Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”, Tentang Ketidakadilan Gender

Ilutrasi ulasan cerpen perempuan yang memanggul bayangan
Sumber: freepik.com

Penulis: Dinda Adiliya

BILIK SASTRA – Isu perempuan menjadi topik yang kerap diangkat menjadi tema karya sastra. Ketidakadilan dan penindasan yang kerap kaum perempuan alami mendorong banyak penulis dan sastrawan menyuarakan keadilan dan kesetaraan melalui karya sastra. Salah satunya dalam cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” karya Ferena Debineva.

Bercerita tentang Lara yang harus merasakan ketidakberdayaan selama hidupnya, cerpen ini menunjukkan ketidakadilan gender yang dikemas dengan apik. Ingin tahu isu perempuan yang ada dalam cerpen ini? Berikut ulasan lengkapnya di bawah ini. 

Sinopsis cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”

Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” mengisahkan seorang anak perempuan yang menjadi korban budaya patriarki dalam keluarga. Lara memiliki adik dan kakak laki-laki yang membuat ia seringkali dikesampingkan dalam berbagai hal. 

Ia harus putus sekolah untuk membantu ibunya berjualan, sedangkan adik dan kakaknya tetap melanjutkan pendidikannya. Lara juga pada akhirnya harus menikah dengan laki-laki yang tidak ia ikenal. Terdapat beberapa bentuk ketidakadilan gender dan budaya patriarki dalam cerpen ini, seperti marginalisasi, subordinasi, dan perkawinan paksa (objektifikasi). 

Isu perempuan dalam cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” 

Karya sastra erat kaitannya dengan berbagai peristiwa di masyarakat. Karya sastra bisa kita pahami sebagai cerminan kehidupan yang mengisahkan berbagai permasalahan dan fenomena sosial di masyarakat. Pengarang mengangkat isu yang ia anggap penting untuk dibahas. Karena bersifat fiksi, penulis bebas mengekspresikan tulisannya dengan bentuk dan tema apapun. 

Salah satu permasalahan yang banyak penulis bahas dalam karya sastra adalah isu perempuan. Tokoh utama perempuan kerap mengalami berbagai permasalahan kehidupan dari ketidakadilan gender akibat budaya patriarki. Seperti yang ada pada cerpen berjudul “Perempuan yang Memanggul Bayangan”.

Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang terbit dalam konten laman Magdalene.co. Magdalene.co merupakan media online yang berfokus pada isu kesetaraan dan banyak membahas pemberdayaan perempuan. Berbagai karya lain umumnya bertemakan perempuan ada dalam kategori tersendiri, yaitu pada Prose & Poem. Adanya kategori tersebut memanfaatkan karya sastra bukan hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga edukasi. 

Marginalisasi pendidikan pada perempuan

Marginalisasi merupakan upaya peminggiran suatu pihak sehingga tidak dapat memiliki kesempatan untuk berkembang. Sehingga dapat menimbulkan ketidakberdayaan dan kemiskinan. Terdapat bentuk marginalisasi gender yang menimbulkan perempuan sebagai korban karena termasuk kelompok rentan. Dalam cerpen ini, bentuk marginalisasi gender terdapat pada kutipan berikut.

Ia berkata, “Lara, kamu pintar di sekolah, tapi kamu lebih baik membantu ibu memasak dan berjualan di pasar. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi. Biaya sekolahmu makin bertambah. Ya uang buku lah, ya ini lah, itu lah! Kita ini tidak kaya raya, Lara! 

-Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” karya Ferena Debineva 

Upaya tersebut adalah bentuk marginalisasi, di mana Lara tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pendidikan. Pendidikan semestinya menjadi hak setiap orang tanpa memandang gender. Namun konsep patriarki memandang perempuan hanya akan berakhir dalam pekerjaan domestik sehingga tidak memerlukan pendidikan tinggi.

Baca juga: Gadis Kretek (2012): Melawan Stereotipe Perempuan dalam Budaya Jawa

Perempuan sebagai gender kedua pada cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan”

Uniknya, cerpen ini juga menggambarkan adanya subordinasi pada kalangan perempuan. Subordinasi merupakan penomorduaan pihak dan golongan tertentu karena dianggap lebih lemah dan tidak penting. Subordinasi gender adalah konsep yang memandang laki-laki lebih unggul dan superior dari perempuan. Hal tersebut timbul akibat pemahaman budaya patriarki yang telah melekat dalam masyarakat. 

Dalam cerpen ini, tokoh Lara merupakan satu-satunya anak perempuan dengan kakak dan adik laki-laki. Pada pembukaan cerpen dinyatakan bahwa Lara bukanlah anak yang diharapkan. Kedua orang tuanya lebih menginginkan anak laki-laki karena dapat membantu keluarga ketika dewasa. Perempuan seakan tidak dapat diandalkan dalam berbagai hal di luar ranah domestik. Hal ini terdapat pada kutipan berikut:

Ia anak kedua dari tiga bersaudara yang sebenarnya tidak diharapkan kelahirannya. Orang tua Lara, Tini dan Karto lebih berharap punya banyak anak laki-laki untuk membantu mereka bekerja memanggul padi dan berjualan di Pasar Kota Lama. 

-Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” karya Ferena Debineva 

Hal tersebut menyebabkan Lara tidak dapat bersekolah ketika kedua saudara laki-lakinya dapat melanjutkan pendidikan. Padahal, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa memandang gender. Dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan, anak laki-laki memang seringkali lebih menjadi prioritas utama dan cenderung mendapatkan perhatian lebih banyak. 

Beban ganda yang tokoh Lara rasakan

Anak memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari orang tuanya. Membantu orang tua bukanlah kewajiban yang mutlak dan harus dilakukan sepenuhnya. Seorang anak, khususnya yang di bawah umur tidak boleh ikut serta dalam mencari nafkah. Namun, cerpen ini menunjukkan Lara, seorang anak di bawah umur yang harus putus sekolah untuk membantu orang tua berjualan. Ini adalah beban yang mestinya tidak ia tanggung.

Di usianya yang masih terbilang anak-anak, Lara harus putus sekolah untuk meringankan biaya dan agar dapat membantu ibunya mengurus rumah dan berjualan. Lara harus memanggul beban ganda. Ia tidak hanya harus mencari uang, tetapi juga mengerjakan pekerjaan rumah. 

…dan Lara remaja baru saja selesai membasuh dirinya di kamar mandi dan berganti baju. Di depan ada tamu rupanya. Lara lamat-lamat mendengar suara ayahnya tertawa menggelegar, sambil memanggil-manggil Lara, “Lara….buat kopi cepat! Ada tamu penting jauh-jauh datang!”

Lara bergegas ke dapur dan menuang air dari termos. Perlahan dia mengaduk kopi untuk ayah dan tamu ayahnya itu. Lara mencari-cari nampan sambil mendengar riang gelegak suara tawa ayahnya, diiringi suara Juang yang sedang tidur-tiduran saja dan Sinar yang tengah sibuk bermain.

-Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” karya Ferena Debineva 

Kita seringkali mendengar ungkapan ‘perawan tidak boleh bangun siang’, ketika anak laki-laki sah-sah saja bermalasan sepanjang hari. Bagaimana hanya anak perempuan yang wajib membantu dalam pekerjaan domestik. Sementara anak laki-laki tidak boleh terlibat karena bukan merupakan tugas dan kodratnya. 

Baca juga: Isu Kesetaraan Gender dalam Film Barbie (2023), Patriarki atau Matriarki?

Singgung perkawinan paksa dan transaksi jual beli perempuan

Objektifikasi berarti menganggap perempuan adalah objek yang dapat dibeli, misalnya praktik perkawinan paksa. Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) memaparkan bahwa dalam keluarga patriarkis, perempuan merupakan milik ayah dan saudara laki-laki. Perempuan tidak ada kuasa atas tubuhnya sendiri. Tak jarang anak perempuan menjadi objek jual beli melalui pernikahan akibat kesulitan ekonomi. 

Kenyataannya, perkawinan paksa masih banyak terjadi bahkan kepada anak di bawah umur. Dalam RUU PKS Pasal 11 Ayat 2, salah satu bentuk kekerasan seksual adalah pemaksaan perkawinan. Kawin paksa masih banyak terjadi termasuk pada anak di bawah umur. Dalam cerpen ini, tokoh Lara yang akan melakukan pernikahan dengan orang asing yang tidak ia kenal, terlihat dalam kutipan berikut.

“Ini lho yang namanya Lara, cantik kan dia. Pastilah cocok dengan seleramu itu,” liriknya pada Lara mengisyaratkan kalau Lara harus tersenyum di hadapan tamu itu. 

Tamu itu menyeringai sedikit, sambil menyelipkan amplop ke tangan ayah yang pura-pura merasa sungkan. “Inilah Lara, jodohmu. Beruntung sekali kamu bertemu laki-laki yang murah hati seperti Kusno,” katanya kepada Lara.

-Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” karya Ferena Debineva 

Lara seakan barang dagangan yang dapat terbeli dengan uang. Bahkan, uang yang lelaki berikan tersebut keluarganya pakai untuk bersenang-senang tanpa memedulikan Lara yang pasti akan sangat menderita karena harus terpaksa menikah di usia muda.

Perempuan menjadi kalangan yang kerap mengalami penindasan

Lara menjadi pihak yang sangat rentan, ia hanyalah seorang anak yang tak punya kuasa melawan perintah keluarga. Lara kehilangan bayangannya sendiri. Cerpen ini menunjukkan bahwa dalam budaya patriarki, perempuan tidak lebih dari properti yang dapat diperlakukan semena-mena. Dan hanya itulah seakan yang dapat dilakukan perempuan. Perempuan dibentuk untuk berpikir itulah memang fungsi dirinya sehingga tidak akan dapat melawan dan terus pasrah dengan keadaan.

Cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” ini ingin menunjukkan bagaimana perempuan seringkali menjadi pihak yang lebih lemah dan tertindas. Cerpen ini yang mengisahkan permasalahan tokoh utama perempuan yang menjadi ‘second sex’ dan betapa inferiornya seorang perempuan dalam menghadapi ketidakadilan gender akibat budaya patriarki dalam keluarga. 

Itulah ulasan lengkap cerpen “Perempuan yang Memanggul Bayangan” yang menarik untuk dibaca. Cerpen menjadi bentuk karya sastra yang dapat kita manfaatkan sebagai medium dalam menyampaikan permasalahan sosial di masyarakat. Apalagi persoalan isu perempuan

Sebagai sarana hiburan, karya sastra juga memudahkan pembaca untuk mengerti akan fenomena sosial yang ada. Harapannya cerpen dapat menjadi tambahan pengetahuan mengenai apa yang masih marak terjadi hingga saat ini, salah satunya adalah isu ketidakadilan gender. Bagi Sobat BiSa yang ingin membaca keseluruhan cerpennya, kalian bisa membacanya di sini.

Editor: Kru BiSa

Sobat BiSa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *