Film Pendek Pemean (2020): Banyak Bicara, Tiada yang Nyata

Ilustrasi film pendek pemean
Sumber: youtube.com/PaniradyaKaistimewan

Penulis: Agil Wahyu Wicaksono

Bilik Sastra – Sobat BiSa pernah mendengar istilah omdo? Omdo atau omong doang adalah istilah yang kerap melekat pada orang yang banyak berbicara, tetapi tidak ada bukti yang sebenarnya. Istilah tersebut memberikan refleksi bahwa banyak manusia pandai memainkan lidah. Namun, hanya sedikit dari mereka yang bisa menunjukkan bukti nyata.

Nah, film pendek Pemean ini merupakan gambaran nyata kehidupan sosialita. Dengan sentuhan nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi sehingga memberikan efek magis pada realita masyarakat. Perbedaan strata menjadi masalah sepele yang film pendek ini coba tampakkan.

Mau tahu seperti apa kisahnya? Mari simak artikel berikut!

Sinopsis film pendek Pemean (2020)

Kata pemean, dalam bahasa Indonesia, berarti jemuran. Aktivitas menjemur pakaian sering kali menjadi ladang gosip ibu-ibu. Di depan rumah, saat menjemur pakaian, menjadi tempat pertukaran informasi dan data atas kehidupan realita masyarakat.

Berlatar tempat di pedesaan, hidup dengan kultur budaya turun temurun, masyarakat menjalani aktivitas kesehariannya. Hidup dengan sederhana dan serba berkecukupan. Pola dramatisasi sangat melekat pada film ini dengan penokohan protagonis. Setiap karakter ditampilkan secara nyata agar tidak mengurangi kesan pada realita masyarakat.

Adanya interaksi interpersonal dalam film ini menggambarkan kedekatan sosio-emosional pada kehidupan. Kedekatan sosio-emosional terbentuk karena terjalinnya komunikasi antara individu satu dengan yang lain untuk saling memberikan rasa. Hal itu menunjukkan bahwa individu tidak dapat hidup secara pribadi yang utuh, tetapi atas individu lainnya.

Kesederhanaan orang pedesaan

Hidup dengan penuh kecukupan merupakan salah satu yang impian semua orang. Sederhananya, kalau lapar itu yang penting ada yang bisa dimasak. Tidak semata-mata tidak ingin punya apapun, tapi mereka yang hidup di desa jauh lebih tenang jika harta benda untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Film ini menyuguhkan adegan yang sangat luar biasa, tentunya inspiratif. Bagaimana tidak? Kehidupan tokoh dipengaruhi oleh tempat di mana ia tinggal. Pedesaan menjadi surga dunia yang memberikan apa pun yang masyarakat butuhkan.

Namun, berkembangnya teknologi dan informasi menjadikan kultur budaya semakin tergerus. Keasrian hidup di alam yang penuh khidmat, kini tak lagi dapat dinikmati sepenuh hati. Seperti tokoh yang selalu menginginkan kehidupan mewah, tapi strata sosialnya menengah ke bawah.

Baca juga: Cerpen “Rumah Tak Berjendela”: Lalainya Seorang Suami dan Ayah

Tidak mencari validasi orang lain

Sudah sepatutnya, kita menanamkan dalam benak untuk mencapai kepuasan untuk pribadi. Berbeda halnya dengan tokoh dalam film ini yang mana ia selalu mencoba memberikan kepercayaan orang lain kepadanya. Dengan dalih persuasif, ia justru melampaui batas kemampuan sosialnya.

Film ini mengungkapkan kesan terhadap norma-norma sosial yang ada pada masyarakat. Apa yang seharusnya dilakukan dengan tujuan yang benar, terkadang menjadi hal yang salah. Perspektif sosial memandang bahwa banyak masyarakat yang ingin melebihi satu dengan yang lainnya.

Salah satu contoh sederhana yang tergambar dalam film ini adalah memiliki barang yang tidak dimiliki orang lain. Memang tidak ada yang salah, tetapi kalau menjadi bahan pamer dan mengharuskan orang lain tahu, inilah yang keliru.

Terlebih lagi, kalau dalam strata sosial, persaingan antar masyarakat menjadi hal yang sangat wajar. Hal itu karena mereka ingin lebih dari yang lain. Bahkan, ada yang sampai merepotkan diri sendiri hanya untuk mendapatkan perhatian orang lain.

Baca juga: Film Pendek TOPI Tindak, Tanduk, Subasita: Tata Krama Masyarakat Jawa

Senantiasa memandang ke bawah

Bersyukur, kita harus senantiasa mengucapkan kalimat itu di mana pun dan kapan pun. Karena sejatinya, kita hidup atas dasar nikmat yang Tuhan berikan. 

Namun, lain halnya dengan tokoh dalam film ini yang selalu menunjukkan hidup di atas strata sosialnya. Meskipun hidup di desa yang penuh dengan kesederhanaan, si tokoh sangat berusaha untuk melebihi kapasitasnya sebagai orang yang berkecukupan.

Di pagi hari yang sejuk, dengan ember berisikan pakaian yang hendak dijemur, ia selalu mengawali pembicaraan dengan tetangganya. Terkadang membahas gosip tetangga yang lain, tetapi sering dengan menampakkan harta benda melalui intonasi pamer yang lemah lembut.

Film pendek Pemean ini menyiratkan bahwa kalau kita hidup di mana pun harus serba berkecukupan. Apabila memiliki harta yang lebih, alangkah baiknya disimpan untuk kebutuhan hidup mendatang. Meskipun menginginkan sesuatu yang mewah, tidak seharusnya diperlihatkan kepada siapa pun, sebab itu bukan hal yang pantas menjadi bahan pamer.

Kesan yang sangat inspiratif, ya, Sobat BiSa! Nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat tersajikan dalam film ini. Nah, jika penasaran dengan film pendek Pemean ini, Sobat BiSa dapat menontonnya di sini.

Editor: Iska Pebrina

krubisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *