Tujuh tahun silam, banyak kejadian yang tak terduga datang menghampiri keluarga kami. Hampir setiap hari terdengar suara ketukan pintu setiap pukul 01.00 dini hari. Ayah mencoba untuk memeriksanya melalui jendela ruang tamu. Namun, tidak ada satu pun orang di depan pintu.
Ayah mengarahkan pandangannya ke sekeliling halaman rumah. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Ayah pun berniat kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya bersama Ibu dan adikku.
Saat suara ketukan terdengar semakin keras, Ayah menghampiriku di kamar dan menenangkanku dengan berkata, “Nak, tenang sini ikut Ayah.”
Aku pun menggenggam tangan Ayah dengan erat selama berjalan dari kamarku menuju kamar Ayah. Rumah kami tidak begitu luas, tetapi situasi malam itu terasa sangat mencekam hingga membuat jantungku berdegup cepat dan tanganku gemetar.
Setelah beberapa saat, suara ketukan itu sudah tidak terdengar lagi. Aku pun tidur bersama Ayah, Ibu, dan adikku. Kami tidur dengan saling mendekap satu sama lain.
Esoknya, Pagi-pagi sekali, aku menemukan sebuah kertas yang terlipat di dekat pintu. Aku membaca tulisan yang ada di kertas itu. Sontak aku berteriak histeris setelah membaca tulisan dengan tinta merah. “MATI”.
Ayah yang sedang berada di dapur segera menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menunjukkan kertas yang kutemukan tadi. Melihat tulisan yang ada di kertas itu, Ayah pun langsung memelukku erat. Kemudian ayah mengambil kertas itu dan membakarnya.
Setelah kejadian tadi pagi, gangguan yang datang semakin banyak. Bukan hanya suara ketukan pintu, kami juga mulai mendengar suara tangisan bayi. Ayah mencoba menenangkanku dengan mengelus rambutku, sedangkan Ibu yang sedang membuat susu untuk adikku di dapur, langsung menuju kamar dengan keringat dingin.
“Yah, kita laporkan ke RT saja. Ini sudah sangat meresahkan. Lihat Naila yang ketakutan terus setiap malam dan tidak bisa tidur. Begitu pun Nila yang nangis terus-terusan setiap ketukan itu mulai terdengar.”
Ayah yang mendengar keluhan Ibu hanya bisa mengembuskan napasnya, lalu berkata,“Besok Ayah akan ke rumah Pak RT.”
Setelah Ayah melaporkan kasus ini kepada Pak RT, warga mengadakan ronda secara bergantian, suara-suara itu pun tidak lagi terdengar di rumah kami.
Namun, beberapa waktu berlalu, Pak RT meninggal akibat kecelakaan di dekat jembatan. Kegiatan ronda pun terhenti. Semua fokus pada acara tujuh harian di rumah pak RT termasuk ayahku. Alhasil, hanya ada aku, Ibu, dan adikku di rumah.
Tepat setelah tujuh hari kematian Pak RT, Ayah dan warga mengadakan pertemuan untuk mengadakan ronda lagi karena suara-suara itu kembali terdengar dan membuat keluarga kami resah.
Baca juga: Perkara Harga Naik
Keesokan harinya Ayah dinyatakan menghilang tenggelam di sungai. Tidak ada yang tahu kronologi pastinya. Malam itu, Ayah pamit terlebih dahulu untuk pulang. Ponsel Ayah ditemukan terletak di pinggir jembatan. Warga pun mencoba menyusuri sungai untuk mencari, tetapi hingga hari kelima, hasilnya masih nihil.
Akhirnya, warga meminta kami untuk pasrah dan menyatakan bahwa Ayah telah meninggal. Salah satu anggota tim pencarian juga menemui kami dan meminta maaf karena pencarian akan dihentikan.
“Kami sangat meminta maaf kepada Ibu dan anak Ibu bahwa pencarian harus kami hentikan.”
Mendengar itu, aku dan Ibu hanya bisa menangis sambil memohon agar pencarian tidak dihentikan.
Tak disangka, dua hari setelah pencarian dihentikan, mayat Ayah ditemukan dan segera dikebumikan.
Pada akhirnya, aku yang harus membantu perekonomian keluarga. Adikku masih butuh susu dan Ibuku sudah berhenti bekerja sejak hamil 7 bulan. Setiap pulang sekolah aku bekerja di salah satu toko kue di dekat sekolah hingga pukul 9 malam.
Dalam perjalanan pulang, aku melewati jembatan itu. Aku berhenti sejenak untuk memandang sungai yang telah merenggut nyawa Ayahku.
Setibanya di rumah, ada laki-laki muda dan salah satu warga yang sedang bertamu di rumah. Padahal hari sudah larut malam. Katanya dia ingin menyampaikan sesuatu kepada ibuku. Ibu pun menyuruhku untuk menjaga adik di kamar terlebih dahulu. Sementara rasa lelah masih menyelimutiku, aku langsung menuju kamar sambil tersenyum sebentar kepada tamu tersebut.
“Bu, mohon maaf sebelumnya, setelah saya telusuri, sepertinya kematian suami Ibu terdapat unsur kesengajaan. Beberapa kali saya melihat gelagat anak Ibu sangat mencurigakan. Saat evakuasi jenazah, anak Ibu terlihat menangis, tetapi sesudah itu ia tertawa.”
Ibu yang menyadari hal tersebut segera berlari ke kamar.
Tapi sudah terlambat.
Baca juga: Berdamai dengan Masa Lalu
Aku telah membunuh adik kecil itu dengan pisau yang sudah kusimpan di dekat lemari di dalam kamar. Darah segar mengalir begitu deras di sekujur tubuhnya. Tentu saja Ibu tampak sangat terkejut melihat tanganku yang berlumuran darah serta pisau di tanganku.
“Ah … semua sudah terbongkar, ya. Cepat sekali. Padahal Aku belum menghabisi Ibu. Harusnya Ibu juga mati di tanganku.”
“Naila, kamu kenapa, Nak.” teriak Ibu sambil menangis.
Sialan. Dia benar-benar tidak mengingat kesalahannya.
“Apa Ibu lupa kalau Ayah dan Ibu yang telah membunuh orang tua kandungku karena iri dengan kesuksesan bisnis mereka saat itu. Polisi memang bilang bahwa itu murni kecelakaan. Namun, kalian pikir aku tidak tahu siapa dalang kematian orang tuaku?” ucapku sambil menangis dengan emosi yang membuncah.
Aku mengusap air mataku. Lalu menatap tajam ke arah Ibu dan dua orang tamu di sebelahnya.
“Teror-teror itu memang aku yang membuatnya dengan bantuan kakak kandungku. Tapi itu tidak seberapa. Harusnya Ibu bersyukur belum ikut mati. Ibu juga bodoh. Kenapa harus meminta bantuan kepada Pak RT. Jadinya dia juga ikut mati.”
Ibu dan orang di sebelahnya terkejut dengan fakta baru ini. Namun, tiba-tiba Laki-laki muda di sebelah Ibu tertawa dengan keras.
“Kalian itu bodoh,” teriaknya.
“Apalagi ini?”
Ibu tampak begitu syok hingga ia terjatuh ke lantai.
“Ya, dia kakak kandungku,” ucapku sambil ikut tertawa dengan keras.
Namun, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang mengenai kakiku. Aku langsung terjatuh. Sementara itu, Kakak kandungku langsung diborgol oleh polisi dan kami dibawa ke kantor polisi. Warga yang melihat kami hanya bisa menatap ngeri.
Mereka pikir aku ini bisa dibodohi oleh orang dewasa. Ah … puas sekali rasanya. Baiklah. Sudah cukup ceritanya karena hari ini adalah hari eksekusi kematianku bersama dengan kakakku. Sampai jumpa lagi.
Editor: Iska Pebrina