Penulis: Aryasuta Rajendra
Igo menyimpan tiga puluh dua foto ibu di ponselnya, tapi yang paling sering dibuka adalah foto terakhir, ibu sedang tersenyum di depan gerbang bandara. Senyum yang tidak sampai ke mata, seperti seseorang yang sedang belajar cara tersenyum untuk kamera.
Itu enam bulan lalu.
Sekarang dia duduk di teras setiap sore, menatap ujung jalan dengan kesabaran yang aneh untuk anak berusia dua belas tahun. Tetangga sudah terbiasa melihatnya di sana, diam seperti patung, sampai langit gelap dan nenek memanggilnya masuk.
“Ibu telepon,” kata nenek, menyodorkan ponsel tua.
Namun, hari ini tidak ada panggilan masuk. Layarnya kosong. Igo menatap nenek dengan bingung.
“Nggak ada yang telepon, Nek.”
Nenek mengambil ponsel itu kembali, memandanginya lama. “Oh. Nenek kira…” Dia menggeleng. “Sudah, makan dulu.”
Aneh. Biasanya nenek tidak salah soal telepon.
Malam itu Igo mendengar suara dari kamar ibu. Bukan suara aneh, hanya suara normal seseorang yang sedang membereskan sesuatu. Suara laci dibuka tutup, suara meremas kertas, dan suara langkah kaki di lantai kayu.
Dia turun dari tempat tidur dan mengintip dari celah pintu. Kamar ibu gelap, kosong. Namun, baunya … ada bau parfum samar yang familier. Bau melati yang sudah agak asam, seperti bunga yang terlalu lama direndam air.
Di atas meja, ada kertas kuning yang tidak ada sebelumnya.
Igo mengambil kertas itu. Tulisan Jawa dengan tinta yang masih setengah basah. Di bawahnya, tulisan latin kecil, mantra pemanggil.
“Nek, ini tulisan apa?”
Nenek sedang menyapu halaman ketika Igo menunjukkan kertas itu. Sapu di tangannya terjatuh.
“Dari mana kamu dapat ini?”
“Kamar ibu. Kemarin nggak ada.”
Wajah nenek berubah pucat. Dia mengambil kertas itu dengan tangan yang bergetar, membacanya dalam hati. Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti sedang berdoa atau… menghitung sesuatu.
“Ajarin aku baca, Nek.”
“Nggak boleh.”
“Kenapa?”
“Ini bukan tulisan sembarangan, Go. Ini…” Nenek menatap cucunya dengan tatapan mata penuh harap. “Ini mantra.”
“Mantra buat apa?”
“Buat memanggil yang sudah…”
Nenek tidak melanjutkan kalimatnya. Dia melipat kertas itu dan akan mengembalikannya, tapi Igo sudah menariknya kembali.
“Aku mau belajar baca Jawa, Nek. Kalau nenek nggak mau ajarin, aku tanya pak guru.”
Ancaman itu berhasil. Nenek mendesah panjang.
“Baik. Tapi kamu janji nggak akan baca keras-keras.”
“Janji.”
Baca juga: Seberkas Senja dari Cangkir
Mereka duduk di teras sore itu. Nenek mengajari Igo satu per satu huruf dalam mantra, suaranya semakin pelan setiap kata.
“Ingsun amaos… aku membaca…”
“Rajahing asmara… mantra cinta…”
“Kang sinebar ing jagad gedhe… yang disebarkan ke alam besar…”
“Muga-muga sira prapta mrene… semoga engkau datang ke mari…”
“Kanthi ati kang tulus ikhlas… dengan hati yang tulus…”
Ketika selesai, nenek langsung berdiri. “Sudah. Jangan diulangi lagi.”
Namun, Igo sudah menghafalnya. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti lagu yang tidak bisa hilang.
Malam Jumat Kliwon. Igo duduk di lantai kamar ibu dengan sesaji yang dia siapkan sendiri: melati dari halaman, air dari sumur, dan dupa yang dia beli diam-diam dari warung.
Dia mulai membaca dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Ingsun amaos rajahing asmara.
Kang sinebar ing jagad gedhe.
Muga-muga sira prapta mrene.
Kanthi ati kang tulus ikhlas.
Tidak terjadi apa-apa selama beberapa menit. Kemudian, perlahan-lahan, melati di hadapannya mulai menghitam. Dupa padam sendiri. Dan ada bau yang mulai menguar, bau tanah basah setelah hujan yang sangat deras.
“Igo.”
Suara itu datang dari sudut ruangan yang paling gelap. Suara yang dia kenal, suara ibu, tapi ada sesuatu yang berbeda. Lebih dalam. Lebih… kosong.
“Bu?”
“Kamu memanggil ibu?”
Sosok itu muncul perlahan dari bayangan. Tinggi, rambut panjang menutupi wajah, bergerak dengan cara yang aneh seperti mengapung sedikit di atas lantai.
“Iya, Bu. Aku kangen banget.”
“Ibu juga kangen.”
Sosok itu mendekat. Igo bisa melihat sekilas wajahnya di antara helai rambut, wajah ibu, tapi kulitnya terlalu pucat dan matanya terlalu dalam.
“Ibu dari mana?”
“Dari tempat yang dingin. Gelap. Basah.”
“Ibu kerja di sana?”
Sosok itu tertawa. Tawa yang dia kenal, tapi terdengar seperti air yang mengalir di dalam pipa yang bocor.
“Bukan kerja, sayang. Ibu… tinggal di sana sekarang.”
“Kapan ibu pulang ke rumah?”
“Ibu nggak bisa pulang ke rumah, tapi Igo bisa ikut ibu.”
Igo merasakan sesuatu yang dingin menjalar di dadanya. “Ikut ke mana?”
“Ke tempat ibu tinggal. Kita bisa bersama di sana. Selamanya.”
Sosok itu mengulurkan tangan. Tangan yang basah dan dingin, dengan kuku yang terlalu panjang.
“Tempatnya seperti apa, Bu?”
“Tenang. Sunyi. Tidak ada yang ganggu. Tidak ada yang ninggalin.”
Ada sesuatu dalam kata ninggalin itu yang membuat Igo merasa… lega. Selama enam bulan dia takut ditinggalkan lagi. Kalau di tempat ibu tinggal sekarang tidak ada yang bisa meninggalkan siapa-siapa…
“Igo mau ikut ibu?”
Dia menatap tangan yang terulur itu. Ada bagian dalam dirinya yang tahu ini bukan ibu yang sesungguhnya. Namun, ada bagian yang lebih besar yang tidak peduli. Yang penting, dia tidak akan sendirian lagi.
“Iya, Bu. Aku ikut.”
Ketika Igo menyentuh tangan itu, yang dia rasakan pertama kali adalah dingin yang aneh, bukan dingin karena suhu, tapi dingin yang menyentuh jiwa. Kemudian dia melihat sekilas tempat yang sosok itu maksud: ruang gelap yang basah, seperti dasar sumur tua, di mana dia akan menghabiskan waktu yang sangat lama, mungkin selamanya, bersama sesuatu yang terlihat seperti ibu.
Namun, ketika sosok itu tersenyum, senyum yang terlalu lebar, dengan gigi yang terlalu putih, Igo merasa damai dengan pilihannya.
Setidaknya dia tidak akan ditinggalkan lagi.
Baca juga: Jemaat Ruang Tamu
Keesokan paginya, nenek menemukan kamar Igo kosong. Tempat tidurnya rapi, seolah tidak pernah ditiduri. Di atas meja, ada kertas kuning yang sudah terbakar habis, hanya menyisakan abu hitam yang berbentuk seperti aksara Jawa.
Tetangga membantu mencari selama berminggu-minggu. Polisi datang, mengajukan pertanyaan, membuat laporan. Namun, tidak ada jejak Igo di mana pun.
Anehnya, setiap malam Jumat Kliwon, beberapa tetangga mendengar suara dua orang berbicara dari arah rumah nenek, suara anak laki-laki dan suara perempuan yang dingin. Percakapannya yang selalu sama.
“Igo senang di sini?”
“Senang, Bu.”
“Kita bisa bersama terus.”
“Iya, Bu.”
“Tidak ada yang akan ninggalin.”
“Nggak akan, Bu. Kita bersama terus.”
Suara tawa bergema di malam sunyi, tawa yang terdengar seperti dua orang yang sangat bahagia karena akhirnya menemukan cara untuk tidak pernah berpisah lagi.
Nenek tidak pernah mengomentari suara-suara itu. Dia hanya duduk di teras setiap sore, menatap ujung jalan dengan mata kosong, seolah masih menunggu seseorang pulang.
Kadang-kadang tetangga melihatnya berbicara sendiri dengan suara yang sangat pelan, “Maafin nenek, Go. Nenek nggak tau kalau mantra itu…”
Namun, dia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.
Editor: Kru BiSa