Penulis: Agil Wahyu Wicaksono
Pada suatu malam yang hening, di kala semua orang telah terlena dengan tidurnya, ada seorang remaja laki-laki yang sedang duduk di depan rumah. Remaja itu menatap ke sekitar dengan tatapan yang tajam. Raut mukanya terlihat sinis bak ungkapan perasaan kehilangan. Keheningan saat itu membuat keadaan kian terdengar ramai. Ocehan binatang tak lagi terbendung dan pikirannya kalah kabut.
Sadar akan suatu hal, remaja itu mulai memasuki rumahnya. Di depan cermin, dekat ruang tamu, ia nampak meluapkan refleksi atas apa yang barusan ia alami. Sejenak mengambil napas, ia kembali menatap cermin itu dengan air mata yang membasahi pipi. Lalu, ia bertanya, “Mengapa aku sendiri?”. Sehingga emosi yang tak lagi terkendali membuat suasana dalam rumah itu semakin memanas.
Tak lama kemudian, remaja itu berlari menuju kamarnya. Langkah kaki yang cepat membuat lantai terdengar keras. Pijakan demi pijakan anak tangga menjadi saksi bisu kemarahannya. Tangisan yang meluap membuat perasaannya terasa sakit. Bahkan, rasa sakit itu sampai membuatnya tertidur. Dengkuran yang keras menjadi suara yang dapat didengar setelah tangisan di kamar itu.
Di tengah malam, remaja itu terbangun dan mendapati bahwa ia berada di suatu keramaian. Ia yang tengah kebingungan teringat kalau dirinya sedang tidur di kamarnya. Ia pun mencoba menelusuri kiranya apa yang sedang ia alami. Jalanan ia lewati dengan penuh keraguan dan itulah yang terjadi pada remaja itu. Berada dalam situasi tak meyakinkan.
Baca juga: (Ibu) yang Menghardik Perantau di (Kota)
Ia mencoba bertanya kepada penduduk sekitar tentang keberadaannya, “Aku dimana?”. Ternyata, semua orang yang ia tanya hanya tersenyum sembari melanjutkan pekerjaannya. Sehingga ia pun takut dan berlari sekuat tenaga. Bermaksud menghindari tempat itu, justru ia hanya berputar-putar. Seperti terjebak dalam ruang ilusi. Oleh karena ketakutan yang teramat besar, hal itu membuatnya kembali menangis.
Ia kembali terdiam ketika kerumunan orang menghampirinya. Semua mata tertuju padanya, menatap dengan keanehan. Ada satu pria dengan rambut yang compang-camping, berambut lurus dan panjang. Kemudian, pria itu mendekat ke arahnya. Dari arah belakang, pria itu mengulurkan tangannya berharap digapai si remaja.
Sontak–dengan keanehan fisiknya–remaja itu pun merasa ketakutan. Ia pun menangis histeris, memeluk raganya dengan penuh ketakutan. Siapa sangka, pria berpenampilan kumuh itu memeluknya sangat santun. Penuh kehangatan dan belaian. Ia terkejut, mencoba bangkit. Namun, ia dipeluk erat oleh pria itu.
Bayang-bayang pertanyaan kembali muncul dalam benak, “Siapakah engkau?”. Pria itu hanya tersenyum. Di tengah keramaian itu, si remaja tetap dalam keadaan bimbang. Anehnya, ia memandang wajah pria itu tanpa henti. Merasa aman di dekatnya, si remaja pun mulai memeluk pria itu dengan penuh kasih sayang. Keduanya saling menatap wajah dan bertukar senyum.
Di tempat yang semula mencengangkan, kini remaja itu perlahan mulai nyaman. Berharap menemukan jawaban, ia memutar otak dan melihat ke sekitar. Terlintas sesuatu di pikiran, tetapi ia tak dapat mengingatnya. Pelukan yang hangat itu memberikan ketenangan pada si remaja.
Keduanya kembali tersenyum dan si remaja itu menemukan jawabannya. Senyuman pria itu sedikit memperlihatkan gigi taring emas. Ya, ia pernah memasang gigi taring emas semasa mudanya. Ia sangat mengingatnya kalau itu adalah kakeknya. Ia teringat masa-masa indah bersama sang kakek, sewaktu kecilnya. Semua kenangan tampak jelas dalam ingatan.
Namun, saat sang kakek akan meninggal, ia tak dapat berjumpa untuk terakhir kalinya melihat tubuh yang renta itu. Jarak yang jauh menjadi penyebabnya. Meskipun sudah pulang, si remaja itu tak lagi melihat sang kakek di muka bumi ini. Maka dari itu, ia sungguh menyesal. Sungguh penyesalan yang tiada arti. Waktu pun tak dapat diputar kembali.
Baca juga: Melepasmu Pergi
Apa yang ada di ingatan remaja itu sontak hilang, bersamaan dengan hilangnya semua orang di tempat itu. Kemudian, ia pun kembali tersadar bahwa selama ini hanya bermimpi. Terjebak dalam ilusi, ia terbangun dengan perasaan yang penuh tanda tanya. Teringat akan sang kakek, ia juga menangis.
Tak ia sangka, tangisan yang ia alami itu berasal dari bunga tidur. Ibarat apa yang kita pikirkan, maka itulah yang terjadi. Sehingga remaja itu mengalami banyak kejadian aneh pada mimpinya. Mulai dari tangisan yang meluap, perasaan sendiri di suatu tempat, dan terkadang takut berada di keramaian.
Ilusi itu timbul dalam pikiran yang kian lama makin tercengang. Dalam tidurnya, remaja itu sangat terbendung oleh emosi yang sangat besar. Sehingga ia pun tersadarkan oleh sosok yang menjadi panutannya. Darinya, ia bisa hidup dengan penuh tanggung jawab dan bertahan sampai pada titik ini.
Tetesan air mata yang jatuh tidak luput dari suatu kisah, baik itu menyenangkan atau sebaliknya. Hal itulah yang dialami oleh remaja ini yang dikala kesendiriannya mendapati kesedihan, kesunyian, dan tekanan batin. Meskipun begitu, ia memiliki penguat dalam hidupnya yang menjadi prinsip dan keteguhan selama ini.
Editor: Iska Pebrina