Penulis: Aryasuta Rajendra
Ruang tamu keluarga Tante Mirna tetap sama seperti ketika Bimo pertama kali menginjakkan kaki di sana dua puluh tahun yang lalu. Sofa beludru coklat dengan bercak memudar di sandaran tangan kiri. Meja kayu jati bundar dengan ukiran sulur pakis di pinggirannya. Lantai teraso yang tertutup karpet permadani Turki hadiah liburan Om Hendra lima tahun yang lalu. Pigura-pigura foto keluarga berjajar di dinding—termasuk foto lawas kakek Bimo bersama Bung Karno yang selalu diposisikan lebih tinggi dari yang lain.
Ada yang aneh dengan ruangan ini. Bimo selalu merasakannya. Bagaimana udara terasa lebih padat di sudut timur Bagaimana suara-suara dari luar meredam begitu pintu ditutup. Bagaimana kucing belang tiga milik keluarga selalu tidur menghadap ke arah yang sama, ke sebuah titik imajiner di tengah ruangan.
“Nah, itu dia sang mahasiswa!” seru Tante Mirna saat Bimo melangkah masuk, tasnya yang penuh stiker wayang kulit tersampir di bahu. “Makin ganteng aja, mirip almarhum kakeknya.”
Dari sudut ruangan, alunan Ketawang Sinom Parijatha mengalun lembut dari radio tua berpenutup kayu. Radio itu tak pernah berpindah tempat sejak Bimo kecil—selalu di atas meja sudut, di samping seperangkat gamelan mini hiasan yang terbuat dari kuningan.
Kucing belang tiga itu—yang entah sudah berapa generasi, karena Bimo yakin kucing tidak hidup selama itu, tapi selalu ada kucing belang tiga di rumah ini—mendongak dari tidurnya. Mata kuningnya mengunci tatapan Bimo sejenak, sebelum kembali melingkar dengan ekor membentuk huruf yang tak Bimo kenali.
“Bimo! Eh sudah datang!” Dani, sepupu Bimo, masuk dari dapur, tangannya terentang menunjukkan jam tangan berkilau. “Beli di Grand Indonesia minggu lalu. Biar masa depan cerah! Kamu kapan beli? Atau masih nabung dari beasiswa?”
Tawa Dani terdengar lebih nyaring dari yang seharusnya. Ruang tamu itu memiliki akustik aneh—kadang meredam, kadang memperkuat suara-suara tertentu.
Tak lama kemudian, seluruh keluarga berkumpul. Tante Dewi, adik dari Tante Mirna, sibuk mengutak-atik Instagram sambil sesekali melirik Bimo dengan tatapan penasaran. Paman Joko yang pendiam, seperti biasa, hanya mengangguk saat melihat Bimo. Nenek Harti, yang usianya hampir 80 tahun tapi selalu hadir dalam pertemuan keluarga, duduk di kursi goyang favoritnya.
Di tengah-tengah mereka, meja bundar itu kini dipenuhi makanan. Rendang yang mengepul, soto ayam dengan kuah bening, sambal terasi yang merah menggoda, dan beberapa jenis kue tradisional tersusun rapi.
Sendok aluminium berdenting ke piring porselen saat Om Hendra mengambil kerupuk emping. Suara itu terdengar seperti gong kecil, membuka pertunjukan yang segera dimulai.
“Jadi,” Tante Mirna merapikan lipatan taplak meja batik Pekalongan dan bertanya, “Sudah semester berapa sekarang?”
“Delapan, Tante,” jawab Bimo, menyendok nasi ke piringnya.
“Oh, berarti tahun depan sudah lulus ya?” mata Tante Mirna berbinar. “Kuliah jurusan apa sih? Tante lupa.”
Bimo menggigit bibir bawahnya. Ia tahu pertanyaan ini pasti akan datang. Selalu datang, dan selalu diikuti dengan reaksi yang sama.
“Studi Agama-agama, Tante.”
Garpu Om Hendra terhenti di udara. Alis tebalnya naik di atas kacamata minus. Tante Dewi mendadak mengalihkan perhatian dari ponselnya.
“Kerja apa tuh setelah lulus?”
Nada suara Tante Mirna meninggi setengah oktaf, mirip nada tinggi sinden di pertunjukan wayang. Tepat saat itu, lagu dari radio tua berganti sendiri menjadi Dandanggula yang lebih berat dan dalam. Tak ada yang tampak menyadarinya kecuali Bimo.
Ia mengatupkan rahangnya hingga terasa nyeri, lalu memejamkan mata sejenak.
Dalam kegelapan di balik kelopak matanya, Bimo membayangkan perpustakaan sunyi Universitas Religi, lembar-lembar kitab kuno berbau apak, dan Profesor Hamka yang berbisik, “Agama adalah bahasa untuk yang tak terucapkan, seperti gamelan yang berbicara tanpa kata.”
Gemuruh darah berdesir di telinganya, mengaburkan suara-suara yang kini terdengar bersahutan:
“Harusnya ambil ekonomi UI seperti Dani…”
“Teman saya punya lowongan di bank syariah…”
“Kakakmu insinyur perminyakan di Pertamina, masa kamu…”
“Sekarang zaman digital, ambil IT dong…”
Volume Dandanggula di radio tua itu semakin keras, meskipun knopnya tidak bergerak. Kucing belang tiga itu duduk tegak di sudut ruangan, matanya lebar menatap Bimo.
“Aku hanya diam dengan mata terpejam,” batin Bimo.
Kelopak matanya terbuka perlahan, dan ia menatap ruang tamu dengan pandangan yang berbeda. Pupilnya melebar menyesuaikan dengan cahaya yang—aneh. Cahaya di ruangan itu kini terasa berbeda. Lebih keemasan dan dalam, seolah ada lapisan tipis minyak wijen yang melapisi seluruh permukaan benda.
“Tak lama, kubuka mata lalu menengadah, mengangkat kedua tangan.”
Dan tangannya benar-benar terangkat, seakan ditarik benang tak kasatmata. Jari-jarinya membentuk mudra yang tak pernah ia pelajari. Otot-otot bergerak sendiri di bawah kulitnya, tubuhnya bukan lagi miliknya.
Udara di sekitar jari-jarinya bergelombang halus, seperti gunungan wayang yang digoyang pelan oleh dalang. Alunan gamelan dari radio tua berubah nada—melambat, kemudian berakselerasi dengan pola yang tak dikenal—bukan laras pelog, bukan slendro, atau sesuatu yang … lain.
Bayangan-bayangan wayang muncul di dinding ruang tamu, menari-nari meski tak ada sumber cahaya yang menyorot. Kucing di sudut ruangan kini berdiri, punggungnya melengkung, dan bulu-bulunya berdiri serentak.
“Detik itu juga, agama baru tercipta, dan seisi ruang tamu sederhana itu menjadi jemaat pertamanya.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Bimo tanpa ia sadari, seperti puisi yang telah lama menunggu untuk diucapkan.
Hening. Waktu seolah membeku dalam ruangan itu.
Kemudian—
“Astaga!” Om Hendra menjatuhkan sendoknya, berlutut dengan satu kaki di lantai teraso. “Izinkan saya menjadi pengikut pertama Yang Terpilih!” Nada suaranya berubah, dalam dan bergema seperti dalang wayang kulit.
Tante Mirna menjerit kecil, lalu dengan gerakan cepat melepas kalungnya, mengganti dengan serbet yang dilipat menyerupai burung garuda. “Saya yang kedua! Saya yang kedua!”
Dani bahkan tak membuang waktu. Ponselnya terangkat, merekam. “Ini bakal viral! Kita butuh hashtag! #JemaatRuangTamu? #BimoSangResi? Ini bakalan trending, sepupuku!”
Mangkuk soto ayam di meja mengepul membentuk awan kecil yang anehnya tidak menyebar, melayang beberapa sentimeter di atas permukaan kuah. Suwiran ayam bergerak-gerak seperti ikan koi miniatur.
“Apa… apa yang terjadi?” Bimo mengerjap bingung. Apakah ini lelucon? Namun, wajah-wajah itu—terlalu serius, terlalu terpesona, dan mata mereka sedikit berkabut seperti dalam hipnosis.
Kucing belang tiga itu melangkah ringan menuju pangkuannya, ekornya meliuk seperti gerakan penari jaipong.
“Mereka tidak mengerti, tapi kau memang tidak perlu dimengerti,” suara dalam kepala Bimo, berat dan dalam seperti gong ageng.
“Kyai… Wengi?” Bimo berbisik, nama yang muncul begitu saja di lidahnya.
Kucing itu memiringkan kepala, matanya berkedip, dan pupilnya berubah sejenak dari vertikal menjadi horizontal. Ekornya membentuk simbol yang anehnya familiar—seperti yang Bimo lihat pada prasasti Yupa di buku sejarah Kutai.
—
Baca juga: Kunang-Kunang Menjelang Pilkada
“Ajaran ketiga puluh tujuh: Cangkir teh tidak boleh diletakkan langsung di atas meja, harus ada alas daun pisang berbentuk segitiga,” ujar Bimo menyampaikan dengan nada serius yang dibuat-buat.
“Mengapa segitiga, Sang Resi?” tanya Om Hendra yang kini duduk bersila di lantai, kacamata minusnya dilepas dan digantikan dengan kacamata tanpa lensa yang entah dari mana asalnya.
“Karena…” Bimo berpikir cepat, “…segitiga adalah simbol keseimbangan antara dunia atas, tengah, dan bawah. Seperti gamelan yang terdiri dari saron, gender, dan gong.”
“Astaga, dalam sekali!” Tante Dewi yang kini memakai selendang sebagai ikat kepala mencatat dengan serius di notes ponselnya.
Ruang tamu itu kini telah berubah sepenuhnya. Sofa digeser ke pinggir. Lantai digelar tikar pandan. Di tengah ruangan, tumpeng kecil yang tadinya hanya hiasan meja kini menjadi pusat altar. Lilin-lilin aroma terapi milik Tante Mirna disusun membentuk lingkaran, asapnya bergerak aneh—tidak naik lurus, tapi membentuk spiral seperti patet dalam notasi gamelan.
Dinding ruang tamu yang tadinya dipenuhi foto keluarga kini hanya menampilkan foto Bimo—diambil saat wisuda SMA, diperbesar secara darurat di percetakan 24 jam terdekat oleh Dani yang entah bagaimana bisa pergi dan kembali secepat kilat.
“Jadi, nama agama kita apa, Kang Guru?” tanya Nenek Harti yang kini tampak dua puluh tahun lebih muda, duduk tegak dengan energi yang tak pernah Bimo lihat sebelumnya.
Bimo terdiam. Ia tidak bermaksud menciptakan agama sungguhan. Ini hanya… reaksi spontan. Lelucon yang lepas kendali. Tapi melihat wajah-wajah penuh harap di sekelilingnya…
“Agama…” Bimo menangkap mata kuning Wengi yang berkilat di pangkuannya, “…Ruang Tamu.”
“Agama Ruang Tamu,” ulang semua orang dengan khidmat.
“Dan kitab sucinya?” tanya Dani yang sibuk membuat akun Instagram resmi dengan username @agamaruangtamu.official.
“Kitab… um…” Bimo memandang sekeliling, matanya jatuh pada buku catatan kuliah Studi Agama-agama miliknya, “Kitab Kucing Belang.”
“Kenapa begitu, Sang Resi?” tanya Tante Mirna dengan mata berbinar.
“Karena kucing belang sering ada di garis tipis perbandingan. Antara yang terlihat dan tidak terlihat. Yang berbunyi dan yang sunyi. Yang dipertanyakan dan yang menjawab,” jawab Bimo dengan nada misterius, meniru gaya dosen filsafatnya.
Semua mengangguk kagum, seolah baru mendengar wahyu terdalam. Bimo menahan senyum geli. Apakah semudah ini menciptakan agama? Tapi kemudian ia merasakan getaran aneh di udara. Ruang tamu itu seolah… merespons.
Langit-langit ruangan tampak lebih tinggi dari biasanya. Dinding-dinding bergeser sedikit, memberikan ilusi ruangan yang lebih luas. Radio tua di sudut ruangan kini memainkan komposisi gamelan yang belum pernah Bimo dengar sebelumnya—seperti perpaduan pelog dan slendro yang mustahil, dengan sentuhan suling yang terlalu tinggi untuk instrumen manusia.
“Baiklah, jemaat pertama Agama Ruang Tamu,” Bimo berkata, mencoba menjaga suaranya agar tidak pecah oleh tawa atau kengerian, “mari kita lakukan ritual pertama.”
“Ritual apa, Sang Resi?” tanya semua hampir bersamaan.
Bimo menunjuk ke makanan di meja. “Ritual Santapan Sakral. Kita akan makan rendang dengan tangan kiri, soto dengan tangan kanan, secara bersamaan. Sambil membayangkan rasa yang bertemu di lidah sebagai simbol pertemuan antara yang berbeda-beda.”
“Brilian!” seru Om Hendra. “Simbolisme kuliner spiritual!”
Dalam kepalanya, Bimo tertawa. Ini konyol. Namun saat makanan mulai diangkat, sesuatu yang aneh terjadi. Aroma rendang dan soto bercampur di udara, membentuk wangi baru yang tak dapat dijelaskan—seperti dupa kuno dan bunga-bunga yang tak pernah Bimo kenal. Kuah soto di sendok bergelombang sendiri, membentuk pola mandala kecil sebelum masuk ke mulut para jemaat.
“Rasanya…” Tante Dewi terpana, “…seperti mengunyah musik.”
Bimo mengerjap. Ia juga merasakannya. Rendang di lidahnya terasa seperti lantunan rebab, sementara soto memberikan sensasi seperti suling yang melengking tinggi. Bagaimana mungkin rasa berubah menjadi nada?
Kucing Wengi mendengkur di pangkuannya, getaran suaranya merambat ke tulang Bimo. Ruang ini mendengarkan. Ruang ini mengingat. Ruang ini mentransformasi.
—
Baca juga: Harapan Secarik Kertas
Cahaya senja menerobos jendela, menciptakan pola geometris di lantai ruang tamu. Jemaat Agama Ruang Tamu kini bertambah. Tetangga sebelah, Pak RT, bahkan kurir yang kebetulan mengantarkan paket untuk Tante Dewi—semuanya kini duduk bersila, mendengarkan Bimo membacakan ayat-ayat yang ia karang secara spontan.
“…dan di antara bunyi dan sunyi, terdapat dimensi ketiga yang disebut Dengung. Di Dengung inilah semua jiwa bertemu tanpa terhalang tubuh. Di Dengung inilah semua pertanyaan bertemu jawabannya…”
Bimo bahkan terkejut dengan kata-katanya sendiri. Dari mana semua ini berasal? Ia tidak pernah memikirkan konsep Dengung sebelumnya, tapi saat mengucapkannya, terasa begitu benar, begitu purba, seolah pengetahuan itu telah lama menunggu di sudut-sudut otaknya.
“Bagaimana cara kita mencapai Dengung, Sang Resi?” tanya kurir yang bahkan belum melepas helmnya, seolah takut kehilangan satu kata pun.
Bimo menoleh ke arah radio tua. “Melalui Bunyi Sakral. Gamelan adalah kuncinya. Nada-nada tertentu, dimainkan dalam urutan tertentu, akan membuka pintu Dengung.”
Radio tua itu, seolah mendengar, mengubah salurannya sendiri. Suara gamelan yang tadinya lembut kini lebih kompleks, lebih dalam, dengan pola ritmis yang tak pernah Bimo dengar sebelumnya.
“Coba kalian pejamkan mata dan rasakan,” Bimo menginstruksikan, setengah penasaran apakah orang-orang ini benar-benar akan mengikuti perintahnya.
Semua mata terpejam, termasuk Bimo sendiri. Saat kegelapan menyelimuti penglihatannya, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ia bisa melihat ruang tamu itu dari atas, seolah melayang di langit-langitnya. Namun ruangan itu berbeda—dindingnya terbuat dari kayu dengan ukiran kuno, lantainya tanah yang dipadatkan, dan di tengahnya bukan tumpeng, melainkan altar batu dengan ukiran mirip prasasti.
“Kau melihatnya, kan?” suara Wengi dalam kepalanya.
“Apa ini?” Bimo bertanya dalam hati.
“Ruang Tamu sebelum menjadi ruang tamu. Tempat pertemuan sebelum rumah ini dibangun. Tempat orang-orang datang untuk bertanya dan mendapat jawaban, seperti yang terjadi hari ini.”
Bimo membuka mata dengan sentakan kaget. Semua orang masih memejamkan mata, wajah mereka damai, tapi juga terpukau. Beberapa mulai bersenandung mengikuti gamelan, menciptakan harmoni vokal yang terlalu sempurna untuk improvisasi.
Tiba-tiba, ketukan di pintu.
“Forum Umat Beragama Kota Kediri! Buka pintunya!”
Suara bariton dari luar menggema, memecah atmosfer mistis dalam ruangan. Beberapa jemaat membuka mata dengan enggan, seperti terbangun dari mimpi indah.
“Ada apa ini?” bisik Tante Mirna, mendadak sadar bahwa ruang tamunya kini dipenuhi orang asing dengan lilin dan tumpeng di tengah.
“Agama baru? Di kompleks perumahan ini? Tidak bisa dibiarkan!” Suara dari luar semakin keras.
Bimo merasakan kepanikan merayap di perutnya. Leluconnya telah terlalu jauh. Ia tidak bermaksud menciptakan masalah, apalagi dengan FUB. Bagaimana ia harus menjelaskan bahwa semua ini hanya bermula dari pertanyaan tante tentang prospek kerja jurusannya?
Saat itulah Wengi melompat dari pangkuannya, berjalan ke tengah ruangan. Di tempat yang tepat di mana altar batu berada dalam visi Bimo.
“Perhatikan,” kucing itu berkata—kali ini bukan dalam pikiran Bimo, tapi dengan suara yang dapat didengar semua orang.
Semua terkesiap. Kucing yang bicara!
Wengi berdiri di atas dua kaki belakang, ekornya membentuk lingkaran sempurna. Mata kuningnya berkilat-kilat, pupilnya membesar hingga hampir menutupi seluruh bagian kuning. Mulutnya terbuka, dan dari sana keluar bukan suara kucing, tapi suara gong yang dalam, gema yang memenuhi ruangan, membuat kaca jendela bergetar.
“Dengung,” suara itu mengucapkan satu kata.
Dan saat itu, lantai ruang tamu bergetar. Tidak kuat, tapi cukup untuk membuat semua orang terkesiap. Dinding-dinding seolah bergelombang seperti kain tertiup angin. Langit-langit rumah seolah menghilang, digantikan langit senja dengan warna jingga keunguan yang terlalu pekat untuk nyata.
“Apa yang terjadi?” Bimo berdiri, merasakan kakinya gemetar.
Wengi menatapnya. “Kau telah membangkitkan apa yang tertidur. Ruang ini bukan sekadar ruang tamu. Ini adalah pintu. Selalu menjadi pintu. Dari generasi ke generasi.”
Saat itu, pintu depan terbuka dengan keras. Anggota FUB—lima orang berpakaian rapi dengan wajah serius—masuk dengan langkah tegas. Namun langkah mereka terhenti begitu melihat pemandangan di dalam: langit-langit yang hilang, dinding yang bergelombang, dan seekor kucing yang berdiri seperti manusia di tengah ruangan.
“Ap—apa-apaan ini?” Ketua FUB tergagap, mundur selangkah.
Wengi menoleh ke arah mereka. “Kalian datang untuk bertanya? Atau untuk melarang?”
Kelima orang itu saling berpandangan, bingung mendapati seekor kucing berbicara kepada mereka.
“Kami… kami mendapat laporan tentang agama baru yang—”
“Tidak ada yang baru,” sergah Wengi. “Hanya yang terlupakan dan kembali diingat. Seperti ruangan ini. Seperti tanah ini. Seperti bunyi ini.”
Suara gamelan dari radio tua semakin keras, seolah tidak lagi datang dari speaker kecilnya, tapi dari seluruh ruangan—dari dinding, dari lantai, dari udara itu sendiri.
“Dengarkanlah.”
Dan mereka mendengar. Semua orang dalam ruangan itu—keluarga Bimo, tetangga, anggota FUB—terdiam dalam pesona bunyi yang tak dapat dijelaskan. Dalam keheningan di antara nada-nada itu, Bimo mendengar bisikan dari segala penjuru, kisah-kisah lama, doa-doa kuno, pertanyaan-pertanyaan yang sama diulang selama berabad-abad:
“Apa tujuan hidup ini?”
“Ke mana kita pergi setelah mati?”
“Mengapa ada penderitaan?”
“Bagaimana menemukan kedamaian?”
Dan selalu, di antara pertanyaan-pertanyaan itu, ada satu yang berulang, yang kini Bimo kenali: “Kuliah jurusan apa? Kerja apa nanti setelah lulus?”
—
Malam telah turun ketika ruang tamu akhirnya kembali normal—atau setidaknya, tampak normal. Langit-langit kembali di tempatnya. Dinding berhenti bergelombang. Radio tua kembali memainkan lagu pop Indonesia.
Anggota FUB telah pergi dengan wajah linglung, setelah entah bagaimana menyetujui bahwa apa yang terjadi di ruang tamu ini bukanlah pembentukan agama baru, melainkan diskusi akademis tentang fenomena spiritual lintas budaya sebagaimana Bimo menjelaskan dengan ketenangan yang ia sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
Sebagian besar jemaat dadakan juga telah pulang, meski beberapa meninggalkan nomor kontak dan berjanji akan kembali besok. Om Hendra dan Tante Mirna duduk diam di sofa, wajah mereka campuran antara takjub dan bingung. Dani sibuk mengedit video untuk diunggah ke TikTok, meski Bimo yakin tidak ada yang akan percaya kalau ini bukan CGI canggih.
Wengi, kembali menjadi kucing normal, duduk di pangkuan Bimo, mendengkur pelan.
“Jadi…” Tante Mirna akhirnya bicara, jarinya gemetar memegang cangkir teh yang sudah dingin, “apa yang sebenarnya terjadi hari ini?”
Bimo mengelus bulu Wengi, mencari kata-kata. “Saya… tidak yakin, Tante. Tapi sepertinya ruang tamu ini… istimewa.”
“Istimewa bagaimana?” tanya Om Hendra yang kini telah melepas kacamata ritual tanpa lensanya dan kembali memakai kacamata minus.
“Seolah-olah…” Bimo menatap lantai di bawahnya, “…kita bukan pemilik sebenarnya dari ruangan ini. Kita hanya… penghuninya untuk sementara.”
Wengi mendengkur lebih keras, seolah menyetujui.
“Menurut cerita kakek,” ujar Nenek Harti tiba-tiba. “Tanah ini dulu adalah tanah pertemuan. Tempat orang-orang berkumpul sebelum ada bangunan permanen. Mereka menyebutnya pendopo kecil, tempat berbagi cerita dan mencari jawaban.”
Bimo menatap neneknya dengan takjub. “Nenek tidak pernah cerita soal ini.”
“Tidak ada yang pernah tanya,” jawab Nenek Harti sederhana. “Sama seperti tidak ada yang pernah tanya kenapa kucing di rumah ini selalu belang tiga dan selalu diberi nama yang sama.”
“Wengi?”
Nenek mengangguk. “Tidak ada yang tahu artinya apa atau dari bahasa mana. Tapi selalu Wengi, dari generasi ke generasi.”
Kucing di pangkuan Bimo mendongak, matanya bertemu dengan mata Bimo dengan pemahaman yang terlalu manusiawi.
“Jadi,” Tante Dewi menimpali, “apa kita… benar-benar telah menciptakan agama baru hari ini?”
Bimo tersenyum. “Bukan menciptakan. Tapi mungkin… mengingatkan. Mengingatkan bahwa tempat-tempat seperti ini—ruang tamu sederhana di mana orang-orang bertemu, bertukar pikiran, mencari jawaban—mungkin itulah kuil paling awal dan paling sejati.”
“Tapi tentang Dengung itu…” Dani mengangkat wajah dari ponselnya, “itu benar-benar terasa nyata.”
“Mungkin memang nyata,” jawab Bimo. “Mungkin selama ini kita terlalu sibuk berbicara, sehingga lupa mendengarkan.”
Mereka semua terdiam, merenungkan. Radio tua di sudut ruangan berganti saluran sendiri, kembali memainkan Ketawang Sinom Parijatha dengan lembut. Kali ini, tidak ada yang tampak terkejut.
“Jadi,” Tante Mirna akhirnya kembali ke pertanyaan awalnya, dengan nada yang jauh lebih lembut, “setelah lulus nanti, kamu mau kerja apa, Bimo?”
Bimo tertawa kecil. “Mungkin… mendirikan ruang pertemuan. Tempat orang-orang bisa datang, berbicara, dan mendengarkan. Seperti ruang tamu ini.”
“Semacam kafe spiritual?” tanya Dani.
“Semacam… ruang tamu untuk semua orang,” koreksi Bimo. “Karena mungkin itulah yang dibutuhkan dunia saat ini—bukan dogma baru, bukan ritual baru, tapi ruang di mana pertanyaan diperbolehkan dan keheningan dihargai.”
Wengi menguap lebar, memperlihatkan taring-taring kecilnya, lalu kembali meringkuk di pangkuan Bimo. Ekornya membentuk simbol yang tampak seperti tanda tanya.
Di luar jendela, bulan purnama bersinar terang. Di bawahnya, ruang tamu sederhana itu berdenyut dengan kehidupan yang telah ada sejak lama sebelum ada yang mengingat—tempat di mana pertanyaan tante tentang prospek kerja bisa membuka pintu ke dimensi yang tak terduga.
“Mungkin itulah jawaban yang sesungguhnya,” pikir Bimo sambil mengelus kepala Wengi. “Kuliah Studi Agama-agama untuk menciptakan ruang tamu bagi yang bertanya.”
Editor: Kru BiSa