Atma, nama yang orang tuanya berikan kala itu. Atma yang berarti nyawa dan diharapkan bisa memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga kecil itu. Lelaki itu berambut pendek dan keriting. Tubuhnya tinggi dan badannya amat sangat kurus. Atma berucap bahwa itu keturunan dari keluarga ayahnya. Padahal, banyak yang bilang bahwa ia terlalu sibuk bekerja hingga lupa menyenangkan dirinya. Seperti tak ada waktu untuk bersantai menikmati hidupnya sejenak.
Dengan gayanya yang santai, ia setiap hari hanya mengenakan kaos dengan celana levis selutut. Selama 24 tahun menjalani kehidupan, ia tak pernah berkunjung ke pusat perbelanjaan yang besar. Meskipun sudah lama hidup di kota besar, baginya bekerja lebih utama. Selembar demi selembar uang, ia kumpulkan demi bertahan hidup.
Malam semakin larut. Jalanan ibu kota kali ini sangat menenangkan, walaupun masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di hadapan Atma. Ia menatap sekeliling. Ternyata masih banyak orang yang tidak peduli dengan lingkungan.
Atma pikir rasa tenang itu akan bisa ia dapatkan selama perjalanan pulang. Namun nyatanya, setelah beberapa kilometer ia berjalan menyusuri trotoar ini, ia melihat plastik-plastik kotor di mana-mana. Rasanya tidak nyaman melihat itu semua. Itulah Atma. Jiwanya tidak bisa menerima sesuatu yang tidak teratur.
Selama perjalanan pulang, ia hanya sibuk dengan plastik-plastik yang berserakan itu. Tak tahan dengan itu semua, ia memunguti plastik itu satu-persatu dan membuangnya ke tempat sampah. Siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya? Seperti itulah prinsipnya.
Sebagai seorang pekerja di toko bangunan, ia harus bangun pagi untuk berangkat bekerja. Waktu di mana orang lain mungkin saja masih asik dengan mimpinya. Namun, Atma sangat menghormati waktu. Ia sebisa mungkin satu jam sebelum masuk sudah sampai di tempat kerja. Itulah yang membuat dirinya dicintai oleh banyak orang.
Keadaan yang memaksanya untuk menjadi sosok lelaki tangguh. Tidak pernah ia mengeluarkan air matanya pada saat-saat terpuruk dalam kehidupannya. Mungkin ia sudah lelah menangis sepanjang waktu dalam hidupnya. Kini yang ia lakukan hanya berserah dan mencoba berusaha semaksimal mungkin.
Hidup sebatang kara tanpa satu pun keluarga di sampingnya. Orang tuanya telah meninggal saat ia menginjak bangku SMA. Ia juga tak memiliki keluarga. Ia anak tunggal yang tidak memiliki tempat untuk pulang lagi. Ia pun dipaksa untuk menjadi dewasa oleh keadaan.
Di ruangan ini, terdapat banyak material yang memenuhi seisi ruangan. Ia hanya bisa duduk dan bersandar pada lemari kaca dua pintu di sampingnya. Kausnya terlihat sangat basah. Cuaca panas membuat keringatnya tak henti bercucuran.
“Selamat pagi, Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapa Atma.
“Saya pesan lima semen langsung diantar sampai ke mobil saya,” pinta pelanggan itu sambil menunjuk ke arah semen
“Baik, Pak. Tunggu sebentar akan segera dilayani.”
Dengan wajah ceria dan senyum hangatnya, Atma berjalan untuk mengangkat semen itu ke mobil pelanggan. Ia taruh semen itu di bahu kirinya dan diletakkan dengan rapi di dalam mobil. Sebelum pelanggannya pergi, ia memastikan semua sudah aman dan lengkap. Setelahnya, Atma memberi salam singkat.
Kesehariannya hanya bertemu pembeli dan melayaninya sepanjang hari. Jika ditanya lelah atau tidak, tentu rasanya melelahkan. Satu-satu yang membuatnya kembali bersemangat adalah awal bulan. Namun, entah kapan raut mukanya terlihat bersemangat menjelang waktu pulang. Tidak biasanya ia menunjukkan ekspresi tersebut.
Baca juga: Pendakian Pertama, Gunung Lawu
Meskipun ia tampak seperti seseorang yang pendiam, Atma juga masih mempunyai beberapa teman. Salah satunya adalah Nayla. Pertemuan awal mereka ada di persimpangan jalan ibu kota saat Atma hendak pulang ke kontrakan.
Kala itu, Atma sedang menikmati suasana malam jalanan ibu kota. Dari kejauhan, ia melihat wanita itu tengah duduk seperti sedang menunggu jemputan. Akhirnya, Atma berjalan mendekati wanita itu.
“Sudah dari lama, aku sering melihatmu menunggu di sini. Siapa yang kamu tunggu?” tegur Atma
“Aku sedang menunggu kakakku, seharusnya ia sudah menjemputku. Namun, kali ini ia tak kunjung datang,” balasnya.
Selama menunggu, Atma mengajaknya mengobrol singkat. Selang beberapa menit, sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Nayla segera masuk dan menutup pintunya rapat. Mobil melaju dengan sangat kencang. Atma pun memutuskan untuk segera pulang dan beristirahat sebelum hari segera berganti.
Setelah beberapa bulan mengenal Nayla, Atma menjadi semakin giat untuk bekerja. Ia selalu bertemu Nayla di persimpangan jalan setelah pulang bekerja untuk menemaninya. Kegiatan itu seperti sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Entah mengapa rasa itu semakin menggebu-gebu di hati Atma. Apakah ia menyukai Nayla? Belum ada jawaban yang pasti, tetapi Atma sangat menjaga Nayla.
Di dalam mobil berwarna hitam itu, Nayla dan kakaknya tengah sibuk berbincang-bincang.
“Apakah kamu menyukainya?” tanya kakaknya
“Aku tidak tahu, kak. Yang pasti, ia sangat baik padaku,” jawab Nayla dengan ragu
“Ia terlihat bertanggung jawab dan pekerja keras,” puji kakak Nayla
“Memang benar, ia sosok pasangan yang kucari-cari selama ini. Namun, perasaanku belum pasti.”
“Semua tak perlu terburu-buru. Lakukanlah prosesnya dengan baik,” ucap kakak sambil mengelus kepala Nayla.
Baca juga: Kenangan Tahun Baru yang Tak Terlupakan
Sebenarnya tak ada lagi yang Atma harapkan sebab ia tidak punya tujuan apa-apa. Namun, ia berjanji untuk menyelesaikan tugasnya di dunia sebelum Tuhan mengambilnya. Setelah pertemuan dengan Nayla kala itu, ia semakin bersemangat lagi untuk meneruskan perjalanan kehidupannya.
Rintik hujan yang membasahi bumi ini membuat beberapa jemurannya menjadi basah kembali. Sialnya, Atma lupa memasukkan ke dalam rumah karena malah sibuk menemani Nayla. Tadinya, ia ingin mengungkapkan isi hatinya. Namun, Atma pikir belum saatnya karena ia tahu betul bahwa ia belum mempunyai apa-apa untuk bersanding dengan Nayla, seorang yang lebih dari dirinya.
Otaknya masih sibuk memikirkan kelayakannya untuk menjadi pasangan Nayla. Padahal, status sosial tak menjadi penghambat untuk perjalanan cinta sesungguhnya. Kadang kala, ia membayangkan jika ia mempunyai segalanya, ia tentu bisa mendapatkan Nayla dengan mudah. Tak perlu juga harus berjalan kaki untuk bekerja dan pulang ke rumah. Ia membayangkan pasti hidupnya akan bahagia. Namun, Tuhan memilih ia menjadi seperti sekarang karena Atma merasa ia kuat dan bisa membuktikannya.
Bertahun-tahun sudah ia bekerja. Meskipun, belum banyak tabungan yang ia punya, ia yakin untuk melamar Nayla. Di persimpangan itulah, Atma berucap janji atas cintanya. Cinta yang tulus dari dalam hatinya dengan disaksikan banyak pasang mata. Momen yang sangat ia nantikan.
Tak perlu waktu lama Nayla segera menerima lamaran itu. Hidupnya sangat bahagia malam itu. Terlihat dari sorot matanya yang berkaca-kaca. Nayla merasa beruntung bertemu dengan Atma. Sosok pasangan yang ia cari-cari selama ini.
Nayla tak henti-henti bersyukur. Begitu pun Atma. Ia adalah nyawa yang akan membawa kehidupan baru bagi Nayla. Ia juga telah berdamai dengan dirinya. Kini, ia sudah menjadi pemimpin di toko bangunan itu. Atma benar-benar membawa pengaruh yang baik.
Atma percaya, kehidupan yang baik tak selamanya dilewati dengan perjalanan yang baik. Pasti banyak jalan yang berliku-liku dan terjal. Terkadang prosesnya seperti membuat ia terlempar ke dalam jurang yang sangat dalam. Kehidupannya sudah seperti badai petir yang tak kunjung mereda. Namun, semua itu telah berhasil ia lewatinya. Sekarang, hanya ada selimut kebahagian dan hembusan angin damai yang senantiasa mengelilingiya.
Editor: Iska Pebrina