habermas menyangkal prinsip tersebut. Habermas mengatakan kesenjangan antara ekspresi dan makna dapat selesai dalam suatu konteks komunikasi yang ideal, yaitu tercapainya komunikasi dialogis yang sempurna dalam suatu kompetensi komunikatif.

Ekspresi pengalaman diaplikasikan secara murni ataupun semu dalam konteks tindakan dan dialog tertentu. Misalnya, kalimat saya merasa senang, saya merasa sedih, dll. Kalimat-kalimat tersebut merupakan ekspresi ataupun gambaran yang memiliki banyak makna. 

Berdasarkan penjelasan di atas, lapisan hermeneutika mampu dikaji menjadi tiga bagian utama, yaitu:

  1. Teori yang mempertimbangkan mengenai validitas epistemologi dan beberapa kemungkinan-kemungkinan interpretasi;
  2. Metodologi yang memformulasikan interpretasi sebagai suatu sistem yang reliabel; dan
  3. Praktik yang kajiannya jauh lebih empiris mengenai interpretasi suatu bentuk komunikasi.

Baca juga: Retorika sebagai “Kail” dalam Komunikasi

Peluang kebebasan untuk berintepretasi

Dari ketiga lapisan utama kajian hermeneutika di atas, Jurgen Habermas menemukan keterkaitan antara ketiga kelas yang sudah dipaparkan di atas dan kehidupan sosial sehari-hari. Komunikasi sebagai praktik berusaha untuk mengungkapkan suatu refleksitas yang nantinya memberikan kemungkinan untuk menerima penjelasan dan ekspresi hadir untuk direpresentasikan dalam bahasa. 

Dengan begitu, hermeneutika ada untuk berusaha menguraikan interpretasi yang reflektif berdasarkan pada sudut pandang spektrum hermeneutik yang terdapat hubungan timbal balik interpretasi bagian-bagian melalui pemahaman koheren.

Nah, Sobat BiSa, berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa eksistensi hermeneutika pada bahasa membuka suatu peluang kebebasan akan interpretasi makna suatu komunikasi yang terwakilkan secara simbolik melalui bahasa dan berbagai ekspresi. 

Selain itu, hermeneutika juga membuat manusia mampu mendapatkan kebebasannya melalui pengakuan rasionalitas dan mampu merumuskan suatu pemahaman akan makna agar terciptanya suatu komunikasi dialogis yang menarik. 

Editor: Kru BiSa

Sumber:

Wahid, Masykur. 2015. Teori Interpretasi Paul Ricoeur. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

III, F.P.A. Demeterio. Hermeneutics: The Philosophy of Interpretation. Harvey, Lee. 2012-23. Social Research Glossary. Quality Research International. http://www.qualityresearchinternational.com/socialresearch/

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *