Penulis: Sri Widiasti
BILIK SASTRA – Sobat BiSa pasti familiar dengan kalimat Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kalimat tersebut merupakan bunyi dari pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Hak tersebut juga tentunya berlaku bagi penyandang disabilitas.
Bicara soal pendidikan dan penyandang disabilitas, erat kaitannya dengan istilah pendidikan inklusif. Bagi pegiat dunia pendidikan, pembahasan ini pasti tidak asing lagi.
Namun, dalam praktiknya, pendidikan inklusif di Indonesia belum sepenuhnya optimal. Lantas, apa saja alasan yang menyebabkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia belum mampu berjalan secara optimal?
Konsep pendidikan inklusif
Cikal-bakal pendidikan inklusif di Indonesia tidak lepas dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Hak pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas ini kemudian tercantum di Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, pendidikan inklusif juga hadir untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman.
Pemerataan pendidikan di Indonesia melalui pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan suatu inovasi di dunia pendidikan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan diberikan secara bersamaan antara pendidikan khusus dan pendidikan umum. Upaya ini dilakukan untuk menghindari pengkhususan kelas bagi peserta didik dan menyatukan perbedaan kebutuhan semua peserta didik.
Dengan adanya pendidikan inklusif, harapannya tidak terjadi diskriminatif terhadap peserta didik yang memiliki kelainan atau kekurangan. Mereka juga berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Sementara kategori peserta didik yang termasuk dalam hal ini, yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, serta memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa.
Di antaranya adalah tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, tunaganda, berkesulitan belajar, autis, memiliki gangguan motorik, korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, atau zat adiktif lainnya, dan kelainan lainnya.
Komponen-komponen yang harus diperhatikan
Pendidikan inklusif mengedepankan terwujudnya lingkungan belajar yang dapat mengembangkan kompetensi dan potensi seluruh peserta didik. Jadi, ada banyak komponen yang terlibat dalam penyelenggaraannya.
Mulai dari peserta didik yang berasal dari peserta didik kategori normal hingga peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, perlu adanya identifikasi dan asesmen sebagai bagian dari proses penyaringan dan mengenali jenis kebutuhan khusus dari peserta didik.
Komponen pendukung lainnya, mulai dari pengelolaan kelas dan kegiatan pembelajaran, sistem kenaikan kelas dan laporan hasil belajar, manajemen sekolah inklusif, pendanaan, penghargaan dan sanksi, dan pemberdayaan masyarakat. Semua komponen tersebut turut andil dalam kesuksesan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
Adanya kurikulum akomodatif
Kurikulum akademik dalam pendidikan inklusif standarnya menggunakan jenis kurikulum akomodatif yang menyesuaikan dengan minat, bakat, dan potensi peserta didik berkebutuhan khusus, yang harus ada oleh satuan penyelenggara pendidikan inklusif.
Tak hanya kurikulum akademik, kurikulum khusus juga harus ada dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kurikulum khusus sebagai bentuk layanan pendidikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus.
Hal tersebut membantu mereka mengoptimalkan potensi khusus untuk dikembangkan. Bentuk layanan kekhususan, seperti baca tulis braille, bina komunikasi, bina persepsi bunyi irama, modifikasi perilaku, dan okupasi.
Pentingnya peran pendidik dalam menyukseskan pendidikan inklusif
Komponen selanjutnya adalah peran tenaga pendidik. Pendidik dituntut untuk dapat menciptakan suasana belajar yang ramah, aman, jauh dari sikap diskriminasi. Tak hanya itu, mereka juga harus menyediakan fasilitas yang mendukung peserta didik, dan mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidik harus cermat dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat untuk mempermudah penyampaian bahan ajar kepada peserta didik. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu belajar dan setiap pembelajaran yang harus sesuai dengan kondisi peserta didik.
Setiap peserta didik berhak untuk dilayani dan belajar bersama dengan teman seusianya tanpa ada pengkhususan kelas. Selain itu, peserta didik juga berhak belajar dan mendapatkan aksesibilitas yang mendukung tanpa terkecuali.
Problematika pendidikan inklusif di Indonesia
1. Jumlah guru pendamping khusus masih terbatas
Ketentuan yang mengaturnya
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif minimal dalam satu kelas terdapat dua guru, yaitu satu guru mata pelajaran dan satu guru pendamping khusus.
Guru Pendamping Khusus (GPK) ini sekurangnya memiliki kompetensi minimal S1 Pendidikan Luar Biasa atau tenaga pendidik yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan luar biasa.
Dalam salah satu pasal yang tertulis di Permendiknas No 70 Tahun 2009, yaitu pasal 10 ayat 1 dan 2 Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan guru bagi sekolah yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Realita yang ada di lapangan
Namun, dalam kenyataannya tidak demikian. Ketersediaan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi pada pendidikan luar biasa masih jauh dari kata memadai.
Melansir dari Tirto.id, Laporan Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia pada Sekolah Menengah Pertama tahun 2017 mencatat sebanyak 2.465 sekolah inklusif negeri di Indonesia hanya memiliki 728 GPK. Jumlah ini bahkan tidak mencapai 50 persen untuk memenuhi kebutuhan sekolah inklusif.
Nahasnya lagi, satu GPK harus memegang beberapa sekolah untuk menyiasati kekurangan GPK pada sekolah inklusi yang tidak merata penyebarannya di setiap provinsi.
Realita ini semakin jauh dari harapan pemerintah karena implementasi dari Permendiknas No 70 Tahun 2009, pada pasal 10 tentang penyediaan tenaga pendidik dan peningkatan mutu tenaga pendidik. Serta pada pasal 11 tentang pemerolehan tenaga bantuan profesional tidak terlaksana dengan baik.
Salah satu alasan yang menyebabkan tidak meratanya GPK ini adalah wewenang pengangkatan GPK hanya ada berada di tangan Pemerintah Provinsi. Bahkan, di tahun 2019, posisi GPK tidak masuk dalam sistem rekrutmen PNS.
2. Minimnya literasi guru tentang pendidikan inklusif
Literasi guru sekolah reguler terhadap pendidikan inklusif juga menjadi penghambat. Minimnya pengetahuan guru terhadap pembelajaran berbasis inklusif masih jauh dari harapan.
Bahrul Fuad, Dewan Penasehat Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network dan Komisioner Komnas Perempuan, menyebutkan bahwa masih banyak guru yang belum paham tentang apa itu disabilitas? Bagaimana karakteristiknya? Cara berinteraksinya bagaimana?
Ketidakpahaman itu membuat guru dan juga pihak sekolah merasa tidak siap menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Bila diterima pun, interaksi guru dan peserta didik dengan kebutuhan khusus ini menjadi kurang maksimal.
Tindak lanjut dari pemerintah
Mengutip dari Tirto.id Samto, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK), menyebut upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan guru dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, adalah dengan melakukan program pelatihan terhadap 5000 guru yang berasal dari 200.000an sekolah dasar dan sekolah menengah.
Program tersebut adalah program Bimbingan Teknis Program Pemenuhan Guru Pendidikan Khusus (Bimtek). Program yang dibuat pada tahun 2020 lalu ini menargetkan guru yang belum pernah mendapatkan pelatihan guru pembimbing khusus pada pendidikan inklusif.
Pelatihan harus dilaksanakan secara tatap muka
Program pelatihan untuk pendidikan inklusif tidak bisa dilakukan secara daring saja. Sebab penanganan pada anak berkebutuhan khusus tidak dapat digeneralisasi. Pendekatan terhadap peserta didik tunanetra pasti akan berbeda pendekatannya dengan peserta didik tunawicara. Oleh karena itu, perlu pelatihan intensif secara langsung.
Keberadaan GPK masih belum proaktif dalam menangani dan mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus. Akibatnya, guru sekolah reguler merasa kerepotan dengan peserta didik berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran.
Belum lagi dangkalnya pemahaman peserta didik nonkebutuhan khusus tentang peserta didik berkebutuhan khusus. Ketidakpahaman ini bisa memicu terjadinya praktik perundungan pada anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh anak nonberkebutuhan khusus.
3. Kesiapan sekolah inklusif belum mumpuni
Sekolah-sekolah yang ditunjuk untuk menjadi sekolah inklusif dalam implementasinya belum siap dan masih jauh dari prinsip pendidikan inklusif. Subjektivitas sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus memengaruhi pada kebijakan yang dibuat.
Oleh karena itu, banyak kebijakan yang kurang efektif, seperti guru yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan belajar peserta didik berkebutuhan khusus. Tidak hanya itu, pihak orang tua anak berkebutuhan khusus juga harus menyediakan guru pendamping sebagai akibat dari kurangnya guru pendamping bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Belum lagi kekhawatiran pemangku kebijakan di sekolah inklusif terhadap penurunan citra sekolah terkait penerimaan anak berkebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama dengan anak nonberkebutuhan khusus.
Jumlah instansi pendidikan yang melangsungkan pendidikan inklusif
Mengutip dari Detik.com, dosen program studi S1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Muhammad Nurul Ashar menyebut sekitar 2,3 persen lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan untuk penyandang disabilitas.
Jumlah persentase ini meliputi 40 ribu lebih sekolah inklusif sekolah dasar dan menengah yang bernaung di Kemendikbud dari total 400 ribu sekolah yang ada. Sementara pada jenjang pendidikan tinggi, tercatat 184 kampus yang menyediakan layanan pendidikan bagi mahasiswa penyandang disabilitas dari total 3 ribu lebih kampus yang ada di Indonesia.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana sekolah inklusif
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia juga terhambat pada ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar di lingkungan sekolah inklusif. Seperti pemberlakukan kurikulum yang belum mengacu pada kebutuhan dan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus.
Sekolah inklusif belum menyediakan kurikulum plus, yaitu kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus, yang memang tidak ada di kurikulum umum. Misalnya membaca braille.
Sarana media, sumber, dan alat penunjang proses belajar mengajar bagi peserta didik berkebutuhan khusus juga belum memadai, seperti buku-buku pelajaran dalam bentuk braille, talking-books untuk anak-anak didik tunanetra, serta peralatan khusus untuk anak didik yang sesuai dengan kondisi keterbatasan dan kebutuhan pendidikan khusus mereka.
Lingkungan sekolah yang belum aksesibel terhadap penyandang disabilitas juga turut mencuri perhatian, seperti belum tersedianya jalan khusus menuju kelas, perancangan gedung sekolah yang belum ramah bagi penyandang disabilitas, serta fasilitas lain yang belum disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus.
Faktor keberhasilan pendidikan inklusif
Bicara soal keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta seluruh elemen masyarakat. Mulai dari Pemerintah Pusat hingga daerah lewat regulasinya, lembaga pendidikan melalui inovasi layanan, dan tenaga pendidik lewat cara menyampaikan bahan ajar.
Keikutsertaan komunitas dan organisasi disabilitas juga dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait pemenuhan hak disabilitas dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Selain itu, perlu adanya pengkajian ulang undang-undang yang mengatur pendidikan bagi penyandang disabilitas ini. Pemerintah harusnya memandang pendidikan inklusif ini sebagai sebuah inovasi sistem di dunia pendidikan.
Dengan begitu, pemerataan dan pendidikan layak bagi penyandang disabilitas dapat terwujud. Bukan sekadar menerbitkan regulasi yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan pendidikan penyandang disabilitas, sementara implementasinya jauh dari kata memadai.
Adakan kegiatan yang dilakukan bersama peserta didik lainnya
Faktor keberhasilan lainnya yaitu mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada peserta didik nonberkebutuhan khusus untuk memperkenalkan apa itu pendidikan inklusif, yang bisa dilakukan dengan aktivitas lomba, proyek bersama, dan belajar bahasa isyarat.
Hal ini penting untuk ditanamkan kepada peserta didik nonberkebutuhan khusus. Tujuannya tidak lain untuk menghindari sikap diskriminatif, perundungan terhadap anak berkebutuhan khusus, dan toleran terhadap perbedaan yang ada.
Bagaimana, Sobat BiSa? Ternyata, masih banyak, ya, hal yang perlu dikaji dan diperbaiki ulang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Namun, penting untuk diingat bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang serupa, termasuk dalam bidang pendidikan. Lalu, sudahkah kita mengambil peran dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini?
Editor: Iska Pebrina
Sumber:
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun2009 4 Oktober 2023. https://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2013/07/Permen-No.-70-2009-tentang-pendidiian-inklusif-memiliki-kelainan-kecerdasan.pdf.
Kemendikbud. 2011. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. 4 Oktober 2023. https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/fbs/file/bd3d6035-7a8b-481b-8f13-4bd1617e970c.pdf.
Kemendikbud. 2022. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inkluusif. 4 Oktober 2023. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/Panduan-Pelaksanaan-Pendidikan-Inklusif.pdf.
Joan Aurelia. 2021. Yang Luput dari Pendidikan Inklusif di Indonesia Selama Ini. Tirto.id. 4 Oktober 2023 https://tirto.id/yang-luput-dari-pendidikan-inklusif-di-indonesia-selama-ini-gj5u
Sudjak. 2018. “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH”. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI. Vol 5, Nomor 2, September 2018.
Rudiyati, Sari. 2011. “Potret Sekolah Inklusif di Indonesia”. 5 Oktober 2023. https://staffnew.uny.ac.id/upload/130543600/penelitian/Potret+Sekolah+Inklusif+di+Indonesia.pdf.
Anisa Rizki Febriani. 2022. Dosen Unesa Beri Catatan Terkait Pendidikan Inklusif di Indonesia. 5 Oktober 2023. https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6445307/dosen-unesa-beri-catatan-terkait-pendidikan-inklusif-di-indonesia.