Dear David (2023): Menilik Topik-Topik Sensitif di Masyarakat

dear david
Sumber: IMDB.com

BILIK SASTRA – Akhir-akhir ini, perfilman Indonesia bisa dibilang sudah semakin maju. Apalagi, setelah munculnya platform-platform menonton online yang juga ikut memproduksi film. Misalnya saja Netflix, platform menonton online yang sedang naik daun di kalangan masyarakat, khususnya anak muda.

Nah, Netflix baru saja merilis film originalnya yang berjudul Dear David pada tanggal 9 Februari 2023 lalu. Penasaran dengan filmnya? Yuk, simak ulasannya.

Sinopsis film Dear David (2023)

Film Dear David menceritakan tentang seorang siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) bernama Laras (Shenina Cinnamon) yang merupakan siswi berprestasi di SMA Cahaya. Selain menjadi salah satu penerima beasiswa, dia juga merupakan ketua osis di sekolahnya. Oleh karena itu, Laras tentu saja memiliki citra sebagai ‘anak baik-baik’.

Namun, siapa sangka, Laras memiliki sebuah blog rahasia yang berisi tulisan tentang fantasinya terhadap David (Emir Mahira), teman sekelasnya. Fantasi yang ada di tulisannya tersebut mengarah pada cerita-cerita dewasa antara dirinya dan David. 

Suatu hari, Laras membuka blognya di ruang komputer sekolahnya. Namun, Laras tidak sadar bahwa dia belum logout dari akun blognya tersebut. Keesokan harinya, blog rahasia itu tersebar hingga membuat kehebohan di sekolahnya. 

Tentu saja tak ada yang menduga bahwa Laras yang menulis cerita-cerita tersebut. Alih-alih Laras, semua orang menuduh Dilla (Caitlin North Lewis), siswi yang populer karena kecantikannya dan sering memamerkan foto seksinya di media sosial. 

Alur yang terkesan kurang realistis

Di awal film, penonton akan disuguhkan dengan visualisasi ala film fantasi. Hal itu pun menarik perhatian saya karena film Indonesia seperti ini terbilang jarang. Selain itu, saya juga kagum dengan penggambaran rumah Laras yang bisa dibilang sangat realistis. Penggambaran karakter ibu Laras pun khas dengan ibu-ibu anggota persekutuan gereja yang suka menyanyi lagu rohani di pagi hari. 

Hingga di sepertiga cerita, saya sangat terpukau dengan alur film ini. Namun, di pertengahan cerita, saya mulai kebingungan. Dimulai dengan adegan saat David menyuruh Laras mengaku bahwa dialah yang menulis cerita tentang David.

Saat itu, ekspektasi saya David akan sangat marah pada Laras. Bagaimana tidak? Karena blog rahasia Laras yang tersebar itu, David mulai menjadi pusat perhatian di sekolah. Bahkan, dia mulai mendapat komentar-komentar seksual dari teman-teman sekolahnya, baik laki-laki maupun perempuan. 

Baca juga: Please Be Quite (2021): Suara Korban Pelecehan Seksual

Menyajikan scene di luar ekspetasi

Ada satu adegan yang menarik perhatian saya, yaitu saat David terkena serangan panik saat teman-temannya ingin melucuti pakaian David. Hal itu dikarenakan cerita yang mengambil sudut pandang laki-laki mengenai pelecehan seksual masih jarang kita temukan.

Adegan tersebut pun dapat menjadi salah satu contoh bahwa laki-laki pun dapat mengalami pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik. Hal itu pun tentunya dapat menimbulkan trauma bagi mereka. 

Namun, berbeda dari ekspektasi saya, David ternyata tidak semarah itu. Justru Laras-lah yang marah pada David. Laras pun memohon pada David agar dia tidak memberi tahu siapa pun bahwa blog itu milik Laras. Anehnya, David setuju dengan permohonan Laras, tetapi dengan syarat Laras harus membantunya mendekati Dilla. 

Pro dan kontra film Dear David (2023)

Lucky Kuswandi, sutradara film ini, sebenarnya banyak mengangkat topik yang sering kita jumpai, tetapi tergolong sensitif dan tabu di kalangan masyarakat. Namun, hal itulah yang justru menjadi daya tarik film ini. Benar saja. Film ini mampu menarik perhatian penonton hingga banyak menimbulkan pro dan kontra. 

Dari komentar-komentar yang saya temui, ternyata banyak juga yang kebingungan dengan sikap David kepada Laras yang terkesan santai sebagai korban dan pelaku pelecehan. Namun, sadarkah kalian bahwa pelaku pelecehan yang sebenarnya bukanlah Laras, melainkan teman-teman sekolah mereka.

Serangan panik yang David alami juga merupakan responsnya terhadap tindakan teman-teman sekolahnya yang mengomentari hingga menyentuh tubuhnya di depan umum. 

Standar ganda laki-laki dan perempuan

Lalu, bagaimana dengan Laras? Seperti pidatonya di adegan menjelang akhir film bahwa dia hanyalah perempuan muda yang juga memiliki fantasi akan lawan jenis. Dari film ini, kita sebenarnya dapat melihat standar ganda antara laki-laki dan perempuan.

Laki-laki membicarakan seksualitas adalah hal yang wajar, sedangkan perempuan yang menyalurkan hasrat seksualnya melalui karya fiksi saja langsung dicap tidak baik. 

Dari logika di atas, saya pun mulai memahami pemikiran tokoh David. Saat mengetahui siapa yang menyebarkan blog itu, barulah David marah besar. Saya pun menyimpulkan bahwa tokoh David tidak lantas menghakimi Laras yang menyalurkan hasrat seksualnya melalui karya fiksinya.

Dia lebih marah kepada orang yang menyebarkan cerita itu sehingga membuat dia menjadi objek pelecehan di sekolah. 

Baca juga: Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”, Tentang Ketidakadilan Gender

Isu mengenai pelanggaran privasi

Selain itu, kutipan dialog yang sangat menyentil hati saya adalah dialog Laras yang berbunyi, “Ranah privasi adalah tahi kucing di sekolah ini.” Dialog tersebut terkesan cukup berani. Bagaimana tidak? Dialog tersebut tentunya menyinggung pihak sekolah yang terkadang melewati batas privasi siswa. Misalnya saja adegan penyitaan handphone yang kerap kita jumpai di sekolah.

Dalam film ini, Laras mengucapkan dialog tersebut karena dia tidak terima bila harus menanggung hukuman seorang diri. Sementara itu, siswa penyebar akun blog pribadinya malah tidak mendapatkan hukuman. Padahal, sudah jelas bahwa menyebarkan akun pribadi seseorang itu melanggar hak privasi.

Lantas, bagaimanakah akhir dari film Dear David ini? Bagaimana pula kalian menyikapi topik-topik sensitif dan tabu yang ada dalam film ini? Jika Sobat BiSa penasaran dengan cerita selengkapnya, kalian dapat menonton film ini di platform Netflix atau menonton cuplikannya terlebih dahulu di sini.

Editor: Cesilia Sasanda

Iska Pebrina

Penulis amatiran yang suka menulis ini dan itu. Instagram @iskafr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *