Penulis: Nathania Sasi
BILIK SASTRA – Adakah dari Sobat BiSa yang sudah menonton film A Haunting in Venice (2023) di bioskop? Sejak trailernya muncul pada bulan Juli lalu, film yang diadaptasi dari novel terkenal milik Agatha Christie yang berjudul Hallowe’en Party ini sudah menarik banyak perhatian. Apalagi bagi para penikmat serial misteri thriller.
A Haunting in Venice adalah film ketiga dari semesta Hercule Poirot, sang detektif. Film yang merupakan sekuel dari Murder on The Orient Express dan Death on The Nile ini dinilai dapat memuaskan para kritikus dengan keseruan yang ditawarkan. Untuk kalian yang tertarik dan berencana ingin menonton A Haunting in Venice, simak dulu ulasan lengkapnya di bawah ini, ya!
Sinopsis film A Haunting in Venice
Berlatar pada masa pasca Perang Dunia II di Venesia, Hercule Poirot (Kenneth Branagh)—sang tokoh utama—memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi detektif dan menutup diri dari dunia luar. Ia menolak semua orang yang menemuinya sampai seorang teman lama bernama Ariadne Oliver (Tina Fey) datang.
Oliver adalah seorang penulis novel misteri terkenal, yang akhir-akhir ini mendapat ulasan buruk dari para kritikus. Tiga buku terakhirnya dianggap tidak gereget lagi.
Oliver yang ingin menaikkan kembali rating bukunya pun membujuk Poirot untuk menyelidiki misteri pembunuhan Alicia, putri tunggal Rowena Drake (Kelly Reilly), sang penyanyi opera terkenal, pemilik rumah tua bekas asrama anak-anak.
Konon, rumah tua itu menyimpan cerita horor mengenai pembalasan dendam anak-anak yang terkurung dan meninggal di sana.
Pada malam Halloween, Rowena berencana melakukan acara pemanggilan arwah putrinya dengan bantuan seorang medium, Joyce Reynolds (Michelle Yeoh). Poirot diminta Oliver untuk mengungkapkan trik-trik yang dimainkan oleh Reynolds. Poirot yang sangat mengedepankan logika dan tidak percaya dengan hal-hal gaib akhirnya menerima ajakan Oliver.
Sejak awal pemanggilan arwah, Poirot berhasil menjelaskan alasan rasional mengenai kejadian-kejadian yang ada dan tetap teguh pada prinsipnya. Hingga akhirnya, pembunuhan mengerikan selanjutnya terjadi di dalam rumah tua itu. Poirot pun memutuskan untuk menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan tersebut.
Logika versus supranatural
Berbeda dengan dua film sebelumnya yang pure bergenre misteri thriller, A Haunting in Venice meleburkan satu genre lagi, yaitu horor supranatural. Bagi karakter Hercule Poirot yang selalu berpikiran logis dan percaya bahwa selalu ada alasan rasional dari setiap kejadian yang terjadi, A Haunting in Venice menawarkan cerita yang sangat kontras.
Dalam perjalanannya, kelogisan Poirot terus diuji oleh hal-hal supranatural yang terjadi. Hal ini tentunya tidak dapat ia terima secara logika sehingga membuat Poirot bingung dan mulai tergoyahkan. Poirot terus melihat dunia gaib yang selama ini tidak pernah ia percayai.
Film ini mampu menampilkan kerasnya pertarungan Poirot dengan logika dan perasaan nyata mengenai kejadian supranatural yang ada. Bertambahnya genre horor supranatural pada film A Haunting in Venice pun membuat film ini tak luput dari jump scare.
Namun, jika membandingkannya dengan film bergenre pure horor, jump scare dalam film A Haunting in Venice bisa saya katakan pas dan “tidak keterlaluan”. Sang sutradara, Kenneth Branagh, berhasil menggabungkan unsur horor tanpa menutupi unsur misteri detektif yang menjadi kunci utamanya.
Visualisasi gotik, mencekam, dan misterius
Seperti pada poin sebelumnya, A Haunting in Venice mengadopsi elemen horor supranatural di dalam misteri. Sang sutradara—Branagh—bersama Zambarlouko—sang sinematografer—menggunakan visualisasi gotik yang gelap dan mencekam. Selain itu, saat melihat desain rumah tua yang menjadi latar tempat dalam film ini yang sangat mendukung.
Dalam rumah tua tersebut, kamu dapat merasa suasana suram yang menyimpan cerita mistis. Hujan badai, suara langkah kaki, sampai bisikan tawa anak kecil menambah kengerian dan kesan horor tergambarkan dengan jelas. A Haunting in Venice mampu membuat kita bertanya-tanya, apakah benar ada hantu di tempat ini?
Beragam kejadian horor dan kematian misterius yang di-shot close up dengan angle miring pun cocok dengan A Haunting in Venice yang mengambil latar tahun 1947-an. Detail penangkapan tiap adegan serta scoring dalam film ini akan membuat kita deg-degan dan merasa terbayang-bayang.
Ditutup dengan plot twist tak terduga
Di awal investigasi pembunuhan, masing-masing tersangka mengemukakan alibinya. Dari sini, penonton akan dibuat menerka-nerka, siapa yang menjadi dalang utamanya.
Kemudian, munculnya banyak adegan-adegan supranatural membuat tebakan-tebakan tadi buyar. Jangan-jangan pelakunya benar adalah arwah anak-anak yang ingin balas dendam? Atau malah arwah Alice yang mati secara misterius?
Mendekati akhir film, saat Poirot menemukan pelaku utama pembunuhan Alice dan dua orang lainnya, alurnya menjadi sangat cepat. Meski begitu, penjelasan demi penjelasan dan reka ulang tiap adegan membuat cerita dapat tersampaikan dengan baik.
Film A Haunting in Venice berbeda dari novelnya
Pada bagian akhir ini, penonton akan seolah-olah percaya bahwa Poirot sudah menang karena telah berhasil merasionalkan dan menemukan pelaku pembunuhan misterius yang terjadi. Akan tetapi, akan ada kejutan saat melihat ending dari semua kejadian di rumah tua milik Rowena.
Sebenarnya, sama dengan kebanyakan film-film adaptasi dari novel milik Agatha Christie, ending plot twist sudah menjadi ciri khasnya. Namun, berbeda dengan dua film lainnya, A Haunting in Venice dibuat dengan merombak banyak aspek dari novel aslinya.
Jadi, untuk kalian yang sudah membaca novelnya, tidak perlu takut kecewa karena kalian akan mendapat ending yang mind blowing.
Bagaimana Sobat BiSa? Apakah kalian tertarik untuk menonton film A Haunting in Venice ini? Khususnya untuk kalian para pencinta film horor dan misteri, film sepanjang 103 menit ini sangat patut untuk ditonton! Sebelum menontonnya, kalian bisa menonton trailer-nya di sini.
Editor: Iska Pebrina